Kamis, 01 September 2016

Esai Ponto Yelipele: Filosofi Kehidupan Masyarakat Pegunungan Tengah Papua



Filosofi Kehidupan Masyarakat
Pegunungan Tengah Papua

Oleh Ponto Yelipele[1]


            “Orang Wamena lagi, dan orang Wamena lagi.” Ungkapan semacam ini telah melekat dan menjadi buah bibir kebanyakan orang yang berdomisili di Tanah Papua pada umumnya, dan lebih khusus di Jayapura, sebagai pusat konsentrasi roda pemerintahan Provinsi Papua. Dewasa ini, orang Wamena yang merupakan bagian dari masyarakat Pegunungan Tengah Papua lebih populer dengan sebutan “Orang Gunung”.
            Justifikasi tentang masyarakat Pegunungan Tengah Papua terus dilekatkan dengan sederet aksi kriminal maupun sejumlah kasus yang juga sering dikaitkan dengan isu gerakan Papua merdeka, yang menurut pengamatan saya diawali pasca reformasi tahun 1998/1999 hingga sekarang. Dampak langsungnya, secara faktual dapat kita jumpai kenyataan dalam interaksi sehari-hari di Jayapura. Semisal, para pemilik rumah kontrakan atau kost akan berpikir panjang sebelum memutuskan menerima atau menolak jika yang datang adalah Orang Gunung. Mereka yang lebih ekstrim akan berkata, “Tidak ada yang kosong, sudah ada yang bayar di muka tapi orangnya belum masuk,” dan seterusnya.
            Terbelakang, primitif, bodoh, dan berbagai kata lain yang sinonim, diidentikkan dengan Orang Gunung dalam dinamika ini. Walaupun sekarang banyak dari komunitas orang Wamena yang tampil sebagai pemimpin eksekutif maupun legislatif di Provinsi Papua. Jumlah mereka secara kuantitatif cukup signifikan. Namun hal itu tidak serta merta menghilangkan cap atau label yang sudah terlanjur dilekatkan kepada Orang Gunung. Mayoritas masyarakat tetap sinis. Mereka menganggap bahwa tampilnya orang-orang Gunung di dalam kancah kepemimpinan adalah kesempatan, euforia otsus, dan bukan berdasarkan kualitas atau kompetensi. Kenyataan yang demikian diperkuat lagi dengan kinerja dan akuntabilitas dalam pelayanan pemerintahan yang rata-rata di bawah standar minimal. Saya sering ditanya oleh orang-orang yang berasal dari luar Papua, “Kenapa setiap ada peristiwa kriminal selalu melibatkan orang Wamena/Orang Gunung? Setiap ada demo apa pun, orang Wamena juga yang paling banyak.”
            Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, hal yang demikian adalah akumulasi dari sekian banyak fakta aktual yang dikonsepsikan oleh setiap orang. Saya tergelitik dengan pandangan dan pertanyaan semacam itu. Saya berasumsi bahwa kebanyakan orang melihat fakta-fakta dimaksud secara hitam-putih dan dari sisi negatifnya saja. Sejauh ini belum ada upaya serius dan konstruktif dalam mengatasi gejolak sosial yang berlangsung. Dalam konteks ini, saya ingin mengetengahkan sepintas tentang karakteristik dasar budaya Orang Gunung, dengan asumsi bahwa masyarakat adat Papua umumnya dan lebih khusus masyarakat Pegunungan Tengah sedang dalam masa transisi, pencarian identitas diri dalam arus globalisasi yang keras. Dalam situasi ini kita mesti merekonstruksi cara pandang dan pola pendekatan yang tepat dalam menghadapi dinamika sosial.
            Secara simbolik, filosofi kehidupan Orang Gunung atau mereka yang berdiam di wilayah Pegunungan Tengah Papua dapat dilihat dan dikenali dari hal-hal berikut.
            Pertama, honai, rumah laki-laki yang berbentuk bulat. Di dalamnya, semua orang saling berbagi tempat untuk tidur. Bahkan kepala suku dan tetua adat yang dihormati di dalam klan dan suku tidak memiliki tempat khusus atau istimewa untuk sekadar tidur. Koteka, pakaian, atau apa pun yang melekat di badan harus ditanggalkan sebelum naik ke loteng untuk tidur berjejer melingkar, mengikuti bentuk honai dengan mengarahkan semua kaki pada tiang pancang di tengah honai. Seseorang yang dalam perjalanan jauh, entah keluarga, kerabat dekat atau jauh, orang yang belum dikenal, bahkan kadang musuh perang suku sekalipun, bila mengetuk pintu untuk bermalam dan menumpang tidur selalu diterima dengan suka cita. Hal itu merupakan kehormatan bagi tuan rumah, sehingga makanan yang disimpan akan disediakan untuk memuliakan tamu tersebut sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
            Kedua, wulikin, perapian sekaligus tempat untuk membakar ubi di dalam honai dan uma, dapur umum sekaligus tempat tinggal perempuan, yang berbentuk bulat. Semua orang di dalam honai dan uma duduk melingkar menghadap wulikin sambil menghangatkan tubuh. Apa pun dan berapa pun ubi yang dibakar, akan dinikmati bersama oleh semua yang ada pada saat itu. Bila ada lebihnya, ubi akan disimpan untuk anak dan sebagai bekal siang hari di kebun. Namun bila jumlahnya terbatas, anak-anak, wanita, dan tamu yang diutamakan. Tidak ada makanan atau ubi yang disimpan khusus untuk seorang bapak atau kepala keluarga. Kalaupun ada yang disimpan untuk kepala keluarga atau anggota keluarga dalam suatu rumah, lalu ada tamu yang datang, ubi tersebut langsung dihidangkan. Kepala keluarga akan marah besar kalau tamu yang datang tidak dimuliakan, walaupun ia harus menahan lapar. Dalam tradisi Orang Gunung, sangat sulit menemukan orang yang kikir atau mementingkan diri. Seandainya ada individu yang punya sifat seperti itu, tentu akan menjadi buah bibir dalam pergaulan masyarakat adat setempat. Karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai umum yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat adat setempat.
            Ketiga, hase, kolam tempat masak, yang lebih dikenal dengan sebutan bakar batu, juga berbentuk bulat. Setiap perempuan akan menggali ubi di kebunnya masing-masing, mencucinya di kali, kemudian memasak secara bersama dalam satu kolam. Perempuan yang ubinya besar dan lebih banyak akan berbagi dengan perempuan yang ubinya kecil dan sedikit. Setiap perempuan mengenali ubinya masing-masing, walaupun dimasak bercampur dengan ubi milik perempuan lain. Sehingga, pada saat selesai prosesi bakar batu, mereka akan mengambil ubinya masing-masing. Semua yang dimasak untuk makan bersama, tidak boleh disembunyikan, dan memang tidak ada peluang untuk itu. Kecuali jika ada lebihnya, ubi akan diperuntukan bagi anggota keluarga yang tidak di tempat pada saat makan bersama. Hal ini lazim dilakukan sebagaimana lazimnya menyimpan ubi untuk bekal anak-anak. Seseorang yang membawa makanan lalu berpapasan dengan orang dalam perjalanan, entah dikenal ataupun tidak, makanan yang dibawa akan diberikan. Orang Wamena atau Orang Gunung meyakini, jika memanfaatkan kesempatan mengasihi orang yang membutuhkan, maka kemurahan dan limpahan rezeki akan menyertai dalam setiap usaha. Sebaliknya, bila bersikap kikir, kemalangan atau musibah akan menyertai pula.
            Keempat, isuak, wadah atau tempat air minum yang terbuat dari sejenis buah labu yang dikeringkan. Mereka menggunakan isuak yang sama sebagai tempat minum untuk semua orang. Tidak ada wadah minum yang khusus bagi seorang kepala suku, kepala keluarga, juga tamu sekalipun. Tak peduli yang bermulut sumbing, bau, berliur, dan apapun. Ketika seseorang merasa jijik dengan bekas orang, ia dianggap mengingkari pertalian darah atau persaudaraan. Terkadang, untuk menanggung sakit anggota keluarga atau saudara, saudaranya yang lain akan memakan dan meminum bekas orang yang sakit. Hal itu dilakukan dengan harapan, si sakit akan segera sembuh.
            Kelima, masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah Papua memiliki kehidupan spritual yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap  suci dan memiliki cerita tersendiri yang berhubungan dengan asal-usul klan atau suku. Kehidupan spiritual tersebut berpusat pada satu zat/wujud abstrak, adil/pengadil yang khusus. Ritual untuk menghormati semua aktifitas dan tempat-tempat yang dianggap suci dilakukan dengan menyakralkan sebuah simbol yang diletakkan di honai adat. Simbol itu dinamakan hareken (Batu Hitam).
            Keenam, ciri utama masyarakat adat Wamena atau Orang Gunung adalah dengan membentuk kelompok otonomi berdasarkan pertalian darah dan keluarga. Orang Gunung disatukan oleh keturunan nenek moyang yang nyata maupun bersifat mitos. Kelompok-kelompok ini kemudian menggabungkan diri dalam perkumpulan yang lebih besar, yaitu konfederasi perang dan pesta babi. Sebagaimana istilah umum yang digunakan dewasa ini, saya menyebut “klan” untuk kelompok kecil, dan “suku” untuk kelompok besar. Menanamkan kesetiaan kepada kaum dan semua sekutunya adalah penting, bahwa hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Tetapi hal itu berarti tak ada ruang bagi individualisme seperti yang kita kenal sekarang, dan tak ada hak-hak serta tanggung jawab yang dihubungkan dengan individu. Semuanya merupakan subordinasi dari kelompok kepentingan. Untuk menanamkan semangat komunal ini, Orang Gunung mengembangkan ideologi yang disebut Ap Kany, dengan huruf “ny” dibaca “nya” tanpa huruf a. maknanya adalah pria sejati/pemberani.
            Ap Kany berarti keberanian dalam berperang, kesabaran, sikap santun, dan ketahanan dalam penderitaan dan pengabdian kepada tugas. Sikap-sikap itu ditunjukkan untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan kepada suku, melindungi para anggota yang lemah, dan menghadapi yang kuat. Setiap suku memiliki kebanggaan akan Ap Kany mereka masing-masing, yang diyakini diwariskan secara turun-temurun. Untuk melestarikan Ap Kany, setiap anggota kelompok harus siap membela rekan sesukunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat. Di luar suku, kepatuhan itu berakhir atau tidak berlaku. Tak ada tanda adanya hukum alam yang universal pada perkembangan masyarakat adat Pegunungan Tengah Papua di tingkat ini.
            Masyarakat adat Pegunungan Tengah tidak memiliki gambaran tentang kehidupan sesudah mati. Orang tidak memiliki nasib sendiri, atau nasib abadi. Satu-satunya yang abadi yang dapat dicapai lelaki dan perempuan adalah nilai-nilai dan berlangsungnya spirit mereka di dalam suku. Masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menanamkan Ap Kany dan menjamin kelangsungan hidup suku mereka. Dengan demikian, suku memiliki tata cara yang memungkinkannya mampu mempertahankan dirinya sendiri. Termasuk di dalam tanggung jawab kepemimpinan kepala suku adalah merawat anggota suku yang lemah, dan memberikan apapun yang dimilikinya demi memenuhi kebutuhan anggotanya tersebut.
            Kemurahan hati merupakan nilai yang penting bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Seorang kepala suku dapat mendemonstrasikan kekuatan dan keyakinannya melalui sifat royal dan dermawan kepada anggota suku, juga para sekutu dari kelompok suku lain. Kekuatan suku dapat dinilai dari seberapa dermawan kepala suku terhadap anggotanya. Keramahan dan kemurahan hati masih menjadi nilai luhur masyarakat adat di wilayah Pegunungan Tengah. Tentu saja ini memiliki nilai pragmatis. Seseorang atau suatu keluarga, klan, dan suku yang kaya hari ini, dapat dengan mudah menjadi jatuh miskin besoknya. Kekayaan masyarakat Pegunungan Tengah terutama ditandai dengan banyaknya jumlah babi yang mereka miliki. Prinsipnya, bila kita kikir atas keberuntungan yang kita dapatkan, kecil kemungkinan akan ada yang membantu kita pada saat memerlukan. Kedermawanan, dalam hal ini, membantu masyarakat adat Pegunungan Tengah bangkit mengatasi perjuangan eksistensinya.
            Komunitas masyarakat adat Pegunungan Tengah mengajarkan arti pentingnya perbedaan, persaudaraan, dan kesetaraan. Tak ada ruang bagi elit yang istimewa dalam sistem kesukuan, tak ada sistem aristokrasi maupun pewarisan tahta. Kepala suku tidak memberikan posisinya pada anak lelakinya, karena suku memerlukan orang terbaik, tak peduli seseorang itu dari keturunan siapa. Egalitarianisme yang kuat dan mendalam menjadi ciri semangat masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah yang merantau. Di manapun, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri menjadi bagian dari kelompok-kelompok perjuangan.
            Puncak dari solidaritas yang sangat kental dalam suku selalu digambarkan melalui syair-syair lagu yang memesona dan memompa semangat. Syair-syair yang dilantunkan ketika meratapi suatu musibah akan membuat air mata tak terbendung. Ada pula syair-syair yang menggambarkan peperangan dan keberhasilan suku, yang digunakan para anggota keluarga dan suku untuk menghargai kualitas istimewa Ap Kany. Syair-syair dimaksud tidak tertulis dan tidak ada batasan mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh mengarang atau menyanyikannya.
            Semua syair sejalan dengan peristiwa, konteks, dan waktu. Pada setiap suku terdapat orang-orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Ada pula orang yang bisa memberi petunjuk bagi orang yang kehilangan. Susunan organisasi di dalam klan itu tidak tertulis. Tetapi berlaku dengan sangat rapi dan dijunjung tinggi oleh setiap anggota. Dalam konteks ini, masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah yang merasa paling bingung dan mengalami disorientasi adalah mereka yang telah hidup mapan. Masyarakat adat yang berimigrasi ke pusat-pusat kota dan menetap di sana berdampingan dengan suku-suku lainnya. Mereka berhasil dalam pendidikan, namun sistem kesukuan tidak dapat berjalan ketika harus hidup dengan orang lain secara berdekatan.
            Masyarakat adat yang di kampung-kampung juga mengalami kebingungan, karena mereka menemukan bahwa ideologi lama ternyata tidak membekali mereka tentang tata cara hidup di kota.
            Ketujuh, dewasa ini, ketika uang mulai mendapatkan nilai yang nyaris agamis, kapitalisme agresif tidak pernah sesuai dengan etika kesukuan komunal pada masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah. Kapitalisme secara alamiah mendorong tumbuhnya keserakahan dan individualisme. Berbagai klan terlibat dalam kompetisi yang tajam. Masyarakat adat tidak lagi membagi kekayaan mereka secara merata sebagaimana etika suku lama. Setiap orang berlomba-lomba ingin memiliki kekayaan untuk dirinya sendiri. Mereka mengeksploitasi kemiskinan dan ketidakberdayaan kaumnya sendiri, dan tidak merawat anggota-anggota yang lebih miskin dan lemah sebagaimana etos lama yang mengharuskan mereka bersikap demikian. Peradaban kekinian tidak berpihak pada masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah, mereka merasa kurang beruntung dan tersesat.
            Kenyataannya, sangat sedikit dari kaum imigran yang berempati kepada masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Kalaupun ada, itu hanya bersifat semu. Mereka datang dengan pengetahuan yang sangat sedikit tentang masyarakat adat Pegunungan Tengah, atau bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu sama sekali. Terlihat bahwa kaum imigran mengedepankan ego kultural dari daerah asal mereka, sehingga kata-kata dan tindakan mereka adalah kesewenang-wenangan. Mereka memiliki perasaan superior, sementara masyarakat adat, khususnya dari Pegunungan Tengah ditempatkan sebagai kelompok inferior. Kedua kelompok tersebut belum pernah menciptakan ruang dialog untuk menjaga keselarasan, agar tidak menghancurkan nilai-nilai masyarakat adat yang diyakini sejak di masa lalu.  Selain itu, masyarakat imigran seolah tidak memiliki kebijaksanaan untuk membangun di atas tradisi masyarakat adat Papua.
            Kaum imigran tidak membiarkan masyarakat adat melakukan sesuatu dengan cara atau daya yang ada pada mereka sendiri. Sebaliknya, seperti yang tampak, kaum imigran meminta masyarakat adat Papua memikirkan, juga mempraktikkan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa. Mereka menggunakan pendekatan anti realitas di dalam berinteraksi dengan masyarakat adat Pegunungan Tengah. Jika terus ditekan demikian, mereka telah dan akan kehilangan posisi nyatanya atau eksistensinya di dunia. Salah satu indikasinya adalah sebagian besar masyarakat Pegunungan Tengah belum bebas dari penyakit buta huruf hingga hari ini.
            Tulisan ini saya akhiri dengan pendapat, Muhammad A. Shomali, yang mengatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang tidak merugikan, misalnya pergi ke kebun jam enam pagi. Sedangkan moral adalah perlakuan terhadap orang lain, misalnya memberikan makanan kepada tamu terlebih dahulu. []


[1]              Penulis adalah pemerhati masalah perubahan sosial dan mutu pendidikan.

Esai Kleopas Kelly Sondegau: Mitos Peagabega Suku Migani (2)



Mitos Peagabega Suku Migani (2)
                              Oleh Kleopas Kelly Sondegau 
Makna dan Nilai Cerita Tokoh Peagabega

Seluruh orang Migani yang mendiami wilayah Dugindoga-Kemandoga (kini Intan Jaya) menerima dan mengakui tokohPeagabegasebagai seorang tokoh legendaris atau tokoh ideal(Tugumenedalo/Hajimene). Ungkapan tokoh ideal itu diberikan kepada figur Peagabega karena penampilannya di hadapan publik kala itu mempunyai pengaruh yang amat besar dalam kehidupan suku bangsa Migani. Pengaruh yang dimaksud dalam konteks ini adalah hal-hal positif yang diperlihatkan olehPeagabegamelalui seluruh perkataan maupun perbuatannya.
Dalam seluruh hidup dan karyanya, Peagabega seringkali menampilkan ciri coraknya antara manusiawi dan adi-manusiawi. Hal ini berarti bahwa Peagabega bukan manusia biasa, sama seperti orang-orang yang hidup pada zamannya. Oleh karena itu, ia kadang berubah rupa seperti burung yang bisa terbang ke mana-mana, tetapi tetap dalam bentuk manusia (Menehipi Begahipi Diginagadia); sering juga seperti malaikat (AluwiMene) yang bisa berkeliling dari kampung ke kampung sambil berbuat baik. Ia juga hadir untuk membawa keselamatan bagi semua orang Migani melalui berbagai upaya pencegahan yang dilakukannya. Ia tidak menghendaki kejahatan terus terjadi dalam kehidupan orang Migani. Maka itu, upaya-upaya pencegahan yang dilakukan olehPeagabega dilihat sebagai suatu upaya keselamatan yang hendak dikonkritkan bagi semua orang Migani.
Walaupun demikian, upaya keselamatan yang hendak dikonkritkan olehPeagabega itu tidak ditanggapi secara baik oleh sebagian orang Migani. Sebagian orang yang dimaksud berasal dari kelompok orang yang memusuhi dirinya. Mereka amat memusuhi Peagabega karena selalu mengalami kegagalan dalam mewujudkan niat jahat. Orang-orang ini tidak mampu menangkap maksud baik yang hendak dinyatakan olehPeagabega itu dalam kehidupan mereka. Hal ini menyebabkan kehadiranPeagabega dilihat sebagai sebuah ancaman bagi mereka yang hendak terus melakukan kejahatan. Oleh karena itu, didorong oleh iri hati dan dendam para musuh pun berhasil membunuhPeagabega.
Sementara masyarakat yang memihakPeagabega menyadari bahwa seluruh hidup dan karyanya membawa keselamatan. Keselamatan tersebut ia wujudkan melalui perkataan (peramal) maupun perbuatan (upaya pencegahan). Orang-orang ini amat tertarik dengan kehidupanPeagabega karena ia selalu memperjuangkan nilai-nilai hidup baik seperti kebenaran (Wugumaduau), kedamaian (Hasuguau), cinta kasih (Ngganeau), dan segala kehidupan yang baik (UsuamaToaUmaDuapa). Semua nilai hidup baik ini telahPeagabega lakukan ketika ia tampil secara mengagumkan di hadapan mereka. Untuk itu, kelompok orang yang memihak hidup dan karya tokohPeagabega ini amat sedih ketika iaditangkap dan dibunuh oleh para musuh bersama tua-tua adat orang Migani kala itu.
Setelah Peagabegahilang dari panggung sejarah,[1] ia selalu dikenang sepanjang masa, hingga saat ini. Oleh karena itu, seluruh hidup Peagabega, baik perkataan[2] (peramal) maupun perbuatan (upaya pencegahan) menjadi pedoman hidup bagi semua orang Migani. Dasar hidup yang berpijak pada teladan hidup Peagabegatersebut masih terus dihayati oleh orang Migani hingga Gereja Katolik masuk di wilayah Dugindoga-Kemandoga (Intan Jaya). Kehadiran Gereja tidak membuat penghayatan orang Migani terhadap Peagabegasebagai tokoh ideal itu memudar. Artinya, walaupun Gereja masuk di wilayah orang Migani, mereka masih berpegang teguh pada nilai-nilai hidup baik yang pernah diperlihatkan oleh Peagabega itu sendiri ketika ia masih tampil di hadapan publik kala itu.
Orang Migani juga masih mengenang seluruh hidup dan karya tokoh Peagabegakarena kisah hidup Peagabegamerupakan mitos suci yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.[3] Dalam situasi dan kondisi penghayatan yang demikian, Gereja terus mewartakan Kristus dan Sabda-Nya di tengah-tengah kehidupan orang Migani. Seluruh upaya pewartaan yang dilakukan oleh Gereja tersebut menyadarkan orang Migani untuk menggali kembali sejarah hidupnya. Akhirnya melalui upaya pewartaan tersebut, orang Migani mulai menyadari bahwa ternyata Kristus yang diwartakan oleh Gereja itu mirip dengan kehidupan tokoh Peagabegadi masa yang lampau. Dengan adanya penghayatan yang demikian, maka Gereja mulai membuka diri untuk mewartakan Injil Kristus sesuai konteks budaya Migani.
Oleh karena itu, Gereja berinisiatif untuk melakukan upaya agar nilai-nilai positif dalam budaya Migani itu diinkulturasikan dalam Gereja Katolik. Akhirnya upaya inkulturasi yang dimaksud sudah dilakukan melalui inkulturasi tokoh Peagabega dalam Gereja Katolik. Upaya tersebut tampak dalam drama kisah sengsara Kristus pada perayaan Jumat Agung di paroki St. Misael Bilogai. Dalam drama kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus tersebut, tokoh Yesus dari Nazaret sebagaimana yang diajarkan oleh Gereja itu diperankan oleh seorang pemuda Migani, dan pemuda tersebut diberi nama Peagabega. Dengan adanya upaya inkulturasi tokoh Peagabegadalam Gereja Katolik, maka Gereja sungguh menemukan pola pewartaan yang tepat. Karena itu, orang Migani juga mampu menghayati Kristus dan sabda-Nya sesuai dengan konteks budayanya sendiri. Inilah penghayatan iman yang kontekstual bagi suku bangsa Migani.

Dengan demikian, tokoh Peagabegamemberikan makna dan nilai tersendiri bagi kehidupan orang Migani. Hal ini mengandung arti bahwa penghayatan terhadap Allah (EMO) dapat diwujudkan melalui tokoh Peagabega yang sudah diinkulturasikan dalam Gereja Katolik. Atau dapat dikatakan juga bahwa penghayatan terhadap Kristus yang diajarkan oleh Gereja itu justru dihayati secara mendalam oleh orang Migani melalui tokoh Peagabega. Upaya penghayatan dan pengungkapan iman yang sesuai konteks budaya masih berlangsung terus di paroki Bilogai hingga saat ini. []


[1]     Setelah Peagabega hilang dari panggung sejarah, maka selanjutnya ia diterima dan diakui oleh semua orang Migani (yang pro maupun kontra) sebagai tokoh ideal (Tugumenedalo/Hajimene) yang datang untuk membawa keselamatan. Dalam konteks ini diketahui bahwa pengakuan tersebut datang juga dari para musuh namun sayang sekali bahwa pengakuannya muncul setelah Peagabega hilang dari panggung sejarah (ternyata melalui suatu refleksi yang panjang, orang-orang yang awalnya menjadi musuh Peagabega itu kini menyesal sehingga selanjutnya bertobat dan percaya kepadanya sebagai pembawa keselamatan).
[2]                      Perkataan yang dimaksud lebih pada keberadaan Peagabega sebagai seorang peramal yang baik. Namun demikian, penulis belum mengetahui secara mendalam perkataan-perkataan yang pernah diucapkan oleh Peagabega (hal ini hanya diketahui oleh tua-tua adat dari klan pemilik mitos). Oleh karena itu, perkataan yang menjadi pedoman hidup dalam konteks ini lebih pada nilai-nilai positif yang tersirat dalam berbagai ramalan yang biasa dilakukannya, seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kedamaian, cinta kasih dan seterusnya. Nilai-nilai ini tidak dikatakan secara langsung oleh Peagabega namun tersirat dalam ramalan-ramalan yang dilakukannya demi kebaikan banyak orang. Namun demikian, penulis yakin bahwa barangkali ada sejumlah perkataan yang pernah diucapkan oleh Peagabega secara langsung namun penulis sendiri belum mewawancarai para informan secara lebih mendalam.
[3]                      Seluruh hidup dan karya tokoh Peagabega yang masih dikenang oleh orang Migani itu bukan melalui ritus-ritus yang dilakukannya, namun dikenang sepanjang masa melalui ceritera-ceritera yang diwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Esai Kleopas Kelly Sondegau: Mitos Peagabega Suku Migani (1)



Mitos Peagabega Suku Migani
Oleh Kleopas Kelly Sondegau


Suku bangsa Migani adalah sebutan bagi penduduk asli yang bertempat tinggal di seluruh wilayah Dugindoga-Kemandoga atau dari Mbulu-Mbulu sampai Magataga,[1] di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Kabupaten ini berada di wilayah Pegunungan Tengah, dengan ketinggian ± 2.500 meter di atas permukaan laut. Lingkungan alam dan suhu udaranya cukup ekstrim, sewaktu-waktu akan meningkat dengan curah hujan yang tidak tentu. Kontur tanah di daerah ini berbukit-bukit batu diselingi gunung-gunung yang menjulang tinggi, dan sangat jarang ditemukan permukaan tanah datar yang luas. Daerah Intan Jaya tidak memiliki pantai atau lembah yang luas sebagaimana daerah lain di Papua.[2] Dengan kondisi geografis yang demikian, sebagian besar orang Migani mendirikan rumahnya di lereng-lereng bukit yang curam.
Di sebelah selatan wilayah ini terdapat Puncak Cartenz atau Gresberg, yang dalam bahasa Migani terkenal dengan nama Mbainggela Pigu.[3] Sementara Suku bangsa Amungme di Timika menyebut gunung yang sama dengan istilah Nemangkawi[4] Ninggok. Sementara masyarakat umum mengenal pegunungan ini dengan nama Puncak Jaya. Tingginya mencapai 4.884 meter dan terhitung sebagai salah satu gunung tertinggi di dunia.[5] Selain gunung-gunung, daerah Intan Jaya juga memiliki beberapa sungai besar dan kecil, antara lain, Sungai Kemabu, Mbiabu, Wabu, juga Sungai Dogabu.[6] Jika kita bayangkan, suku Migani mendiami satu wilayah eksotis yang sulit ditemukan padanannya di tempat lain. Dari sanalah mitos Peagabega bermula.
Secara etimologis, “Peagabega” terdiri dari dua kata, yaitu Peaga dan Bega. Peaga artinya luput atau terhindar, sementara Bega menunjuk pada arti burung. Jadi, kata Peagabega secara harfiah berarti burung yang luput atau terhindar dari serangan musuh. Dalam konteks ini, menurut budaya orang Migani, Bega selalu diidentikkan dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, nama Peagabega dapat diartikan sebagai seorang laki-laki yang selalu terhindar dari serangan musuh yang hendak membunuhnya.[7] Nama itu sudah diberikan oleh orang tua sejak ia lahir, yang tentu saja mengandung seluruh filosofi keberadaan dirinya sebagai manusia Migani.[8] Hal ini terlihat dalam proses perkembangan selanjutnya, yakni Peagabega mulai terkenal sebagai pribadi yang sanggup mencegah berbagai kejahatan di seluruh daerah orang Migani kala itu.
Dengan mengamati seluruh tindakan Peagabega, banyak orang kemudian memusuhinya. Mereka adalah kelompok orang yang menghendaki kejahatan tetap ada dalam kehidupan orang Migani. Orang-orang ini mulai menaruh dendam kepada Peagabega, bahkan mulai merencanakan pembunuhan terhadapnya. Mereka menggunakan berbagai strategi, namun tidak pernah berhasil. Peagabega selalu luput dari serangan para musuh. Hal ini tentu karena Peagabega sebagai seorang peramal yang ulung (Kubaimene), mampu mengetahui niat jahat orang lain untuk membunuh dirinya.[9]
Melihat kehidupannya yang demikian, nama Peagabega semakin populer di kalangan orang Migani kala itu. Mereka mulai menyadari nama Peagabega itu sebagai karya nyata dari makna yang disandangnya. Artinya, dengan menyaksikan tindakan Peagabega (mencegah kejahatan dan selalu terhindar dari serangan musuh), orang Migani mulai menerima dan mengakui kebesaran makna nama Peagabega. Pengakuan tersebut menunjukkan kekaguman orang Migani terhadap nama Peagabega. Karena apa yang dilakukannya sesuai dengan makna dari nama yang ia miliki. Sebab itulah kisah mengenai tokoh Peagabega masih diwariskan secara turun-temurun melalui cerita-cerita, yang selanjutnya disebut mitos tokoh Peagabega orang Migani.
Dalam tulisan ini saya hendak menegaskan bahwa tokoh Peagabega bukan merupakan sosok ideal yang tampil pada awal mula penciptaan, yang sering dipandang sebagai pencipta atau manusia pertama. Namun Peagabega adalah seorang tokoh ideal yang tampil sesudah adanya manusia pertama. Gambaran ideal itu muncul dalam kurun waktu leluhur mitis, mengingat sifatnya yang manusiawi dan adi-manusiawi. Maka itu, Peagabega dipandang oleh orang Migani sebagai penyebab segala kondisi manusia saat itu.[10] Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa kisah hidup tokoh Peagabega yang diceritakan dari generasi ke generasi telah menjadi mitos terkenal bagi seluruh  klan di wilayah kabupaten Intan Jaya. Peagabega dapatdilihat sebagai salah satu tokoh legendaris atau tokoh ideal dalam kebudayaan suku bangsa Migani hingga saat ini, kini, dan di sini.



Mitos Tokoh Peagabega[11]

Suatu masa, hiduplah keluarga Ogakendo di Kampung Soagepa.[12] Ogakendo memiliki tiga anak, yaitu Umabu, Kuikali, dan Peagabega. Sementara nama istri Ogakendo tidak diketahui hingga sekarang. Peagabega adalah anak lelaki tunggal di keluarga itu. Kedua kakaknya, yaitu Umabu dan Kiukali adalah perempuan. Keluarga Ogakendo sudah lama hidup di Soagepa. Namun mereka kemudian pindah ke Kampung Mbamogo dan menetap di sana. Ketika berada di tempat baru, Peagabega menyaksikan berbagai kejahatan terus terjadi, seperti pencurian (Hanesengga), pemerkosaan (Tubaga), penculikan (Mina Mbimapia), dan seterusnya. Semua ini menyebabkan terjadinya peperangan (Mbole), penderitaan (Otoaunggagama Umbi Tuwidia), dan kematian (Mene Hilasumadia).
Menyaksikan realitas hidup yang memprihatinkan itu, Peagabega berusaha menciptakan situasi yang baik (Usuama Toa Uma Duapa). Ia tidak menghendaki kejahatan terus terjadi di kalangan orang Migani. Dalam situasi dan kondisi hidup yang demikian,Peagabega menjadi pribadi yang unik dan mengagumkan bagi banyak orang. Ia tampil sebagai manusia yang berkarisma, dapat berada di mana-mana seperti angin (Pupugunaga Mene). Wujudnya dapat diketahui sebagai manusia, namun bukan manusia biasa (Tugumenedalo/Hajimene). Ia kadang berubah rupa seperti burung yang bisa terbang ke mana-mana, tetapi tetap dalam bentuk manusia (Menehipi Begahipi Diginagadia). Sering juga ia menjelma seperti malaikat (AluwiMene) yang bisa berkeliling dari kampung ke kampung.
Peagabega sebagai seorang peramal (Kubaimene) mampu mengetahui secara langsung orang-orang Migani yang berniat jahat terhadap sesama. Misalnya, Kelly mempunyai niat untuk mencuri babi. Ketika Kelly hendak mewujudkan niat tersebut, ternyata Peagabega muncul secara tiba-tiba di depannya. Mau tidak mau, niat mencuri babi tidak membuahkan hasil. Di waktu yang lain dengan orang yang berbeda, Peagabega juga menemukan orang yang hendak memperkosa gadis atau pun istri orang. Namun niat untuk melakukan aksi tersebut tidak membuahkan hasil karena Peagabega muncul di hadapannya. Ada juga yang hendak menculik anak perempuan orang, namun mengalami hal yang sama, yakni digagalkan oleh Peagabega.[13]
Berbagai niat jahat yang hendak dilakukan oleh orang-orang Migani selalu dicegah oleh Peagabega. Secara khusus, Peagabega memiliki sapaan yang selalu diungkapkan ketika berhadapan dengan orang yang hendak mewujudkan niat jahat apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Bunyi sapaan itu adalah “Bii…Bii….” atau dengan kata lain “Iniagao, Iniagao” yang secara harafiah berarti “saya telah melihat, saya telah melihat”. Dalam konteks ini, apa pun usaha seseorang untuk mewujudkan niat jahat selalu diketahui atau dilihat oleh Peagabega, sehingga niat jahat tersebut tidak dapat dilakukan.[14]
Lambat laun, tindakan Peagabega mendapatkan perhatian besar, baik dari kelompok yang simpati maupun dari kelompok yang menaruh dendam padanya karena selalu gagal berbuat jahat. Kelompok pertama tentu memberi pujian dan sanjungan. Sedangkan kelompok kedua justru hendak membinasakan Peagabega. Ramalan-ramalannya yang selalu benar menimbulkan dendam tersendiri bagi mereka. Terutama ramalan tentang kematian. Peagabega mampu mengenali tanda-tanda setiap orang yang mendekati kematian, sehingga ia tahu seseorang akan meninggal dalam waktu dekat.[15] Kemampuan Peagabega yang demikian menimbulkan kecurigaan besar di tengah masyarakat, sehingga ia dituduh sebagai aktor yang turut memperpendek usia orang sakit.
Dendam lain juga muncul karena dalam setiap pesta adat (Wogone Wane Dia Mbutu) Peagabega selalu datang menyaksikannya. Tujuan kehadirannya adalah hendak melihat apakah pesta itu berjalan dengan damai atau tidak. Hal ini dilakukan karena Peagabega tahu bahwa dalam situasi pesta seperti itu mempunyai peluang besar untuk melampiaskan dendam terhadap sesama yang dianggap musuh. Peagabega hadir untuk mengatasi kemungkinan terjadinya konflik. Namun demikian, hal ini justru mengundang amarah. Oleh karena itu, orang yang selalu mengalami kegagalan berhasil memperalat para tuaadat agar membantu menyusun strategi untuk membunuh Peagabega.[16] Akhirnya, strategi pun dilakukan lewat pertemuan rahasia (Muna). Setelah persiapannya matang, mereka pun mengadakan pesta untuk menjebak Peagabega; dan ternyata benarlah bahwa ia hadir dalam pesta itu.
Tibalah saatnya untuk membagi daging babi kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Menurut budaya orang Migani, ada kebiasaan bahwa dalam pesta-pesta besar ketika hendak memberi daging babi kepada orang, maka nama orang itu akan disebut agar datang mengambil daging yang menjadi haknya. Proses pembagian itu berlangsung hingga sampai pada penyebutan nama Peagabega. Ketika namanya disebut (cara memanggilnya: Peeeaagaabegaoooo….) ia langsung berlari menuju tempat namanya dipanggil. Ketika ia mengambil daging babi (Wogo Dugumulu) yang menjadi miliknya, ia langsung ditangkap. Pada kesempatan inilah orang Migani melampiaskan amarah dan dendam yang tersimpan lama kepada diri Peagabega.
Sebagai pelampiasan amarah atas tindakan Peagabega selama ini, mereka menggiring Peagabega dari Mbamogo (tempat penangkapan) menuju puncak Pajebundoga (tempat mayatnya dibaringkan). Perjalanan yang jauh itu ia lalui dengan penuh penderitaan. TubuhPeagabega penuh dengan darah akibat panah (Mala) dan rotan berduri (Pandolage dan Kigualage) yang menembusi seluruh tubuhnya. Perjalanannya yang cukup jauh dan sangat melelahkan itu ia lalui tanpa lari dari kenyataan yang dihadapinya.
Dalam perjalanan tersebut ia melewati Mbamogo, Jinggama, Mando, Tituage hingga sampailah di Pajebundoga. Rotan berduri yang dililitkan pada tubuh Peagabega masih terikat kuat bersamaan dengan panah-panah yang tertancap di tubuhnya. Ketika sampai di Pajebundoga, Peagabega belum mati. Para eksekutor pun berusaha mencari akal agar ia benar-benar mati. Akhirnya didapatilah ide sehingga langsung memotong lidahPeagabega(Dabe Jambaia). Ketika lidah Peagabega dipotong, ia pun mati (Hilaia) sehingga lidah tersebut dimasukkan kembali dalam mulutnya. Setelah berhasil membunuh Peagabega, mereka membuat para-para di atas sebuah pohon (Nggigibo Aganggaga Kegosolata) dan menempatkan mayat itu di atasnya. Setelah itu mereka kembali ke kampung dengan iringan sorak-sorai (Weanepa Pogaia/Unggu-Unggupa Waitigiagodia).
Peristiwa pembunuhan Peagabega itu belum diketahui pihak keluarga. Namun beberapa waktu kemudian, berita tentang peristiwa tersebut mulai tersebar. Kedua kakaknya yang saat itu berada di kebun Puilogo Malogo pun sudah mengetahuinya. Setelah mendengar itu mereka langsung meninggalkan kebun menuju tempat mayat Peagabega dibaringkan. Dalam perjalanan itu mereka membawa jalu (bunga merah yang biasa digunakan dalam acara adat) dan tambu (sarana penerang). Hati mereka diliputi oleh kesedihan yang mendalam sehingga perjalanannya diiringi dengan tangisan (Amepama Pogaia).
Ketika kedua kakaknya tiba di Mbamogo ternyata situasinya amat sepi. Hal ini tentu karena sebagian besar masyarakat partisipasi dalam pembunuhan Peagabega,[17] dan saat itu juga terdengarlah oleh mereka iringan sorak soraidari masyarakat yang kembali setelah membunuh Peagabega. Mendengar itu, kedua kakak Peagabega langsung mengikuti arah datangnya iringan sorak-sorai, hingga menemui rombongan pembunuh dalam perjalanan. Rombongan itu memberitahu bahwa mayat sang adik ada di atas pohon Nggigibo Aganggaga.
Setelah diberitahu demikian, mereka pun sambil menangis melanjutkan perjalanannya hingga tiba di tempat mayat adiknya dibaringkan. Mereka melihat ternyata tubuh adiknya sudah tidak bernyawa. Entah karena apa, ketika melihat mayat adiknya, mereka tidak menangis. Akhirnya, mereka pun mengambil Jalu, kemudian mengibas-ngibasnya di seluruh tubuh Peagabega (Jalumbuga Wagamindia) sambil berkata: “Ndae Peagabega Manaota Unu Undiatiadale Paitindogogo” yang berarti (Hei Peagabega, mengapa tidur terus, bangunlah). Sambil berkata demikian, mereka terus mengibaskan jalu pada tubuh Peagabega. Mereka pun kaget ketika panah-panah yang tertancap di tubuh Peagabega itu mulai terlepas dengan sendirinya.Melalui kejadian ini Peagabega sudah menggerakkan tubuhnya sehingga kedua kakaknya mulai menyapa, namun ia tak bersuara. Karena merasa aneh, mereka menyelidiki ternyata lidah Peagabega sudah terpotong dan potongan lidah itu tertinggal dalam mulutnya. Akhirnya dengan kata-kata wasiat,[18] kedua kakaknya berhasil menyambung kembali lidah Peagabega seperti semula. Setelah itu, Peagabega pun bangun kembali.[19]
Setelah Peagabega bangun, mereka bertiga sepakat untuk tidak kembali ke Mbamogo, karena masyarakatnya sendiri tidak menghendaki hidup bersama. Untuk itu, Umabu, Kiukali dan Peagabegapergi ke Punitigi. Dalam perjalanannya mereka beristirahat di Bogekumbate guna membersihkan luka-luka Peagabega.Akibat dari pembersihan darah, nanah, dan cairan Peagabega, maka tempat itu kini mengalir tiga kali sesuai dengan warna darah (merah), nanah (putih) dan cairan (berminyak). Setelah membersihkan lukaPeagabega di tempat itu, mereka pun melanjutkan perjalanan ke Punitigi, dan dari situ mereka menghilang dalam sebuah telaga besar (Tope Ulinggaga Mbugudapia) milik ayah mereka; dan di dalam telaga tersebut mereka juga membuat telaga masing-masing sebagai tempat tinggalnya, sehingga kini di sana terdapat empat Uli (telaga) sesuai dengan jumlah mereka.


[1]                      Sebutan Dugindoga-Kemandoga atau Mbulu-Mbulu sampai Magataga hendak menunjukkan nama tempat yang menjadi batas wilayah orang Migani dengan suku tetangga lainnya. Dengan demikian, orang Migani sebenarnya mau mengatakan kepada orang lain bahwa seluruh wilayah Kabupaten Intan Jaya itu mulai dari Mbulu-Mbulu (nama sebuah tempat yang ada di ufuk Timur) sampai Magataga (nama tempat di bagian Barat).
[2]                      Elias Japugau, Analisis Suku Moni dan Dinamika Hidupnya: Suatu Metode Menggali Praktik Hidup Suku Moni (Timika: Migani Ju Hago, 1999), hal. 1.
[3]                      Ungkapan Mbainggela Pigu secara etimologis diartikan seperti berikut. Kata Mbainggela terdiri dari dua kata yaitu Mbai dan nggela. Kata Mbai bermakna ganda yaitu pertama bisa berarti dilarang, tidak biasa atau tidak dapat. Dan kedua bisa berarti berdoa atau sembahyang. Sementara kata nggela menunjuk pada batu. Jadi, Mbainggela berarti batu terlarang/batu yang dilarang. Bisa juga berarti batu doa/batu sembahyang. Sedangkan kata Pigu menunjuk pada gunung. Maka itu, ungkapan Mbainggela Pigu berarti gunung terlarang atau gunung yang dilarang. Atau bisa juga disebut gunung doa atau suci (sakral).
[4]                      IstilahNemangkawi berasal dari bahasa orang Amungme yang berarti gunung yang putih, suci atau sakral; Lihat Amandus Rahadat Pr, Konsekrasi Gereja Katedral Tiga Raja Timika (Timika: Gereja Katedral Tiga Raja Timika, 2010), hal. 55.
[5]                      Kal Muller, Mengenal Papua, hal. 13. Tanpa nama tempat, penerbit dan tahun terbit.
[6]                      Louis Markus Zonggonao, Praktek Dan Latar Belakang Larangan Perkawinan Antara Suku Ekagi Dan Suku Migani yang Diungkapkan Dengan Istilah Wiyee atau Wize.Skripsi. (Jayapura: STFT, 1976), hal. 4.
[7]                      Selpianus Bagubau, Wawancara: Makna nama Peagabega. Rabu, 13 Februari 2013, pukul 10.00 WIT, di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Buper Waena, Jayapura.
[8]                      Peaga Bega adalah nama adat yang diberikan oleh orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa semua orang tua dari suku bangsa Migani selalu memberikan nama adat kepada setiap anak yang lahir. Nama tersebut mengandung makna yang cukup mendalam bagi setiap pribadi yang menyandangnya.
[9]                      Berkaitan dengan peristiwa penangkapan, bukan mustahil bagi seorang Peagabega sebagai peramal yang ulung telah mengetahui sebelumnya. Namun hal ini dilihat sebagai sikap lepas bebas dari sang Peagabega sendiri (rela mati daripada dikejar terus-menerus). Maka, melalui pesta besar (Wogone Wane Diambutu) yang digelar oleh orang-orang yang selalu mengalami kegagalan bersama para tua adat, akhirnya ia pun ditangkap dan dibunuh.
[10]                    Bagian ini mengikuti pemikiran Agus A. Alua, Gambaran Makhluk Ideal Dalam Mitos-Mitos Irian Sebelum dan Setelah Bertemu Kristus. Karya Tulis Ilmiah Mitologis-Kristologis, hlm. 4.
[11]                   Dikumpulkan dari berbagai sumber dengan sumber utama Bapak Selpianus Bagubau dan Bapak Yustinus Nambagani, Wawancara: tentang Mitos Peagabega. Rabu, 13 Februari 2013, pukul 10.00 WIT, di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Buper Waena, Jayapura.
[12]                   Salah satu kampung yang berada di wilayah Kuasi Titigi, Paroki St. Misael Bilogai.
[13]                    Upaya pencegahan yang dilakukan oleh Peagabega itu bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang baik di tengah-tengah kehidupan orang Migani.
[14]                    Tindakan pencegahan ini hendak menunjukkan bahwa Peagabega tidak menginginkan adanya kejahatan.
[15]                    Upaya ini Peagabega lakukan dengan maksud supaya keluarga si penderita segera mencari jalan keluar demi kesembuhan orang yang sedang sakit. Namun sayang sekali bahwa orang yang memusuhi dirinya itu tidak mengerti maksud yang dilakukan oleh Peagabega. Dalam konteks ini Peagabega tidak memberitahu secara langsung kepada pihak keluarga yang sakit agar segera mencari solusi demi kesembuhan si penderita. Maksud Peagabega ini belum diketahui oleh orang Migani hingga saat ini.
[16]                    Sejumlah orang yang memusuhi Peagabega berhasil menghasut tua-tua adat dengan tuduhan bahwa kehadiran Peagabega amat mengganggu kenyamanan masyarakat. Salah satu contoh yang mereka kemukakan kepada tua-tua adat adalah Peagabega dianggap sebagai aktor utama dalam memperpendek usia orang Migani sehingga banyak yang terus meninggal. Dengan berbagai hasutan tersebut, maka para tua adat pun partisipasi dalam pembunuhan Peagabega.
[17]                    Sebagian besar masyarakat yang dimaksud dalam konteks ini adalah kelompok masyarakat yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang selalu mengalami berbagai kegagalan.
[18]                    Kata-kata wasiat yang digunakan untuk menyambung lidah Peagabega belum diketahui sampai saat ini. Barangkali dirahasiakan oleh tua-tua adat bangsa Migani khususnya dari  Nabelau, Pogau, Agimbau dan Bagubau demi menjaga kesucian mitos ini. Atau bisa saja kata-kata wasiat yang dimaksud tidak diketahui oleh para pemilik mitos itu sendiri. Dengan kata lain, kata-kata wasiat yang dimaksud benar-benar ada namun penulis sendiri belum sempat melakukan wawancara dengan para informan secara lebih mendalam.
[19]                    Berkaitan dengan Peagabega yang “bangun kembali” perlu dilihat dalam konteks mati suri (kelihatan sudah mati padahal sebenarnya masih hidup) atau bisa saja ia “pingsan” karena perjalanan yang ia lewati itu amat jauh. Dengan demikian, ketika kedua kakaknya menyambung kembali lidahnya yang terpotong, maka pada saat yang sama Peagabega pun bangun kembali.