Rabu, 15 Juni 2016

Kafe Sastra: Percumbuan Sastra dan Fotografi

Jayapura, Jubi – Apa yang dilakukan olehnya sebuah bangku di sudut Harlem, selain menanti hari yang berganti mengamati pucuk-pucuk awan dari sudutnya berdiri?
     Demikian penggalan puisi yang dihimpun Komunitas Sekolah Menulis Papua dan dibacakan dalam diskusi Kafe Sastra bertajuk “Percumbuan Sastra dan Fotografi” yang digelar di hotel Grand Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Minggu petang, 12 Juni 2016.
 
     Sriyono, dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat, salah satu narasumber dalam diskusi itu membawakannya dengan khidmat. Diiringi musik instrumen. Suasana sunyi.

Pemberian cenderamata oleh Kepala Sekolah Menulis Papua, Burhanuddin kepada salah satu naramber, Lie Tangkepayung usai diskusi Kafe Sastra “Percumbuan Sastra dan Fotografi” di Grand Abe Hotel, Distrik Abepura, Minggu petang – Jubi/Timo Marten


     “Kekuatan puisi ada pada kepadatan kata. Satu kata mewakili banyak hal. Oleh karena itu, wajib menguasai kosakata,” katanya.
     “Puisi tidak sekadar keindahan pada kata-kata. Puisi merupakan tone; nada. Gunakan bahasa metafora, dan jangan yang vulgar,” lanjutnya.
     Puisi yang dibawakannya itu menceritakan tentang sebuah bangku tua di bawah pohon, suatu senja di pantai Harlem, Kabupaten Jayapura.
      Karya-karya fotografi milik John dari Komunitas Fotografi Balobe akhirnya menginspirasi banyak penyair Sekolah Menulis Papua untuk menuliskan puisi-puisinya yang akan diterbitkan Juli mendatang. Salah satunya sajak bangku tua, karya Stebby Julionatan, yang diinspirasi foto karya John Steven Rogi dari komunitas Balobe.
     “Bangku di sudut Harlem//takkan pernah jadi kapal yang membawamu menyeberangi pulau-pulau//takkan pernah jadi lemari yang menampung jubah-jubah pelayananmu…”
John Steven Rogi, dari Komunitas Fotografi Balobe yang sepuluh fotonya menginspirasi penyair-penyair tersebut mengatakan dirinya mau memperkenalkan Papua ke dunia luar melalui gambar/foto.
     “Papua punya tempat yang indah dan banyak. Mari kitorang jaga,” katanya.
Ia mengaku tertarik dengan fotografi sebab fotografi merupakan kesenian, unik dan mengutamakan rasa manusia.
     Hal itu diakui salah satu narasumber dalam diskusi tersebut, Lie Tangkepayung. Lie berpendapat semua orang bisa memotret, tapi tidak semua orang disebut fotografer.
     “Standar menilai foto bagus atau tidak, kembali ke tujuan foto itu. Semua orang bisa memotret, tapi tidak semua orang disebut fotografer,” kata Lie.
     Pendiri komunitas Fotografi Balobe, Soni Wanda mengatakan fotografi di Papua selama sepuluh tahun terakhir mengalami perkembangan. Oleh karena itu, pihaknya berupaya memperkenalkan Papua ke dunia melalui foto-foto yang bercerita.
    “Banyak istilah fotografi pakai kata asing, tapi kami pakai sebutan yang lokal: Balebo (berburu/mencari ikan) biar lebih akrab dengan konteks Papua,” katanya.

Percumbuan Sastra dan Fotografi: Ajakan Mencintai Literasi
    Fotografi dalam pengertian umum berarti seni dan penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Dalam bahasa Yunani Photo (cahaya) dan grapho (melukis). Melukis dengan cahaya.
    Sastra sebagai ungkapan perasaan yang jujur tentang keindahan melalui kata-kata, seperti puisi, prosa dan drama. Dalam karya sastra terkandung unsur kebenaran, keindahan dan kejujuran.
Penulis novel “Cinta Putih di Bumi Papua” yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut mengatakan fotografi dan sastra sama-sama menampilkan keindahan dan pesan moral.
    “Sastra juga begitu. Menceritakan tentang kehidupan manusia,” katanya.
Kepala Sekolah Menulis Papua, Burhanuddin mengatakan pihaknya berupaya memperkenalkan sastra secara luas, tidak hanya melalui keindahan kata-kata, tetapi juga melalui musik dan fotografi.
    “Sastra juga bisa disandingkan dengan musik, fotografi, isu lingkungan hidup, bahkan kita juga angkat tema tentang pendidikan karakter,” katanya.
Ia bahkan mengharapkan diskusi yang digelar pihaknya dengan menghadirkan penikmat sastra, jurnalis, penyair, fotografer dan peserta lainnya itu menginspirasi masyarakat Papua untuk semakin mencintai budaya literasi. (*) (Sumber: http://tabloidjubi.com/2016/06/13/kafe-sastra-percumbuan-sastra-dan-fotografi/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar