Jayapura,
Jubi – Apa yang dilakukan olehnya sebuah bangku di sudut Harlem, selain
menanti hari yang berganti mengamati pucuk-pucuk awan dari sudutnya
berdiri?
Demikian penggalan puisi yang dihimpun Komunitas Sekolah Menulis
Papua dan dibacakan dalam diskusi Kafe Sastra bertajuk “Percumbuan
Sastra dan Fotografi” yang digelar di hotel Grand Abe, Distrik Abepura,
Kota Jayapura, Minggu petang, 12 Juni 2016.
Sriyono, dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat, salah satu
narasumber dalam diskusi itu membawakannya dengan khidmat. Diiringi
musik instrumen. Suasana sunyi.
“Puisi tidak sekadar keindahan pada kata-kata. Puisi merupakan tone;
nada. Gunakan bahasa metafora, dan jangan yang vulgar,” lanjutnya.
Puisi yang dibawakannya itu menceritakan tentang sebuah bangku tua di
bawah pohon, suatu senja di pantai Harlem, Kabupaten Jayapura.
Karya-karya fotografi milik John dari Komunitas Fotografi Balobe
akhirnya menginspirasi banyak penyair Sekolah Menulis Papua untuk
menuliskan puisi-puisinya yang akan diterbitkan Juli mendatang. Salah
satunya sajak bangku tua, karya Stebby Julionatan, yang diinspirasi foto
karya John Steven Rogi dari komunitas Balobe.
“Bangku di sudut Harlem//takkan pernah jadi kapal yang membawamu
menyeberangi pulau-pulau//takkan pernah jadi lemari yang menampung
jubah-jubah pelayananmu…”
John Steven Rogi, dari Komunitas Fotografi Balobe yang sepuluh
fotonya menginspirasi penyair-penyair tersebut mengatakan dirinya mau
memperkenalkan Papua ke dunia luar melalui gambar/foto.
“Papua punya tempat yang indah dan banyak. Mari kitorang jaga,” katanya.
Ia mengaku tertarik dengan fotografi sebab fotografi merupakan kesenian, unik dan mengutamakan rasa manusia.
Hal itu diakui salah satu narasumber dalam diskusi tersebut, Lie
Tangkepayung. Lie berpendapat semua orang bisa memotret, tapi tidak
semua orang disebut fotografer.
“Standar menilai foto bagus atau tidak, kembali ke tujuan foto itu.
Semua orang bisa memotret, tapi tidak semua orang disebut fotografer,”
kata Lie.
Pendiri komunitas Fotografi Balobe, Soni Wanda mengatakan
fotografi di Papua selama sepuluh tahun terakhir mengalami perkembangan.
Oleh karena itu, pihaknya berupaya memperkenalkan Papua ke dunia
melalui foto-foto yang bercerita.
“Banyak istilah fotografi pakai kata asing, tapi kami pakai sebutan
yang lokal: Balebo (berburu/mencari ikan) biar lebih akrab dengan
konteks Papua,” katanya.
Percumbuan Sastra dan Fotografi: Ajakan Mencintai Literasi
Fotografi dalam pengertian umum berarti seni dan penghasilan gambar
dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Dalam bahasa Yunani
Photo (cahaya) dan grapho (melukis). Melukis dengan cahaya.
Sastra sebagai ungkapan perasaan yang jujur tentang keindahan melalui
kata-kata, seperti puisi, prosa dan drama. Dalam karya sastra
terkandung unsur kebenaran, keindahan dan kejujuran.
Penulis novel “Cinta Putih di Bumi Papua” yang menjadi moderator
dalam diskusi tersebut mengatakan fotografi dan sastra sama-sama
menampilkan keindahan dan pesan moral.
“Sastra juga begitu. Menceritakan tentang kehidupan manusia,” katanya.
Kepala Sekolah Menulis Papua, Burhanuddin mengatakan pihaknya
berupaya memperkenalkan sastra secara luas, tidak hanya melalui
keindahan kata-kata, tetapi juga melalui musik dan fotografi.
“Sastra juga bisa disandingkan dengan musik, fotografi, isu
lingkungan hidup, bahkan kita juga angkat tema tentang pendidikan
karakter,” katanya.
Ia bahkan mengharapkan diskusi yang digelar pihaknya dengan
menghadirkan penikmat sastra, jurnalis, penyair, fotografer dan peserta
lainnya itu menginspirasi masyarakat Papua untuk semakin mencintai
budaya literasi. (*) (Sumber: http://tabloidjubi.com/2016/06/13/kafe-sastra-percumbuan-sastra-dan-fotografi/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar