Mawe
Barnas Adewata
Hari ini aku duduk bersama ketiga
temanku. Merekalah yang sering menemani, berbincang, dan menghabiskan waktu
bersamaku. Ingin aku bercerita tentang kejadian yang kualami. Tapi aku bingung
bagaimana memulainya.
Lembaran koran yang kupegang erat
tiba-tiba diambil oleh Yakob. Dia membaca headline berita tentang penembakan anggota polisi di Puncak Jaya
oleh anggota separatis yang belum
dikenal dan diketahui keberadaannya, serta motif dari penembakan tersebut.
Oknum itu hingga sekarang masih
dicari. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Yehud
menyela Yakob dan menjelaskan bahwa para pelaku bisa diketahui jika polisi mau melakukan
ritual mawe.
Dengan lihainya ia menghipnotis
kami dalam pembicaraannya. Pikirku, mungkin salah satu anggota keluarganya
dukun, atau dialah sang dukun sehingga sangat mengerti detail pelbagai ritual
yang dilakukan di Papua.
“Cukup Pak Kapolda panggil Bapa
John melakukan ritual, pasti seminggu setelah itu para penjahat akan
tertangkap,” kata Yehud dengan yakin.
“Mawe juga dapat gunakan untuk
mengetahui ciri-ciri pencuri, kalau ada kehilangan. Ya, tergantung kebutuhan,” tambahnya.
Dengan semangat Yehud
menceritakan tentang Bapa John kepada kami. Bapa John itu sosok yang fenomenal
menurutnya. Walaupun kulitnya yang keriput seakan-akan terkelupas oleh laju
usia, tapi jika melakukan ritual mawe ia terlihat kembali muda. Ketika ritual
itu dilakukan,
sorot mata Bapa John akan tampak begitu
tajam dan keringatnya terus bercucuran.
Yakob kemudian bertanya perihal pelet,dan Yehuddengan sangat yakin menjawab bahwa pelet itu benar-benar
ada. Caranya, dengan menggunakan rerumputan
tertentu atau dedaunan yang telah dipilih oleh sang dukun seperti daun
perempuan, daun kebal, atau daun terbang, yang dijampi-jampi atau dibacakan
mantra.
Sang pemelet melumat-lumatkan
rerumputan tersebut dalam genggaman tangannya, kemudian ditepukkan ke orang
yang dituju. Seminggu setelah itu, Yehud meyakinkan bahwa orang yang
disentuh dedaunan itu akan tergila-gila kepada si pemelet.
“Yehud, kayaknya kamu perlu
melakukan itu, biar nggak jomblo terus,”
balas Yakob padanya. Serentak kami pun tertawa.
Sementara mereka
tertawa, aku hanya tersenyum kecut menahan apa
yang ada di hati.
Kepalaku tertunduk,
menenangkan pikiran atas kejadian yang kualami. Lalu Barbalina datang memeluk pundakku seakan dia mengerti
apa yang sedang aku rasakan.
Aku menyela dan menjaga jarak di
antara kami. Dari awal kami duduk, kurasa Barbalina dapat menangkap sesuatu
yang kusembunyikan dari mereka. Rona kesedihan yang tersimpan rapi dalam
senyuman. Mungkin inilah sebuah insting wanita yang sangat peka terhadap kaum
Adam.
“Ada apa, Li?”
“Tidak
ada apa-apa kok,”
“Dari tadi kuperhatikan, kamu
kayaknya ada masalah, cerita donk.We are friends, right?”
“Absolutely right, Sist,”
dengan menghembus nafas panjang dan dalam, akhirnya aku bilang juga padanya,
“Motorku beberapa hari yang lalu hilang.”
Yakob dan Yehud pun menghentikan
percakapan mereka setelah mengetahui apa yang kualami. Ribuan pertanyaan
membabi buta mereka lontarkan, tapi aku tetap diam tertunduk, pasrah dan
memikirkan hal baik atas kejadian ini. Berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi.
Aku sangat yakin, bahwa ada sesuatu di balik ini semua.
***
Kelas hari ini berlalu hambar.
Tak satu pun penjelasan dosen yang bisa kutangkap. Melihat dosen keluar dan
memberikan salam, aku membalas dengan tatapan kosong. Duduk terdiam memanjatkan
nama-nama-Nya, membayangkan hal-hal baik terjadi.
Aku memikirkan apa yang telah
diceritakan Yehud. Antara percaya dan tidak, tapi rasa penasaran membuat hati
ini menggebu-gebu untuk mencoba ritual yang dia ceritakan. Sesaat kemudian
Yehud menghampiriku.
”Motor baru hilang, kan?” Yehud
bertanya.
“Iya, dua hari yang lalu.”
“Gimana kita coba mawe, siapa
tahu bisa ketemu.”
“Gak mungkin to kita ke Serui,”
jawabku.
“Ongkos ke Serui bisa untuk beli
motor baru, Bro,” kata Yakob sambil tertawa lepas. Tapi Yehud tak mau kalah.
“Saya punya kenalan yang bisa melakukan ritual mawe di Jayapura sini,” ucapnya
meyakinkan.
“Kalau begitu, coba aja,” kata
Yakob.
“Aduh, kupikir dulu deh.”
Malam hari itu setelah pulang dari
kampus, perasaan menggebu untuk mencoba mawe terus bergelut dalam pikiran.
Bisikan-bisikan jahat selalu terdengar. Tanpa pikir panjang akhirnya kuraih
ponsel di atas meja dan mengirimkan pesan singkat.
“Besok temui saya setelah mata
kuliah akhir, kayaknya saya ingin coba mawe.” Kukirimkan pesan singkat itu ke
Yehud. Semenit setelah itu ada balasan di kotak masuk.
“Ok.”
***
Suasana kelas tak berbeda dengan
hari-hari kemarin. Hampa dalam kelam. Aku serasa meraba kegelapan untuk mencari
harapan di celah-celah keputusasaan. Detik berlalu tanpa ada kesan. Penjelasan
dosen mengabur.
Pikiranku kacau, pandangan
demikian gelap, perasaan pun tak karuan. Sembari merenung, kurasa hempasan
tangan kekar di pundakku.
“Sudah siap?” tanya Yehud.
“Aduh, aku masih bingung
banget.”
“Kutahu itu, dalam ajaran kami pun
dilarang. Tapi ini usaha untuk menemukan motormu.”
“Hmm..., gimana ya?”
“Santai saja sudah. Kita coba
dulu. Kalau kamu merasa nyaman, lanjut. Kalau tidak, kasih tinggal. Saya tidak
enak sudah buat janji dengan Tete Yosep, dukun itu.”
Sembari menarik nafas yang dalam
aku memutuskan,
“Oke, Bro. Saya akan coba,”
“Begitu boleh,”
“Kapan kita ke rumah Tete Yosep?”
“Lusa pada hari Sabtu, saya
jemput kau jam lima sore.”
“Ok.”
***
Matahari senja kala itu seakan
tersenyum padaku. Melalui celah di jendela, panasnya terasa menjalar ke setiap
pori-pori, membakar semangatku untuk melewati hari ini. Aku dan Yehud
berboncengan naik motor menuju rumah Tete Yosep.
Ketika motor kami melewati jalan
menanjak di Sky Line, Yehud memperlambat lajunya. Meski jalan ini sudah sangat
sering aku lewati, tapi aku selalu terkesima dan takjub akan keindahan panorama
alamnya. Tampak jelas teluk Youtefa dengan biru lautnya, serta struktur gunung
dan bukit yang menjulang ke langit.
Teluk Youtefa dikelilingi
pegunungan dan bukit-bukit. Menghadap lurus ke arah Samudera Pasifik seakan
menantangnya. Tampak terpisah kepulauan Metu Debi di tengahnya, membuat ia
laksana benteng panjang menahan terpaan angin dan ombak dari Samudera Pasifik.
Nyiur melambai mengikuti angin.
Kulihat matahari mengucapkan salam perpisahan dengan redup sinarnya di balik
perbukitan pantai Enggros. Terbenamnya sang surya memanjakan mata akan indahnya
senja di teluk Youtefa.
Tak terasa kami
memasuki lorong jalan selebar enam langkah orang dewasa. Di samping kanan dan
kiri jalan berdiri kokoh pohon sengon. Lebatnya ranting dan daun menghalangi pandanganku ke langit.
Suasana mistis jelas terasa ketika kumasuki lorong ini.
Aku menoleh ke sekeliling, seakan
di semak-semak belukar terdapat banyak mata yang mengawasi. Aku mencoba tak
menghiraukan. Terdengar suara gagak menambah suasana hati kacau. Bulu kudukku
berdiri. Menoleh ke arah belakang tak terlihat apapun. Hanya jalan dibalut
kegelapan.
Aku perhatikan rumah-rumah di
sepanjang lorong. Tak tampak perbedaan
yang mencolok. Sebagian besar berdinding kayu. Kadangkala dari celah-celahnya
keluar cahaya lampu. Hanya sedikit rumah yang memasang lampu untuk penerangan
jalan. Kalaupun ada sinarnya agak redup termakan oleh malam yang menjelang.
Rumah-rumah yang ada seakan
tunduk kepada besarnya pohon-pohon di sekelilingnya. Hanya sebagian rumah yang
memiliki pagar kayu. Itupun kebanyakan sudah tak terurus atau ditumbuhi banyak
benalu.
Kemudian Yehud menghentikan
motornya di depan sebuah rumah. Pagarnya kusam dan banyak rerumputan merambat
walau tampak tak jelas.
Kami menyalakan ponsel untuk
memberikan sedikit penerangan. Terlihat sebuah pohon besar. Pikirku, Ini
kayaknya pohon beringin. Sinar redup ponsel kami menampakkan betapa agung
pohon ini dibanding pohon lainnya. Semakin dalam kuperhatikan pohon itu,
semakin merinding bulu kudukku. Pada batangnya seperti terdapat banyak rongga.
Akar-akarnya menjuntai sangat lebat. Seakan-akan di dalamnya terdapat seseorang
yang menjaga. Pohon itu diberi pembatas pagar kayu mengelilinginya. Akar pohon
itu telah melewati pembatas melalui celah di bawah pagar kayu itu.
Ketika kami berjalan masuk ke
halaman, kami dihadang kawanan anjing yang menggonggong liar. Aku ingin pergi
saja dari sini. Tetapi Yehud memegang tanganku dan menyuruh tenang. Yehud
kemudian menggertak
kawanan anjing itu.
Terlihat berkas cahaya dari
celah-celah dinding bangunan beratap jerami di hadapan kami. Sebuah rumah
panggung ditopang dengan empat tiang dari kayu besi di beranda rumah. Memiliki
dua jendela dari kaca di samping kanan pintu masuk. Di sebelah kiri pintu
terdapat sebuah kepala rusa dan beberapa hiasan manik-manik dari kerang laut.
Lantai berandanya terbuat dari kayu tersusun rapi.
Di setiap sambungan papan
terdapat celah. Antara tangga dan beranda rumah berdiri pagar kayu bersambung
dengan tiang penyangga. Tangganya terdiri dari lima tingkatan rendah. Di
samping tangga tersebut terdapat bunga-bunga walau tak jelas karena tertutupi
kegelapan.
“Selamat malam,” Yehud mengetuk
pintu, namun belum terdengar jawaban dari dalam rumah.
“Selamat malam,” Yehud mengetuk kembali.
“Klek,” suara pintu terbuka.
“Oo malam juga, ada yang bisa
dibantu,” kata seorang wanita tua yang membukakan pintu.
“Nene, itu saya punya tamu,”
sahut seorang pria dari dalam rumah.
“Oo, mari silakan masuk.” Wanita
itu menyambut ramah.
“Terimakasih, Nene,” kata Yehud
yang tampak tidak canggung sama sekali dengan suasana mistis di rumah ini.
Setelah berada
di dalam, aku melihat sekeliling. Ada
foto keluarga tergantung di dinding, juga topeng-topeng kayu. Mata mereka
seakan menatap setiap gerak-gerikku. Tapi topeng yang paling mengerikan berada
paling pojok, sebelah pintu masuk ke ruangan belakang. Matanya bulat dan besar.
Tatapannya lebih terang dari yang lainnya dan sangat tajam. Taringnya keluar
memanjang sampai di bawah dagu.
Sebuah televisi berada tepat di
depan sofa tempat kami duduk. Mengitari di samping kanan dan kirinya,
kursi-kursi rotan bersandar di dinding kayu. Di samping televisi, berdiri
sebuah lemari dan beberapa buku yang agak berantakan di atasnya.
Ukiran-ukiran kayu matoa bermotif
seorang memegang tifa bertumpuk ke atas dan saling berhadapan ditata rapi di
atas televisi.
Pada dinding di atas kursi
sebelah kanan televisi, terpasang tulang belulang dan manik-manik dari kerang
laut membentuk huruf U. Adapun kursi di sebelah kiri televisi dipisah oleh
sebuah meja terbuat dari rotan.
Di atas kursi dan meja itu
terpajang tengkorak dari beberapa hewan buruan. Tengkorak babi menempel di
samping kanan busur panah, yang menghadap ke atap ruangan. Ada juga tengkorak
kepala rusa.
Kami berdua duduk diselimuti
kesunyian. Kulihat Yehud tampak santai.
Lain denganku, perasaan gelisah bergemuruh dalam kalbu. Hal itulah yang membuat
diriku merasa tidak nyaman di dalam ruangan ini.
Dengan menghampiri kami, Mama itu
membawa dua cangkir teh. Tubuhnya kurus di balut dengan kulit keriput seakan
tak ada daging di antara kulit dan tulang. Guratan otot tangannya tampak besar
dan jelas. Bola matanya besar dengan alis mata yang sudah rontok. Pipinya
kempes dengan dagu kecil. Sembari tersenyum ia meletakkan dua cangkir teh.
“Silahkan minum,” katanya.
“Terima kasih, Nene.”
Selang beberapa menit, Tete Yosep
keluar dari ruangan belakang. Dengan tersenyum ia menyalami kami berdua. Remasannya kuat walau
tangannya kecil. Rupa fisik Tete Yosep tak berbeda jauh dengan mama yang
menyuguhkan teh. Raut wajahnya kering dengan banyak otot-otot menonjol.
Rambutnya keriting agak botak di bagian tengah kepala. Jenggotnya lebat
berwarna hitam kecokelatan.
Ia pun duduk dan menceritakan
seluruh keluarganya dari yang paling kecil sampai besar sembari menunjuk foto
keluarga yang tergantung di dinding. Tetapi mereka semua tidak ada di rumah
ini. Yang di sini hanya Tete Yosep dan istrinya. Anak-anak dan semua cucunya
hanya datang ketika liburan. Pekerjaan Tete Yosep adalah bertani, sedangkan
Nene Klara berjualan pinang, juga umbi-umbian hasil kebun.
“Bagaimana, apa yang bisa Bapa
bantu?” tanya Tete Yosep setelah tuntas bercerita.
“Begini Bapa, saya punya teman
ini yang kemarin saya pernah ceritakan,” balas Yehud.
“Oo, yang motornya hilang itu.”
“Ya, Bapa.”
“Coba anak tolong cerita ulang.
Oo, maaf nama siapa?”
“Ali, Bapa.”
Kemudian kuceritakan seluruh alur
kejadian sedetail yang kuingat. Tete Yosep hanya mendengarkan dan menganggukkan
kepala. Ketika ia mendengarkanku, raut mukanya berubah. Tatapan matanya tajam.
Alur nafasnya ia tarik dalam kemudian ia keluarkan.
“Yang tersisa hanya kunci motor
ini Bapa,” kataku memungkasi cerita.
Tete Yosep mengepalkan tangannya
yang terlihat bertenaga. Otot-otot tangannya pun tampak bergalur-galur.
Kemudian Tete Yosep meminta syarat-syaratnya. Kubuka tas dengan tergesa-gesa
sembari mengeluarkan bungkusan pinang, kapur, dan sirihnya. Kemudian kuletakkan
barang-barang tersebut di atas meja.
Dia mengambil bungkusan pinang, sirih, kapur, dan kunci motorku.
“Tunggu di sini saja ya,” katanya.
Kami berdua hanya mengangguk.
Tete Yosep berjalan keluar menuju pohon beringin, diikuti oleh ketiga
anjingnya. Dari tempat dudukku ini kulihat dia mengangkat kedua tangannya
menadah ke langit.
Beberapa kali ia menundukkan
kepala seperti memuja pohon itu. Ia merebahkan bungkusan pinang dan sirih serta
kapur di dalam sebuah lubang besar di pohon itu.
Mulutnya terlihat seperti
bercakap-cakap dengan pohon itu. Kemudian Tete Yosep berkeliling mengitari
pohon di dalam pagar. Sesekali ia menadahkan tangannya ke atas. Setiap kali ia
mengangkat tangannya, lolongan anjing pun bergaung.
Tete Yosep berhenti tepat di
depan lubang besar tempat ia menaruh barang-barang sesaji dan kunci motorku. Ia
mengambil sesuatu dan menciumnya, lalu membaca mantra-mantra kepada
barang-barang sesaji itu.
Nene Klara hanya tersenyum
melihat suaminya. Ketika dia menadahkan tangannya ke langit untuk kesekian
kali, seketika itu lampu mati. Tak bisa kulihat apa pun. Lolongan anjing pun
terdengar semakin resah.
Aku berusaha tenang. Tapi kali
ini yang kurasa sungguh berbeda. Hatiku berdetak seperti genderang perang.
Tanganku berkeringat dan tubuhku juga. Sampai-sampai bajuku basah. Padahal
angin berhembus cukup kencang. Tapi aku tetap tak bisa merasakan kesejukan.
“Yehud, pulang, yuk.”
“Tenang,Bro.”
“Hatiku tidak enak sekali,”
“Sabar. Palingan sebentar lagi
selesai.”
Kulihat sekeliling. Seberkas
cahaya terpantul dari mata topeng di depanku, seperti sedang mengawasiku. Tidak
bisa kubayangkan andaikata mata topeng itu berkedip. Sungguh, mungkin jantungku
akan terlepas dari tempatnya.
“Bro, santai saja,” ucap Yehud
lagi.
“Ya, aku sedang mencoba.”
“Ini biasa, Anak. Sering lampu mati.
Apalagi tiga hari yang lalu ada sebuah tiang listrik tertimpa pohon sengon yang
disambar petir,” Nene Klara menenangkan kami.
Aku tahu, di Jayapura memang
sering listrik padam. Tapi belum pernah aku mengalami listrik padam dalam
suasana seperti ini.
“Nene, apa Tete Yosep pernah buat
suanggi?” Yehud bertanya. Rasanya ingin kubungkam mulut Yehud. Pada suasanya
menakutkan seperti ini dia malah bertanya soal suanggi, ilmu santet.
“Tete bisa. Tapi tidak pernah
mau,” jawab Nene Klara. “Dulu ada yang datang, minta Tete bikin suanggi. Dia
bawa uang banyak. Tapi Tete tolak mentah-mentah.”
Nene Klara kemudian menceritakan
tentang suaminya. Dahulu ketika masa mudanya,Tete Yosep sering bertapa di
gunung untuk mencari ilmu. Kadangkala seminggu di hutan tak pulang. Dengan
membawa bekal seadanya tapi ia sanggup bertahan.
Biasanya setelah bertapa dia
membawa binatang hasil buruan. Ketika di rumah kadangkala selama beberapa hari
dia hanya makan nasi putih saja tanpa lauk.
Ketika cerita Nene Klara
berakhir, terdengar langkah pelan di pintu. Aku menduga ritual Tete Yosep sudah
selesai dan dia kembali ke dalam rumah. Tepat ketika Tete Yosep masuk selangkah
melewati pintu, listrik kembali menyala. Dengan mengusap keringat di kepalanya
Tete Yosep menyuruh Nene Klara mengambil selembar kain dan air dalam periuk.
Nene Klara keluar dengan membawa periuk kaleng dan selembar kain menaruhnya di
meja depan kami duduk. Tete Yosep mengambil kain dan mengusap keringat di
kepalanya.
Kemudian, Tete Yosep melihat ke
dalam periuk itu dengan mulutnya berkomat-kamit membacakan sesuatu yang tidak
kupahami. Kedua telapak tangannya membuka, lalu digerakkannya di sekitar periuk
itu, ke depan dan belakang.
Kulihat air di tengah periuk
bergerak. Seakan-akan ada yang menjatuhkan sesuatu. Yang membuat aku bingung,
kemana arah jari dan tangan Tete Yosep, air pun bergerak mengikutinya.
Kuperhatikan lebih dalam, tak
terlihat apapun. Hanya gerakan air. Yehud juga memperhatikan ritual itu dengan
mulut menganga, takjub dan terkesima melihat sesuatu yang jarang terjadi.
Sesekali Tete Yosep bernafas dalam dan menahannya sampai muka hitamnya memerah.
Tete Yosep menutup matanya selama
ritual dengan periuk itu. Hanya mulutnya yang terbuka sembari menuturkan
sesuatu. Dia menghembuskan nafas perlahan, di arahkan ke dalam periuk. Setelah
beberapa kali melakukan gerakan yang sama, Tete Yosep menyimpulkan ciri-ciri
orang yang mencuri motorku.
“Anak, orang yang ambil motormu
itu ada dua. Salah satunya berambut gimbal. Badannya kecil kurus. Tingginya
hampir sama dengan kau.”
“Yang satu,Bapa?” Yehud bertanya
penasaran.
“Yang satu lagi, badannya lebih
kecil, kulitnya macam Yehud. Rambutnya habis dipotong.”
Aku membenarkan omongan Tete
Yosep. Beberapa hari lalu aku sepertinya melihat dua orang yang dicirikan Tete
Yosep, duduk-duduk di gang menuju kampusku. Dalam hati aku takjub, apakah Tete
Yosep hanya menerka atau memang mengetahuinya.
“Mereka di mana sekarang?”
“Sabar ya.”
Tete Yosep mengunyah pinang dan
menaruh dua tetesan ludah pinang tepat di jari tengahnya. Dia mengunyah lagi
dan membaca sesuatu dan mengeluarkan setetes lagi di pergelangan tangannya.
Tete Yosep berkomat kamit lagi
membacakan sesuatu dengan suara yang tidak jelas. Tidak lama setelah itu, dua
tetes ludah yang ada di jari tengah menghampiri secara perlahan setetesan yang
ada di pergelangan tangan. Padahal tangannya tidak di goyang-goyangkan. Aku
takjub. Demikian juga Yehud. Tete Yosep tampak mengatur pernafasannya dan
menghembuskannya secara perlahan.
“Anak santai saja. Dalam
pandangan Tete, orang yang mencuri motormu nanti akan membawa kembali
kepadamu.”
“Masa bisa begitu, Tete?” Yehud
bertanya seakan tidak percaya.
“Ya, kita lihat saja nanti,”
jawab Tete Yosep sembari tersenyum.
Kemudian kami bercakap-cakap
hingga larut malam. Tete menceritakan kisah masa mudanya dengan Nene Klara.
Nene hanya tersipu malu saat diceritakan tentang awal perkenalan mereka.
Dengan mudahnya mereka dapat
bergaul dengan kami, seakan-akan kami adalah anak-anak atau cucu mereka. Atau
mereka berdua memang jarang dikunjungi.
***
Setelah ritual itu, perasaanku
semakin bergejolak tak karuan. Aku bingung dan bimbang. Kugadaikan akidah
yang kuanut demi sebuah benda? Pikiranku terhimpit antara ikhtiar dan
syirik. Sembari berbaring, aku mengingat kejadian di rumah Tete Yosep. Aura
mistik yang begitu kuat. Nafasku terasa terhimpit.
Aku mencoba memejamkan mata,
namun hatiku bergemuruh. Pikiranku terbang melayang entah kemana. Sesekali
kedua mata terbuka melihat plafon kamar ini. Putih, namun mulai tampak pudar
oleh noda di sana sini. Terbentuklah guratan dan paduan warna yang dan terkesan
sunyi. Seperti gambar yang dibuat oleh pelukis amatir yang putus asa.
Kuhempas selimut dan bantal,
kemudian aku duduk memegang kepala. Kujambak rambutku. Berteriak dalam kelam.
Keheningan menyelimuti kamarku. Berbeda dengan perasaan hati kecil ini, yang
mencerca dan mengutuk diriku atas apa yang telah terjadi. Jarum jam berdetak
pelan. Segalanya terasa lama.
Setiap perpindahan detik seakan
umpatan keputusasaan, yang terdengar menyayat membabi buta. Aku bingung, resah,
dan merasa bersalah. Semula aku ingin agar motorku kembali, tapi saat ini yang
kurasakan adalah penyesalan sangat dalam.
Kuarahkan pandangan ke jendela.
Kordennya masih terbuka. Yang terlihat dari jendela itu hanya kegelapan malam,
gelap sehitam hatiku. Pikiranku menjelajah luasnya angkasa membayangkan setiap
alur kehidupan penuh rasa bersalah.
Kurebahkan badanku di atas kasur
kesekian kalinya hanya untuk mencari ketenangan. Memaksa memejamkan mata, agar
jasad dapat berisirahat karena lelahnya aktivitas yang telah kulalui hari
ini.
Susah kurasa untuk beristirahat.
Kuputuskan keluar kamar, berkeliling di sekitar tempat tinggalku. Mencoba
mencari suasana baru. Menghirup udara malam dengan tujuan agar hati ini bisa
lebih tenang.
Mata menghadap ke luasnya angkasa
dengan bertumpah-ruahnya bintang. Tuhan betapa luasnya angkasa-Mu ini, namun
mengapa hatiku terasa sempit?
Berulang aku menarik nafas dalam. Lapangkanlah dada ini, Tuhan.
Maafkanlah hamba-Mu yang lemah ini. Dalam hati kupanjatkan doa dengan tetesan
air mata mengalir di pipiku.
Dalam beberapa hari belakangan
ini kulewati dengan rasa bersalah dan menyesal. Aku lebih banyak diam dan
berbicara seperlunya. Mencoba menghilangkan rasa bersalah dengan diam. Berusaha
menjaga jarak dengan teman-temanku. Tapi aku tahu, mereka pasti bertanya-tanya
apa yang terjadi denganku, terutama Barbalina dan Yakob. Adapun Yehud, aku
yakin dia mengetahui mengapa aku berubah seperti ini.
***
Di dalam kelas aku duduk
menyendiri. Barbalina datang menghampiriku, menenangkan dan menghiburku. Tapi
aku tidak terlalu mempedulikannya. Aku tetap diam walau ia banyak berbicara.
Kukeluarkan gantungan kunci dari
saku celana. Gantungan kunciku terdapat tiga kunci. Kunci lemari, kunci kamar,
dan bekas kunci motor. Aku memegang kunci motor dan berpikir tidak mungkin aku
temukan lagi.
Barbalina masih terus bercerita.
Tiba-tiba terdengar hentakan pintu dengan keras. Kami berdua kaget. Ternyata
Yakob. Dia menarik tanganku dengan kencang, aku tidak mau. Tetapi ia terus
memaksaku. Kusimpan kembali kunci-kunciku, kemudian mengikutinya. Yakob
menunjuk ke sebuah motor.
“Mana kunci motormu?”
“Ada ini,”
“Coba di motor itu. Itu kayaknya
motormu,”
Aku memperhatikan secara seksama,
dan ciri-cirinya sama. Kuberanikan diri untuk mencoba motor tersebut, dan
cocok. Dua anak muda keluar dari warung. Ciri-cirinya sama seperti apa yang
digambarkan Tete Yosep.
Pertengkaran kecil pun terjadi
antara kami dan mereka, hingga Yehud dan Barbalina menghampiri kami menanyakan
apa yang terjadi. Setelah kujelaskan, tangan Yehud yang besar menampar kedua
anak muda itu hingga tersungkur.
Darah mengalir dari hidung
mereka. Yehud menginjak-injak mereka berdua. Aku, Yakob, dan beberapa teman
lain mencoba melerai. Tapi sangat susah menahan emosi Yehud yang telah mencapai
titik didih. Mereka berdua meminta ampun atas apa yang mereka lakukan.
Yehud mengangkat seorang yang
lebih besar ke udara dan dibanting terpental sekitar tiga meter. Terjadi
kerumunan. Barbalina menangis mengharapkan Yehud menghentikan tindakannya.
Setelah lima orang melerainya, akhirnya ia berhenti. Barbalina dengan mata
berkaca menasehati Yehud, dan aku turut serta bersamanya.
Kami membawa mereka ke kantor
Menwa untuk diinterogasi, juga menghubungi orang tua mereka agar datang
menjemput. Teman-temanku bersikeras agar membawa mereka ke kantor polisi. Tampaknya teman-temanku tidak terima terhadap apa yang
terjadi. Aku termangu. Apakah ini jawaban dari Tuhan, atau jawaban dari ritual itu?
“Aku maafkan
mereka,” ucapku pelan. “Yehud,” teriakku, “Lepaskan saja mereka,”
Yehud jengkel.
Namun tidak apa-apa, memberikan maaf adalah jalan Tuhan. Aku memilih jalan
Tuhan.
***
Cerpen ini telah dimuat dalam buku Sekolah Menulis Papua berjudul Cerita dari Timur, Cetakan II 2015.