Kamis, 19 Mei 2016

Cerpen: Mawe



Mawe
Barnas Adewata

Hari ini aku duduk bersama ketiga temanku. Merekalah yang sering menemani, berbincang, dan menghabiskan waktu bersamaku. Ingin aku bercerita tentang kejadian yang kualami. Tapi aku bingung bagaimana memulainya.
Lembaran koran yang kupegang erat tiba-tiba diambil oleh Yakob. Dia membaca headline berita tentang penembakan anggota polisi di Puncak Jaya oleh  anggota separatis yang belum dikenal dan diketahui keberadaannya, serta motif dari penembakan tersebut. Oknum itu hingga sekarang masih dicari. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Yehud menyela Yakob dan menjelaskan bahwa para pelaku bisa diketahui jika polisi mau melakukan ritual mawe.
Dengan lihainya ia menghipnotis kami dalam pembicaraannya. Pikirku, mungkin salah satu anggota keluarganya dukun, atau dialah sang dukun sehingga sangat mengerti detail pelbagai ritual yang dilakukan di Papua.
“Cukup Pak Kapolda panggil Bapa John melakukan ritual, pasti seminggu setelah itu para penjahat akan tertangkap,” kata Yehud dengan yakin.
“Mawe juga dapat gunakan untuk mengetahui ciri-ciri pencuri, kalau ada kehilangan. Ya, tergantung kebutuhan,” tambahnya.
Dengan semangat Yehud menceritakan tentang Bapa John kepada kami. Bapa John itu sosok yang fenomenal menurutnya. Walaupun kulitnya yang keriput seakan-akan terkelupas oleh laju usia, tapi jika melakukan ritual mawe ia terlihat kembali muda. Ketika ritual itu dilakukan, sorot mata Bapa John akan tampak begitu tajam dan keringatnya terus bercucuran.
Yakob kemudian bertanya perihal pelet,dan Yehuddengan sangat yakin menjawab bahwa pelet itu benar-benar ada. Caranya, dengan menggunakan rerumputan tertentu atau dedaunan yang telah dipilih oleh sang dukun seperti daun perempuan, daun kebal, atau daun terbang, yang dijampi-jampi atau dibacakan mantra.
Sang pemelet melumat-lumatkan rerumputan tersebut dalam genggaman tangannya, kemudian ditepukkan ke orang yang dituju. Seminggu setelah itu, Yehud meyakinkan bahwa orang yang disentuh dedaunan itu akan tergila-gila kepada si pemelet.
“Yehud, kayaknya kamu perlu melakukan itu, biar nggak jomblo terus,” balas Yakob padanya. Serentak kami pun tertawa.
Sementara mereka tertawa, aku hanya tersenyum kecut menahan apa yang ada di hati. Kepalaku tertunduk, menenangkan pikiran atas kejadian yang kualami. Lalu Barbalina datang memeluk pundakku seakan dia mengerti apa yang sedang aku rasakan.
Aku menyela dan menjaga jarak di antara kami. Dari awal kami duduk, kurasa Barbalina dapat menangkap sesuatu yang kusembunyikan dari mereka. Rona kesedihan yang tersimpan rapi dalam senyuman. Mungkin inilah sebuah insting wanita yang sangat peka terhadap kaum Adam.
“Ada apa, Li?”
Tidak ada apa-apa kok,”
“Dari tadi kuperhatikan, kamu kayaknya ada masalah, cerita donk.We are friends, right?
Absolutely right, Sist,” dengan menghembus nafas panjang dan dalam, akhirnya aku bilang juga padanya, “Motorku beberapa hari yang lalu hilang.”
Yakob dan Yehud pun menghentikan percakapan mereka setelah mengetahui apa yang kualami. Ribuan pertanyaan membabi buta mereka lontarkan, tapi aku tetap diam tertunduk, pasrah dan memikirkan hal baik atas kejadian ini. Berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi. Aku sangat yakin, bahwa ada sesuatu di balik ini semua.
***
Kelas hari ini berlalu hambar. Tak satu pun penjelasan dosen yang bisa kutangkap. Melihat dosen keluar dan memberikan salam, aku membalas dengan tatapan kosong. Duduk terdiam memanjatkan nama-nama-Nya, membayangkan hal-hal baik terjadi.
Aku memikirkan apa yang telah diceritakan Yehud. Antara percaya dan tidak, tapi rasa penasaran membuat hati ini menggebu-gebu untuk mencoba ritual yang dia ceritakan. Sesaat kemudian Yehud menghampiriku.
”Motor baru hilang, kan?” Yehud bertanya.
“Iya, dua hari yang lalu.”
“Gimana kita coba mawe, siapa tahu bisa ketemu.”
“Gak mungkin to kita ke Serui,” jawabku.
“Ongkos ke Serui bisa untuk beli motor baru, Bro,” kata Yakob sambil tertawa lepas. Tapi Yehud tak mau kalah. “Saya punya kenalan yang bisa melakukan ritual mawe di Jayapura sini,” ucapnya meyakinkan.
“Kalau begitu, coba aja,” kata Yakob.
“Aduh, kupikir dulu deh.”
Malam hari itu setelah pulang dari kampus, perasaan menggebu untuk mencoba mawe terus bergelut dalam pikiran. Bisikan-bisikan jahat selalu terdengar. Tanpa pikir panjang akhirnya kuraih ponsel di atas meja dan mengirimkan pesan singkat.
“Besok temui saya setelah mata kuliah akhir, kayaknya saya ingin coba mawe.” Kukirimkan pesan singkat itu ke Yehud. Semenit setelah itu ada balasan di kotak masuk.
“Ok.”
***
Suasana kelas tak berbeda dengan hari-hari kemarin. Hampa dalam kelam. Aku serasa meraba kegelapan untuk mencari harapan di celah-celah keputusasaan. Detik berlalu tanpa ada kesan. Penjelasan dosen mengabur.
Pikiranku kacau, pandangan demikian gelap, perasaan pun tak karuan. Sembari merenung, kurasa hempasan tangan kekar di pundakku.
“Sudah siap?” tanya Yehud.
“Aduh, aku masih bingung banget.”
Kutahu itu, dalam ajaran kami pun dilarang. Tapi ini usaha untuk menemukan motormu.”
Hmm..., gimana ya?
“Santai saja sudah. Kita coba dulu. Kalau kamu merasa nyaman, lanjut. Kalau tidak, kasih tinggal. Saya tidak enak sudah buat janji dengan Tete Yosep, dukun itu.” 
Sembari menarik nafas yang dalam aku memutuskan,
“Oke, Bro. Saya akan coba,”
“Begitu boleh,”
“Kapan kita ke rumah Tete Yosep?”
“Lusa pada hari Sabtu, saya jemput kau jam lima sore.”
“Ok.”
***
Matahari senja kala itu seakan tersenyum padaku. Melalui celah di jendela, panasnya terasa menjalar ke setiap pori-pori, membakar semangatku untuk melewati hari ini. Aku dan Yehud berboncengan naik motor menuju rumah Tete Yosep.
Ketika motor kami melewati jalan menanjak di Sky Line, Yehud memperlambat lajunya. Meski jalan ini sudah sangat sering aku lewati, tapi aku selalu terkesima dan takjub akan keindahan panorama alamnya. Tampak jelas teluk Youtefa dengan biru lautnya, serta struktur gunung dan bukit yang menjulang ke langit.
Teluk Youtefa dikelilingi pegunungan dan bukit-bukit. Menghadap lurus ke arah Samudera Pasifik seakan menantangnya. Tampak terpisah kepulauan Metu Debi di tengahnya, membuat ia laksana benteng panjang menahan terpaan angin dan ombak dari Samudera Pasifik.
Nyiur melambai mengikuti angin. Kulihat matahari mengucapkan salam perpisahan dengan redup sinarnya di balik perbukitan pantai Enggros. Terbenamnya sang surya memanjakan mata akan indahnya senja di teluk Youtefa.
Tak terasa kami memasuki lorong jalan selebar enam langkah orang dewasa. Di samping kanan dan kiri jalan berdiri kokoh pohon sengon. Lebatnya ranting dan daun menghalangi pandanganku ke langit. Suasana mistis jelas terasa ketika kumasuki lorong ini.
Aku menoleh ke sekeliling, seakan di semak-semak belukar terdapat banyak mata yang mengawasi. Aku mencoba tak menghiraukan. Terdengar suara gagak menambah suasana hati kacau. Bulu kudukku berdiri. Menoleh ke arah belakang tak terlihat apapun. Hanya jalan dibalut kegelapan.
Aku perhatikan rumah-rumah di sepanjang  lorong. Tak tampak perbedaan yang mencolok. Sebagian besar berdinding kayu. Kadangkala dari celah-celahnya keluar cahaya lampu. Hanya sedikit rumah yang memasang lampu untuk penerangan jalan. Kalaupun ada sinarnya agak redup termakan oleh malam yang menjelang.
Rumah-rumah yang ada seakan tunduk kepada besarnya pohon-pohon di sekelilingnya. Hanya sebagian rumah yang memiliki pagar kayu. Itupun kebanyakan sudah tak terurus atau ditumbuhi banyak benalu.
Kemudian Yehud menghentikan motornya di depan sebuah rumah. Pagarnya kusam dan banyak rerumputan merambat walau tampak tak jelas.
Kami menyalakan ponsel untuk memberikan sedikit penerangan. Terlihat sebuah pohon besar. Pikirku, Ini kayaknya pohon beringin. Sinar redup ponsel kami menampakkan betapa agung pohon ini dibanding pohon lainnya. Semakin dalam kuperhatikan pohon itu, semakin merinding bulu kudukku. Pada batangnya seperti terdapat banyak rongga. Akar-akarnya menjuntai sangat lebat. Seakan-akan di dalamnya terdapat seseorang yang menjaga. Pohon itu diberi pembatas pagar kayu mengelilinginya. Akar pohon itu telah melewati pembatas melalui celah di bawah pagar kayu itu.
Ketika kami berjalan masuk ke halaman, kami dihadang kawanan anjing yang menggonggong liar. Aku ingin pergi saja dari sini. Tetapi Yehud memegang tanganku dan menyuruh tenang. Yehud kemudian menggertak kawanan anjing itu.
Terlihat berkas cahaya dari celah-celah dinding bangunan beratap jerami di hadapan kami. Sebuah rumah panggung ditopang dengan empat tiang dari kayu besi di beranda rumah. Memiliki dua jendela dari kaca di samping kanan pintu masuk. Di sebelah kiri pintu terdapat sebuah kepala rusa dan beberapa hiasan manik-manik dari kerang laut. Lantai berandanya terbuat dari kayu tersusun rapi.
Di setiap sambungan papan terdapat celah. Antara tangga dan beranda rumah berdiri pagar kayu bersambung dengan tiang penyangga. Tangganya terdiri dari lima tingkatan rendah. Di samping tangga tersebut terdapat bunga-bunga walau tak jelas karena tertutupi kegelapan.
“Selamat malam,” Yehud mengetuk pintu, namun belum terdengar jawaban dari dalam rumah.
“Selamat malam,”  Yehud mengetuk kembali.
“Klek,” suara pintu terbuka.
“Oo malam juga, ada yang bisa dibantu,” kata seorang wanita tua yang membukakan pintu.
“Nene, itu saya punya tamu,” sahut seorang pria dari dalam rumah.
“Oo, mari silakan masuk.” Wanita itu menyambut ramah.
“Terimakasih, Nene,” kata Yehud yang tampak tidak canggung sama sekali dengan suasana mistis di rumah ini.
Setelah berada di dalam, aku melihat sekeliling. Ada foto keluarga tergantung di dinding, juga topeng-topeng kayu. Mata mereka seakan menatap setiap gerak-gerikku. Tapi topeng yang paling mengerikan berada paling pojok, sebelah pintu masuk ke ruangan belakang. Matanya bulat dan besar. Tatapannya lebih terang dari yang lainnya dan sangat tajam. Taringnya keluar memanjang sampai di bawah dagu.
Sebuah televisi berada tepat di depan sofa tempat kami duduk. Mengitari di samping kanan dan kirinya, kursi-kursi rotan bersandar di dinding kayu. Di samping televisi, berdiri sebuah lemari dan beberapa buku yang agak berantakan di atasnya.
Ukiran-ukiran kayu matoa bermotif seorang memegang tifa bertumpuk ke atas dan saling berhadapan ditata rapi di atas televisi.
Pada dinding di atas kursi sebelah kanan televisi, terpasang tulang belulang dan manik-manik dari kerang laut membentuk huruf U. Adapun kursi di sebelah kiri televisi dipisah oleh sebuah meja terbuat dari rotan.
Di atas kursi dan meja itu terpajang tengkorak dari beberapa hewan buruan. Tengkorak babi menempel di samping kanan busur panah, yang menghadap ke atap ruangan. Ada juga tengkorak kepala rusa.
Kami berdua duduk diselimuti kesunyian.  Kulihat Yehud tampak santai. Lain denganku, perasaan gelisah bergemuruh dalam kalbu. Hal itulah yang membuat diriku merasa tidak nyaman di dalam ruangan ini.
Dengan menghampiri kami, Mama itu membawa dua cangkir teh. Tubuhnya kurus di balut dengan kulit keriput seakan tak ada daging di antara kulit dan tulang. Guratan otot tangannya tampak besar dan jelas. Bola matanya besar dengan alis mata yang sudah rontok. Pipinya kempes dengan dagu kecil. Sembari tersenyum ia meletakkan dua cangkir teh. “Silahkan minum,” katanya.
“Terima kasih, Nene.”
Selang beberapa menit, Tete Yosep keluar dari ruangan belakang. Dengan tersenyum ia menyalami kami berdua. Remasannya kuat walau tangannya kecil. Rupa fisik Tete Yosep tak berbeda jauh dengan mama yang menyuguhkan teh. Raut wajahnya kering dengan banyak otot-otot menonjol. Rambutnya keriting agak botak di bagian tengah kepala. Jenggotnya lebat berwarna hitam kecokelatan.
Ia pun duduk dan menceritakan seluruh keluarganya dari yang paling kecil sampai besar sembari menunjuk foto keluarga yang tergantung di dinding. Tetapi mereka semua tidak ada di rumah ini. Yang di sini hanya Tete Yosep dan istrinya. Anak-anak dan semua cucunya hanya datang ketika liburan. Pekerjaan Tete Yosep adalah bertani, sedangkan Nene Klara berjualan pinang, juga umbi-umbian hasil kebun.
“Bagaimana, apa yang bisa Bapa bantu?” tanya Tete Yosep setelah tuntas bercerita.
“Begini Bapa, saya punya teman ini yang kemarin saya pernah ceritakan,” balas Yehud.
“Oo, yang motornya hilang itu.”
“Ya, Bapa.”
“Coba anak tolong cerita ulang. Oo, maaf nama siapa?”
“Ali, Bapa.”
Kemudian kuceritakan seluruh alur kejadian sedetail yang kuingat. Tete Yosep hanya mendengarkan dan menganggukkan kepala. Ketika ia mendengarkanku, raut mukanya berubah. Tatapan matanya tajam. Alur nafasnya ia tarik dalam kemudian ia keluarkan.
“Yang tersisa hanya kunci motor ini Bapa,” kataku memungkasi cerita.
Tete Yosep mengepalkan tangannya yang terlihat bertenaga. Otot-otot tangannya pun tampak bergalur-galur. Kemudian Tete Yosep meminta syarat-syaratnya. Kubuka tas dengan tergesa-gesa sembari mengeluarkan bungkusan pinang, kapur, dan sirihnya. Kemudian kuletakkan barang-barang tersebut di atas meja.
Dia mengambil bungkusan  pinang, sirih, kapur, dan kunci motorku.
“Tunggu di sini saja ya,” katanya.
Kami berdua hanya mengangguk. Tete Yosep berjalan keluar menuju pohon beringin, diikuti oleh ketiga anjingnya. Dari tempat dudukku ini kulihat dia mengangkat kedua tangannya menadah ke langit.
Beberapa kali ia menundukkan kepala seperti memuja pohon itu. Ia merebahkan bungkusan pinang dan sirih serta kapur di dalam sebuah lubang besar di pohon itu.
Mulutnya terlihat seperti bercakap-cakap dengan pohon itu. Kemudian Tete Yosep berkeliling mengitari pohon di dalam pagar. Sesekali ia menadahkan tangannya ke atas. Setiap kali ia mengangkat tangannya, lolongan anjing pun bergaung.
Tete Yosep berhenti tepat di depan lubang besar tempat ia menaruh barang-barang sesaji dan kunci motorku. Ia mengambil sesuatu dan menciumnya, lalu membaca mantra-mantra kepada barang-barang sesaji itu.
Nene Klara hanya tersenyum melihat suaminya. Ketika dia menadahkan tangannya ke langit untuk kesekian kali, seketika itu lampu mati. Tak bisa kulihat apa pun. Lolongan anjing pun terdengar semakin resah.
Aku berusaha tenang. Tapi kali ini yang kurasa sungguh berbeda. Hatiku berdetak seperti genderang perang. Tanganku berkeringat dan tubuhku juga. Sampai-sampai bajuku basah. Padahal angin berhembus cukup kencang. Tapi aku tetap tak bisa merasakan kesejukan.
“Yehud, pulang, yuk.”
“Tenang,Bro.”
“Hatiku tidak enak sekali,”
“Sabar. Palingan sebentar lagi selesai.”
Kulihat sekeliling. Seberkas cahaya terpantul dari mata topeng di depanku, seperti sedang mengawasiku. Tidak bisa kubayangkan andaikata mata topeng itu berkedip. Sungguh, mungkin jantungku akan terlepas dari tempatnya.
“Bro, santai saja,” ucap Yehud lagi.
“Ya, aku sedang mencoba.”
“Ini biasa, Anak. Sering lampu mati. Apalagi tiga hari yang lalu ada sebuah tiang listrik tertimpa pohon sengon yang disambar petir,” Nene Klara menenangkan kami.
Aku tahu, di Jayapura memang sering listrik padam. Tapi belum pernah aku mengalami listrik padam dalam suasana seperti ini.
“Nene, apa Tete Yosep pernah buat suanggi?” Yehud bertanya. Rasanya ingin kubungkam mulut Yehud. Pada suasanya menakutkan seperti ini dia malah bertanya soal suanggi, ilmu santet.
“Tete bisa. Tapi tidak pernah mau,” jawab Nene Klara. “Dulu ada yang datang, minta Tete bikin suanggi. Dia bawa uang banyak. Tapi Tete tolak mentah-mentah.”
Nene Klara kemudian menceritakan tentang suaminya. Dahulu ketika masa mudanya,Tete Yosep sering bertapa di gunung untuk mencari ilmu. Kadangkala seminggu di hutan tak pulang. Dengan membawa bekal seadanya tapi ia sanggup bertahan.
Biasanya setelah bertapa dia membawa binatang hasil buruan. Ketika di rumah kadangkala selama beberapa hari dia hanya makan nasi putih saja tanpa lauk.
Ketika cerita Nene Klara berakhir, terdengar langkah pelan di pintu. Aku menduga ritual Tete Yosep sudah selesai dan dia kembali ke dalam rumah. Tepat ketika Tete Yosep masuk selangkah melewati pintu, listrik kembali menyala. Dengan mengusap keringat di kepalanya Tete Yosep menyuruh Nene Klara mengambil selembar kain dan air dalam periuk. Nene Klara keluar dengan membawa periuk kaleng dan selembar kain menaruhnya di meja depan kami duduk. Tete Yosep mengambil kain dan mengusap keringat di kepalanya.
Kemudian, Tete Yosep melihat ke dalam periuk itu dengan mulutnya berkomat-kamit membacakan sesuatu yang tidak kupahami. Kedua telapak tangannya membuka, lalu digerakkannya di sekitar periuk itu, ke depan dan belakang.
Kulihat air di tengah periuk bergerak. Seakan-akan ada yang menjatuhkan sesuatu. Yang membuat aku bingung, kemana arah jari dan tangan Tete Yosep, air pun bergerak mengikutinya.
Kuperhatikan lebih dalam, tak terlihat apapun. Hanya gerakan air. Yehud juga memperhatikan ritual itu dengan mulut menganga, takjub dan terkesima melihat sesuatu yang jarang terjadi. Sesekali Tete Yosep bernafas dalam dan menahannya sampai muka hitamnya memerah.
Tete Yosep menutup matanya selama ritual dengan periuk itu. Hanya mulutnya yang terbuka sembari menuturkan sesuatu. Dia menghembuskan nafas perlahan, di arahkan ke dalam periuk. Setelah beberapa kali melakukan gerakan yang sama, Tete Yosep menyimpulkan ciri-ciri orang yang mencuri motorku.
“Anak, orang yang ambil motormu itu ada dua. Salah satunya berambut gimbal. Badannya kecil kurus. Tingginya hampir sama dengan kau.”
“Yang satu,Bapa?” Yehud bertanya penasaran.
“Yang satu lagi, badannya lebih kecil, kulitnya macam Yehud. Rambutnya habis dipotong.”
Aku membenarkan omongan Tete Yosep. Beberapa hari lalu aku sepertinya melihat dua orang yang dicirikan Tete Yosep, duduk-duduk di gang menuju kampusku. Dalam hati aku takjub, apakah Tete Yosep hanya menerka atau memang mengetahuinya.
“Mereka di mana sekarang?”
“Sabar ya.”
Tete Yosep mengunyah pinang dan menaruh dua tetesan ludah pinang tepat di jari tengahnya. Dia mengunyah lagi dan membaca sesuatu dan mengeluarkan setetes lagi di pergelangan tangannya.
Tete Yosep berkomat kamit lagi membacakan sesuatu dengan suara yang tidak jelas. Tidak lama setelah itu, dua tetes ludah yang ada di jari tengah menghampiri secara perlahan setetesan yang ada di pergelangan tangan. Padahal tangannya tidak di goyang-goyangkan. Aku takjub. Demikian juga Yehud. Tete Yosep tampak mengatur pernafasannya dan menghembuskannya secara perlahan.
“Anak santai saja. Dalam pandangan Tete, orang yang mencuri motormu nanti akan membawa kembali kepadamu.”
“Masa bisa begitu, Tete?” Yehud bertanya seakan tidak percaya.
“Ya, kita lihat saja nanti,” jawab Tete Yosep sembari tersenyum.
Kemudian kami bercakap-cakap hingga larut malam. Tete menceritakan kisah masa mudanya dengan Nene Klara. Nene hanya tersipu malu saat diceritakan tentang awal perkenalan mereka.
Dengan mudahnya mereka dapat bergaul dengan kami, seakan-akan kami adalah anak-anak atau cucu mereka. Atau mereka berdua memang jarang dikunjungi.
***
Setelah ritual itu, perasaanku semakin bergejolak tak karuan. Aku bingung dan bimbang. Kugadaikan akidah yang kuanut demi sebuah benda? Pikiranku terhimpit antara ikhtiar dan syirik. Sembari berbaring, aku mengingat kejadian di rumah Tete Yosep. Aura mistik yang begitu kuat. Nafasku terasa terhimpit.
Aku mencoba memejamkan mata, namun hatiku bergemuruh. Pikiranku terbang melayang entah kemana. Sesekali kedua mata terbuka melihat plafon kamar ini. Putih, namun mulai tampak pudar oleh noda di sana sini. Terbentuklah guratan dan paduan warna yang dan terkesan sunyi. Seperti gambar yang dibuat oleh pelukis amatir yang putus asa.
Kuhempas selimut dan bantal, kemudian aku duduk memegang kepala. Kujambak rambutku. Berteriak dalam kelam. Keheningan menyelimuti kamarku. Berbeda dengan perasaan hati kecil ini, yang mencerca dan mengutuk diriku atas apa yang telah terjadi. Jarum jam berdetak pelan. Segalanya terasa lama.
Setiap perpindahan detik seakan umpatan keputusasaan, yang terdengar menyayat membabi buta. Aku bingung, resah, dan merasa bersalah. Semula aku ingin agar motorku kembali, tapi saat ini yang kurasakan adalah penyesalan sangat dalam.
Kuarahkan pandangan ke jendela. Kordennya masih terbuka. Yang terlihat dari jendela itu hanya kegelapan malam, gelap sehitam hatiku. Pikiranku menjelajah luasnya angkasa membayangkan setiap alur kehidupan penuh rasa bersalah.
Kurebahkan badanku di atas kasur kesekian kalinya hanya untuk mencari ketenangan. Memaksa memejamkan mata, agar jasad dapat berisirahat karena lelahnya aktivitas yang telah kulalui hari ini. 
Susah kurasa untuk beristirahat. Kuputuskan keluar kamar, berkeliling di sekitar tempat tinggalku. Mencoba mencari suasana baru. Menghirup udara malam dengan tujuan agar hati ini bisa lebih tenang.
Mata menghadap ke luasnya angkasa dengan bertumpah-ruahnya bintang. Tuhan betapa luasnya angkasa-Mu ini, namun mengapa hatiku terasa sempit? Berulang aku menarik nafas dalam. Lapangkanlah dada ini, Tuhan. Maafkanlah hamba-Mu yang lemah ini. Dalam hati kupanjatkan doa dengan tetesan air mata mengalir di pipiku.
Dalam beberapa hari belakangan ini kulewati dengan rasa bersalah dan menyesal. Aku lebih banyak diam dan berbicara seperlunya. Mencoba menghilangkan rasa bersalah dengan diam. Berusaha menjaga jarak dengan teman-temanku. Tapi aku tahu, mereka pasti bertanya-tanya apa yang terjadi denganku, terutama Barbalina dan Yakob. Adapun Yehud, aku yakin dia mengetahui mengapa aku berubah seperti ini.
***
Di dalam kelas aku duduk menyendiri. Barbalina datang menghampiriku, menenangkan dan menghiburku. Tapi aku tidak terlalu mempedulikannya. Aku tetap diam walau ia banyak berbicara.
Kukeluarkan gantungan kunci dari saku celana. Gantungan kunciku terdapat tiga kunci. Kunci lemari, kunci kamar, dan bekas kunci motor. Aku memegang kunci motor dan berpikir tidak mungkin aku temukan lagi.
Barbalina masih terus bercerita. Tiba-tiba terdengar hentakan pintu dengan keras. Kami berdua kaget. Ternyata Yakob. Dia menarik tanganku dengan kencang, aku tidak mau. Tetapi ia terus memaksaku. Kusimpan kembali kunci-kunciku, kemudian mengikutinya. Yakob menunjuk ke sebuah motor.
“Mana kunci motormu?”
“Ada ini,”
“Coba di motor itu. Itu kayaknya motormu,”
Aku memperhatikan secara seksama, dan ciri-cirinya sama. Kuberanikan diri untuk mencoba motor tersebut, dan cocok. Dua anak muda keluar dari warung. Ciri-cirinya sama seperti apa yang digambarkan Tete Yosep.
Pertengkaran kecil pun terjadi antara kami dan mereka, hingga Yehud dan Barbalina menghampiri kami menanyakan apa yang terjadi. Setelah kujelaskan, tangan Yehud yang besar menampar kedua anak muda itu hingga tersungkur.
Darah mengalir dari hidung mereka. Yehud menginjak-injak mereka berdua. Aku, Yakob, dan beberapa teman lain mencoba melerai. Tapi sangat susah menahan emosi Yehud yang telah mencapai titik didih. Mereka berdua meminta ampun atas apa yang mereka lakukan.
Yehud mengangkat seorang yang lebih besar ke udara dan dibanting terpental sekitar tiga meter. Terjadi kerumunan. Barbalina menangis mengharapkan Yehud menghentikan tindakannya. Setelah lima orang melerainya, akhirnya ia berhenti. Barbalina dengan mata berkaca menasehati Yehud, dan aku turut serta bersamanya.
Kami membawa mereka ke kantor Menwa untuk diinterogasi, juga menghubungi orang tua mereka agar datang menjemput. Teman-temanku bersikeras agar membawa mereka ke kantor polisi. Tampaknya teman-temanku tidak terima terhadap apa yang terjadi. Aku termangu. Apakah ini jawaban dari Tuhan, atau jawaban dari ritual itu?
“Aku maafkan mereka,” ucapku pelan. “Yehud,” teriakku, “Lepaskan saja mereka,”
Yehud jengkel. Namun tidak apa-apa, memberikan maaf adalah jalan Tuhan. Aku memilih jalan Tuhan.
***
 Cerpen ini telah dimuat dalam buku Sekolah Menulis Papua berjudul Cerita dari Timur, Cetakan II 2015.

Cerpen: Lorong Kehidupan




Lorong Kehidupan
Arum Endah Hudayanti

"Aku ingin memiliki anak dari darahmu." Suara serak itu terdengar oleh Lidya yang asyik makan. Suara itu berasal dari lelaki yang duduk di hadapannya.
"Iya sayang…," jawab Lidya.
Mendadak Lidya berhenti mengunyah makanannya ketika telapak tangan hangat menyentuh jemarinya. Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Alunan musik malam itu semakin membuat hati keduanya berdebar tak karuan.
"Aku mau anak perempuan yang mewarisi mata cokelatmu, bibir merahmu dan rambut keritingmu," bisik Mathius, kekasih Lidya.
"Aku mau anak lelaki yang mewarisi hidung mancungmu, suaramu dan wajahmu," Lidya menjawab sambil berbisik.
Keduanya tersenyum dan kembali melanjutkan makan malam yang romantis itu.
"Kalau gitu... Aku mau, kita memiliki banyak anak," pinta Mathius.
Lidya hanya mengangguk karena mulutnya masih penuh terisi makanan. Mathius masih saja membayangkan masa depannya bersama Lidya.
Malam itu begitu sempurna untuk mereka. Lidya tidak hanya memiliki kekasih yang hampir menyerupai malaikat dalam mimpinya tapi juga keluarga yang rukun. Ia sangat bersyukur akan hal itu.
***
Matahari kembali tak nampak pagi itu. Embun pagi telah diusir oleh rintikan hujan yang makin deras. Namun para burung tak berhenti berkicau seolah meminta makan kepada manusia yang sibuk dengan jas hujan dan payungnya.
“Sayang, makanan sudah siap. Lidya, Marsel, mari makan, nanti kalian terlambat,” kata Margareth, ibu rumah tangga di rumah berlantai dua itu.
Keluarga Yunus dan Margareth bisa dikatakan sebagai keluarga bahagia dan penuh cintayang sudah tiga puluh tahun membina rumah tangga. Mereka memiliki dua anak. Anak pertama, Lidya berumur 28 tahun dan anak kedua, Marsel berumur 18 tahun.
Lidya yang siap dengan pakaian putihnya menampakkan wajahnya ketika menuruni anak tangga dan berteriak untuk berpamitan.
“Ma, saya tidak makan lagi ya Ma, nanti saya bisa terlambat bekerja,” jelasnya.
Ia tidak memperdulikan jawaban yang akan diberikan keluarganya. Segera ia mengeluarkan motornya yang berwarna merah berbaur putih itu dari garasi rumahnya.
Marsel yang masih duduk di kelas dua SMA itu tidak menampakkan situasi yang sama dengan kakaknya yang selalu disiplin waktu walau harus menomorduakan sarapan pagi.
Marsel yang berkulit hitam, berambut keriting dan selalu memakai jam tangan hitam, hadiah ulang tahun ke tujuh belas tahunnya dari ayahnya itu makan dengan perlahan seperti kakek-kakek yang sedang mengayuh sepeda dengan beban berat di belakangnya. Selambat itukah?
Kebiasaan itu hampir serupa dengan ayahnya, Yunus. Kepala keluarga yang ramah, bertubuh besar, kulit putih dan mata yang cokelat itu adalah seorang anggota DPRD. Ia tidak pernah lupa dengan baju dinasnya yang sangat disayanginya melebihi mobil putihnya.
“Sayang, kamu masih sakit, tidak perlu ke kantor dulu,” pinta Margareth.
Benar saja. Akhir-akhir ini Yunus tidak seperti biasanya yang tampak gagah dan kekar. Ia sering jatuh sakit dan ia tidak pernah mau memeriksakannya kalau penyakitnya itu tidak parah.
“Iya, yah. Ayah harus berobat ke rumah sakit, jangan hanya berharap obat yang diberikan mama,” kata Marsel.
Ibunya tersenyum, sambil menyiapkan tas suaminya, ia terus berkomentar tentang sikap suaminya yang keras kepala sama seperti Lidya.
Piring Yunus telah bersih dari nasi goreng ala Margaret. Pagi itu Yunus segera bersiap ke kantor. Margareth memakaikan dasi kepadanya dengan perlahan. Ia juga tidak lupa mengecup kening istrinya seperti biasanya.
Marsel yang iri pun cemberut karena kedua orang tuanya seolah tidak memedulikannya.
“Jangan cemberut Marsel, sini, mama cium kamu juga,” katanya. Marsel memeluk mamanya yang berambut hitam ikal namun dianyam ke atas kepala sehingga nampak indah dan rapi.
“Mama cantik sekali dengan baju merah muda itu,” kata Marsel setelah kecupan yang seakan menembus dari pipi ke jantungnya.
“Iya, mamamu itu seperti malaikat,” tambah Yunus.
Keduanya pergi bersama. Karena hujan, Marsel numpang mobil ayahnya. Padahal biasanya, ia mengayuh sepeda yang sudah dianggapnya sepertisahabat sejati. Kini, temannya itu harus absen dan beristirahat sehari di garasi rumahnya.
***
Siang itu, Margareth sedang mempersiapkan makan malam sebagai perayaan ulang tahun ke tiga puluh tahun bersama suaminya.
Kriing…. Kriing….
Telepon rumah berdering dan Margaret segera mengangkatnya. Siapa tahu, suaminya ingin memberikan selamat ulang tahun itu lewat telepon. Tetapi…
“Apa!” teriaknya.
Binar mata Margareth berubah sayu seperti telah bertemu malaikat pencabut nyawa.
“Sekarang dibawa ke rumah sakit Jayapura, Mama. Kami baru saja membawa Yunus ke sana.” Suara di balik telepon itu tidak lagi dihiraukan Margareth. Ia berlari ke garasi untuk mengambil mobilnya yang akan dikendarainya ke rumah sakit.
Rumah sakit yang besar dengan dihiasi taman yang penuh warna itu nampak di depan mata Margareth tapi dia tidak punya waktu untuk menikmatinya.
Margareth memeluk suaminya yang terbaring di atas tempat tidur beralas kain putih itu. Dokter yang memeriksa Yunus datang dan memberikan berita buruk kepada keduanya. Ia mengatakan bahwa suaminya positif HIV. Dokter menyarankan untuk segera mengurus pengobatannya.
Margareth sangat terkejut dengan pernyataan dokter. Nikah muda yang diawali dengan cinta yang sehat harus berakhir dengan suami yang divonis sebagai Odha, orang dengan HIV/AIDS.
Suaminya masih terbujur lemas. Margareth terus menangis di sampingnya penuh tanya.
“Apakah kamu tidak setia dengan pernikahan kita!,” bentak Margareth. Watak lemah lembutnya berubah 180 derajat menjadi kasar dan keras. Margareth sangat membenci perselingkuhan.
Percecokkan mulut terjadi di ruangan yang dingin dan tenang itu.
Yunus yang terbujur lemas itu tidak bisa berbuat apa-apa selain diam saat dicaci maki istrinya. Istrinya pun meninggalkannya dan menelepon anak-anaknya dari sekolah untuk ke rumah sakit saat itu juga. Mereka sekeluarga harus segera memeriksakan darah.
Lidya yang pertama kali datang sempat marah karena dipanggil secara mendadak. Namun ia terdiam saat mendengar penjelasan mamanya.
Keduanya menangis saat bertemu. Dengan terisak, mamanya meminta Lidya untuk memeriksakan darahnya. Awalnya, Lidya menolak karena ia mengira mamanya menuduhnya sebagai odha. Namun akhirnya, ia memasrahkan takdirnya.
Selagi Lidya memeriksa darah, Marsel yang nampak lebih tenang datang. Ia menanyakan alasan mamanya mengabsenkannya dari les Matematika siangitu.
Wajah Marsel yang tenang berubah menjadi tegang. Matanya berkaca-kaca dan mulutnya bergetar.
“Trus, saya harus bagaimana mama,” tanyanya.
Mamanya meminta hal yang sama padanya. Ia akhirnya pergi ke ruang pemeriksaan darah tanpa banyak berkomentar.
Hasil tes itu pun keluar. Lidya bernasib sama dengan ayahnya. Mamanya semakin histeris ketika melihat hasil tes dan terdiam di depan anak-anaknya. Ia bingung bagaimana cara menyampaikannya.
Lidya memaksa melihat hasil pemeriksaan darahitu dan dia pun menitihkan air mata. Dia memeluk mamanya dengan keras dan Marsel yang terhanyut dalam situasi itu juga segera memeluk kakaknya.
"Tuhan, kenapa kau berikan cobaan padaku dan keluargaku.... Apa salah kami Tuhan!" teriak Lidya dengan terguyur air mata.
Lidya memikirkan pekerjaan, masa depan dan... Mathius. Lidya jatuh pingsan seketika.
Margareth dan Marsel menggendongnya. Lalu mereka pergi ke ruang ayahnya. Margareth masih bimbang dengan perasaannya. Apakah ia harus menelantarkan suaminya, yang entah darimana penyebab penyakitnya. Apalagi, Lidya yang barus sadar dan sedang duduk di pojok ruangan itu diam seribu kata membuat Margareth semakin sedih dan merasa kasihan.
“Saya tidak tahu apa yang menyebabkan penyakit biadab ini masuk ke keluarga kita. Saya tidak tahu, apa yang kamu lakukan di belakang saya. Yang saya tahu adalah kamu tidak pernah memakai narkoba,” tuturnya.
Suaminya memegang tangannya dan berkata dengan halus.
“Apa yang kamu pikirkan ini? Saya tidak pernah mengkhianati janji pernikahan kita. Kasihan anak-anak, apalagi Lidya. Seharusnya kamu tidak mencari masalah dulu. Apakah kamu tidak yakin dengan kesetiaanku selama ini,” ungkap Yunus dengan lirih.
Lidya berusaha mengingat kejadian apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Ia belum pernah berhubungan seks sebelumnya bahkan bercium pun hanya sekedar kening dan pipi dengan calon suaminya.
“Ma, Lidya tidak pernah memakai narkoba. Bahkan tiga tahun lalu, Lidya masih sempat memberikan donor darah dan dinyatakan sehat dari penyakit apapun Ma,” katanya.
Mamanya duduk di sebelahnya dan meraih kepalanya di pangkuannya. Mamanya mengelus kepalanya dan menghapus air mata yang terus jatuh seperti air hujan pagi tadi.
Malam berlalu. Yunus dan Lidya ditangani secara khusus oleh para perawat yang menangani odha.
“Memang seperti itu penyakit HIV. Lima tahun baru bisa terlihat jelas di darah seorang odha. Kamu yang sabar ya, Lidya. Kami akan membantu kamu dengan memberikan obat ARV dan selalu mengawasi perkembangan kesehatanmu,” kata dokter penanganan pasien odha, dr.  Edward Kogoya.
***

Pagi yang cerah tidak secerah hati keluarga Yunus. Mereka kembali ke rumah dengan wajah sedih. Kehangatan yang biasa terjalin, kini berubah menjadi dingin.
“Ma, bagaimana dengan pekerjaan dan pernikahan Lidya?” tanya Lidya pada mamanya saat akan meminum obat ARV yang tidak pernah dibayangkannya bahwa ia harus menelannya selama hidupnya.
Mamanya memutus pembicaraan itu dan meminta Lidya untuk tidak memikirkannya.
“Sekarang, kamu istirahat dulu,” pintanya.
Margareth juga segera mengurus suaminya yang dulu sangat dicintainya. Namun karena kecurigaan itu hadir, mendadak membuatnya sangat terpukul dan memendam rasa itu dalam-dalam.
Keluarga itu berkumpul di ruang tengah saat senja. Lidya yang teringat pernah mengabdi di kampung terpencil di pelosok Papua Barat, Bintuni akhirnya angkat bicara.
“Ma, sepertinya Lidya ingat sesuatu. Saya pernah membantu persalinan seorang ibu muda di kampung itu. Saat itu sangat mendadak dan cuaca juga tidak mendukung untuk kembali ke puskesmas, jadi saya menanganinya di rumahnya setelah dipanggil suaminya,” katanya.
Marsel yang mendengarkan dengan seksama itu kemudian bertanya, “Lalu apa hubungannya dengan ini?”
“Saat itu, saya tidak memakai sarung tangan karena lupa membawanya dan saya juga lupa kalau saya punya luka goresan kecil di telapak tangan. Mungkinkah karena darahnya yang menyebabkan semua ini?” katanya sambil menggigit jarinya.
Kejadian enam tahun lalu, kembali diungkit dan Lidya sangat yakin dengan alasan itu ketika mendengar berita duka dari temannya di Bintuni.
Lidya, Si Murni yang enam tahun lalu yang kamu tanyakan itu sudah meninggal setahun lalu. Saya dengar dia adalah odha dan anaknya juga sudah meninggal 3 bulan sebelum Murni.
Itulah sms dari temannya, April lewat pesan singkat di selulernya.
Ayahnya yang juga baru sadar kalau dua tahun lalu, saat ia tertimpa musibah, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkannya kehilangan banyak darah dan membuatnya terpaksa menerima darah yang cocok untuk memulihkannya adalah alasan utamanya terkena penyakit mematikan ini.
“Bukankah saat itu Kak Lidya yang mendonorkan darahnya kepada ayah?” kata Marsel terkejut.
“Mungkinkah?” semuanya saling bertatapan.
"Tuhan, apa yang telah aku lakukan ini. Aku seperti monster yang merusak semua kebahagiaan mereka....," kata Lidya dalam hati.
"Ma, Pa, Sel, maafkan kakak ya," pinta Lidya sambil bersimpuh di pangkuan ayahnya.
Ayahnya hanya menarik nafas panjang ketika mendegar curhatan Lidya. Tanpa ragu, Margareth juga langsung meminta maaf kepada suaminya yang sebelumnya telah dicurigainya. Mereka berpelukan dan saling memberikan kecupan.
Marsel hanya mengelus punggung kakaknya yang masih meratapi nasibnya.
Malam begitu sunyi tak seperti biasanya. Lidya mengingat sehari sebelumnya masih bisa tidur bersama dalam satu ranjang dan mendengar cerita masa lalu orang tuanya.
Lidya kembali menangis walau matanya sudah bengkak dan merah.
"Apa yang harus aku lakukan besok di tempat kerja, aku tidak bisa bersikap biasa saja," kata Lidya sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Pandangannya sayu ketika melihat botol obat di atas mejanya.
"Aku benci diriku. Gara-gara pekerjaanku menolong kehidupan orang lain membuat kehidupanku sendiri hancur. Aku benci hidupku. Aaaa....!" teriak Lidya sambil mencabik-cabik rambutmya kemudian dia memegang obat ARV dengan begitu kuat.
            "Aku benci kau!"
            Dilemparnya obat itu ke dinding sampai kacanya pecah berserakan di lantai kamarnya.
Tok...tok... Suara pintu di ketuk dari luar itu membuyarkan bayangan suram masa depan Lidya.
"Lidya.... Buka pintunya sayang....," suara Margareth yang lembut itu terus terdengar.
"Tinggalkan kami berdua," pinta suaminya.
Margaret mengelus pipinya sebelum akhirnya meninggalkannya.
"Lidya sayang, buka pintunya. Ini ayah," pinta ayahnya.
Lidya pun berdiri, dia melangkah dengan pelan tapi kemudian dia tersimpuh di bawah. Dia mengambil satu pecahan kaca yang ditemukannya di lantai. Kaca itu digenggamnya lalu dengan perlahan dia memaksa tangan yang satunya untuk terangkat.
"Apa yang kamu lakukan!" teriak Ayahnya setelah memaksa masuk kamar Lidya.
Yunus menarik tangan Lidya yang hendak menggoreskan pecahan kaca ke pergelangan tangannya.
Lidya menangis tersedu-sedu sambil memeluk ayahnya dengan erat.
“Maafkan aku Ayah!”
Sesaat setelah mereka berpelukan, terdengar suara pintu diketuk dari luar.
“Lidya, ini aku Mathius….”
Lidya kaget dan berteriak.
“Pergi! Jangan ganggu aku.”
Ayahnya bangun dan meminta Mathius duduk di samping Lidya.
“Ayah akan meninggalkan kalian berdua.”
Mathius menatap Lidya dengan penuh harap.
“Aku tahu apa yang menimpamu sayang. Aku tahu,” ucapnya sambil mencoba memegang tangan Lidya.
Lidya menatapnya dan tetap enggan mengeluarkan satu kata pun.
“Aku sudah mendengar semuanya, maafkan aku, awalnya aku mencoba untuk melupakan hubungan ini, tapi aku… tak bisa,” katanya sambil menunduk.
Lidya menarik bantal gulingnya lalu dipeluknya dengan erat.
“Pergi…,” katanya dengan suara datar.
“Pergi kataku!” teriaknya lagi.
Mathius tahu perasaan Lidya, dia hanya ingin Lidya tenang dan mendengarnya.
Lidya berdiri hendak menarik tangan Mathius dan memintanya untuk keluar. Tapi, Mathius menarik tangannya dan memeluknya.
“Aku menerimamu sayang, aku menerimamu… Kita jalani semua ini bersama, aku tahu kau adalah perempuan yang kuat.”
Mathius memeluk Lidya yang masih menangis pelan.
Lidya terdiam dalam pelukannya.
***
Aula di tengah kota itu kini dipenuhi siswa dan mahasiswa yang berseragam. Beberapa kelompok berbisik sendiri dan beberapa kelompok mencoba mengabadikan moment itu dengan berfoto.
Seketika MC pun meminta semua undangan masuk ke aula dan memulai acara. Usai pembukaan, seorang perempuan yang berpakaian rapi muncul setelah diminta oleh MC berhadapan di depan umum.
“Salam sejahtera untuk kita semua, Syalom. Hai semua, kegiatan ini untuk memberikan pandangan tentang odha dan segala macam yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Sekaligus kita akan mendengarkan pengalaman odha-odha yang tidak seperti kalian bayangkan. Odha-odha yang datang di sini bertubuh segar, berambut lebat dan juga sudah menjadi motivator odha-odha lainnya. Saya bangga dengan mereka. Saya berterimakasih kepada panitia penyelenggara yang telah mengundang saya untuk hadir di sini,” tutur sosok misterius itu.
“Dia pasti dokter yang menangani mereka, salut,” kata salah satu peserta di pojok aula itu.
“Perkenalkan, nama kakak adalah Lidya. Kakak adalah salah satu odha, orang dengan HIV/AIDS.”
Semua mata tercengang melihat kondisi perempuan yang tampak tetap energik itu.
“Di sana, suami dan anak kakak,” kata Lidya sambil menunjuk kursi yang berderet di samping aula. Kursi itu diduduki seorang laki-laki yang sedang menggendong balita.
***
 
Cerpen ini telah dimuat dalam buku yang diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua berjudul Cerita dari Timur,  cetakan II, Oktober 2015.