Kamis, 19 Mei 2016

Cerpen: Lorong Kehidupan




Lorong Kehidupan
Arum Endah Hudayanti

"Aku ingin memiliki anak dari darahmu." Suara serak itu terdengar oleh Lidya yang asyik makan. Suara itu berasal dari lelaki yang duduk di hadapannya.
"Iya sayang…," jawab Lidya.
Mendadak Lidya berhenti mengunyah makanannya ketika telapak tangan hangat menyentuh jemarinya. Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Alunan musik malam itu semakin membuat hati keduanya berdebar tak karuan.
"Aku mau anak perempuan yang mewarisi mata cokelatmu, bibir merahmu dan rambut keritingmu," bisik Mathius, kekasih Lidya.
"Aku mau anak lelaki yang mewarisi hidung mancungmu, suaramu dan wajahmu," Lidya menjawab sambil berbisik.
Keduanya tersenyum dan kembali melanjutkan makan malam yang romantis itu.
"Kalau gitu... Aku mau, kita memiliki banyak anak," pinta Mathius.
Lidya hanya mengangguk karena mulutnya masih penuh terisi makanan. Mathius masih saja membayangkan masa depannya bersama Lidya.
Malam itu begitu sempurna untuk mereka. Lidya tidak hanya memiliki kekasih yang hampir menyerupai malaikat dalam mimpinya tapi juga keluarga yang rukun. Ia sangat bersyukur akan hal itu.
***
Matahari kembali tak nampak pagi itu. Embun pagi telah diusir oleh rintikan hujan yang makin deras. Namun para burung tak berhenti berkicau seolah meminta makan kepada manusia yang sibuk dengan jas hujan dan payungnya.
“Sayang, makanan sudah siap. Lidya, Marsel, mari makan, nanti kalian terlambat,” kata Margareth, ibu rumah tangga di rumah berlantai dua itu.
Keluarga Yunus dan Margareth bisa dikatakan sebagai keluarga bahagia dan penuh cintayang sudah tiga puluh tahun membina rumah tangga. Mereka memiliki dua anak. Anak pertama, Lidya berumur 28 tahun dan anak kedua, Marsel berumur 18 tahun.
Lidya yang siap dengan pakaian putihnya menampakkan wajahnya ketika menuruni anak tangga dan berteriak untuk berpamitan.
“Ma, saya tidak makan lagi ya Ma, nanti saya bisa terlambat bekerja,” jelasnya.
Ia tidak memperdulikan jawaban yang akan diberikan keluarganya. Segera ia mengeluarkan motornya yang berwarna merah berbaur putih itu dari garasi rumahnya.
Marsel yang masih duduk di kelas dua SMA itu tidak menampakkan situasi yang sama dengan kakaknya yang selalu disiplin waktu walau harus menomorduakan sarapan pagi.
Marsel yang berkulit hitam, berambut keriting dan selalu memakai jam tangan hitam, hadiah ulang tahun ke tujuh belas tahunnya dari ayahnya itu makan dengan perlahan seperti kakek-kakek yang sedang mengayuh sepeda dengan beban berat di belakangnya. Selambat itukah?
Kebiasaan itu hampir serupa dengan ayahnya, Yunus. Kepala keluarga yang ramah, bertubuh besar, kulit putih dan mata yang cokelat itu adalah seorang anggota DPRD. Ia tidak pernah lupa dengan baju dinasnya yang sangat disayanginya melebihi mobil putihnya.
“Sayang, kamu masih sakit, tidak perlu ke kantor dulu,” pinta Margareth.
Benar saja. Akhir-akhir ini Yunus tidak seperti biasanya yang tampak gagah dan kekar. Ia sering jatuh sakit dan ia tidak pernah mau memeriksakannya kalau penyakitnya itu tidak parah.
“Iya, yah. Ayah harus berobat ke rumah sakit, jangan hanya berharap obat yang diberikan mama,” kata Marsel.
Ibunya tersenyum, sambil menyiapkan tas suaminya, ia terus berkomentar tentang sikap suaminya yang keras kepala sama seperti Lidya.
Piring Yunus telah bersih dari nasi goreng ala Margaret. Pagi itu Yunus segera bersiap ke kantor. Margareth memakaikan dasi kepadanya dengan perlahan. Ia juga tidak lupa mengecup kening istrinya seperti biasanya.
Marsel yang iri pun cemberut karena kedua orang tuanya seolah tidak memedulikannya.
“Jangan cemberut Marsel, sini, mama cium kamu juga,” katanya. Marsel memeluk mamanya yang berambut hitam ikal namun dianyam ke atas kepala sehingga nampak indah dan rapi.
“Mama cantik sekali dengan baju merah muda itu,” kata Marsel setelah kecupan yang seakan menembus dari pipi ke jantungnya.
“Iya, mamamu itu seperti malaikat,” tambah Yunus.
Keduanya pergi bersama. Karena hujan, Marsel numpang mobil ayahnya. Padahal biasanya, ia mengayuh sepeda yang sudah dianggapnya sepertisahabat sejati. Kini, temannya itu harus absen dan beristirahat sehari di garasi rumahnya.
***
Siang itu, Margareth sedang mempersiapkan makan malam sebagai perayaan ulang tahun ke tiga puluh tahun bersama suaminya.
Kriing…. Kriing….
Telepon rumah berdering dan Margaret segera mengangkatnya. Siapa tahu, suaminya ingin memberikan selamat ulang tahun itu lewat telepon. Tetapi…
“Apa!” teriaknya.
Binar mata Margareth berubah sayu seperti telah bertemu malaikat pencabut nyawa.
“Sekarang dibawa ke rumah sakit Jayapura, Mama. Kami baru saja membawa Yunus ke sana.” Suara di balik telepon itu tidak lagi dihiraukan Margareth. Ia berlari ke garasi untuk mengambil mobilnya yang akan dikendarainya ke rumah sakit.
Rumah sakit yang besar dengan dihiasi taman yang penuh warna itu nampak di depan mata Margareth tapi dia tidak punya waktu untuk menikmatinya.
Margareth memeluk suaminya yang terbaring di atas tempat tidur beralas kain putih itu. Dokter yang memeriksa Yunus datang dan memberikan berita buruk kepada keduanya. Ia mengatakan bahwa suaminya positif HIV. Dokter menyarankan untuk segera mengurus pengobatannya.
Margareth sangat terkejut dengan pernyataan dokter. Nikah muda yang diawali dengan cinta yang sehat harus berakhir dengan suami yang divonis sebagai Odha, orang dengan HIV/AIDS.
Suaminya masih terbujur lemas. Margareth terus menangis di sampingnya penuh tanya.
“Apakah kamu tidak setia dengan pernikahan kita!,” bentak Margareth. Watak lemah lembutnya berubah 180 derajat menjadi kasar dan keras. Margareth sangat membenci perselingkuhan.
Percecokkan mulut terjadi di ruangan yang dingin dan tenang itu.
Yunus yang terbujur lemas itu tidak bisa berbuat apa-apa selain diam saat dicaci maki istrinya. Istrinya pun meninggalkannya dan menelepon anak-anaknya dari sekolah untuk ke rumah sakit saat itu juga. Mereka sekeluarga harus segera memeriksakan darah.
Lidya yang pertama kali datang sempat marah karena dipanggil secara mendadak. Namun ia terdiam saat mendengar penjelasan mamanya.
Keduanya menangis saat bertemu. Dengan terisak, mamanya meminta Lidya untuk memeriksakan darahnya. Awalnya, Lidya menolak karena ia mengira mamanya menuduhnya sebagai odha. Namun akhirnya, ia memasrahkan takdirnya.
Selagi Lidya memeriksa darah, Marsel yang nampak lebih tenang datang. Ia menanyakan alasan mamanya mengabsenkannya dari les Matematika siangitu.
Wajah Marsel yang tenang berubah menjadi tegang. Matanya berkaca-kaca dan mulutnya bergetar.
“Trus, saya harus bagaimana mama,” tanyanya.
Mamanya meminta hal yang sama padanya. Ia akhirnya pergi ke ruang pemeriksaan darah tanpa banyak berkomentar.
Hasil tes itu pun keluar. Lidya bernasib sama dengan ayahnya. Mamanya semakin histeris ketika melihat hasil tes dan terdiam di depan anak-anaknya. Ia bingung bagaimana cara menyampaikannya.
Lidya memaksa melihat hasil pemeriksaan darahitu dan dia pun menitihkan air mata. Dia memeluk mamanya dengan keras dan Marsel yang terhanyut dalam situasi itu juga segera memeluk kakaknya.
"Tuhan, kenapa kau berikan cobaan padaku dan keluargaku.... Apa salah kami Tuhan!" teriak Lidya dengan terguyur air mata.
Lidya memikirkan pekerjaan, masa depan dan... Mathius. Lidya jatuh pingsan seketika.
Margareth dan Marsel menggendongnya. Lalu mereka pergi ke ruang ayahnya. Margareth masih bimbang dengan perasaannya. Apakah ia harus menelantarkan suaminya, yang entah darimana penyebab penyakitnya. Apalagi, Lidya yang barus sadar dan sedang duduk di pojok ruangan itu diam seribu kata membuat Margareth semakin sedih dan merasa kasihan.
“Saya tidak tahu apa yang menyebabkan penyakit biadab ini masuk ke keluarga kita. Saya tidak tahu, apa yang kamu lakukan di belakang saya. Yang saya tahu adalah kamu tidak pernah memakai narkoba,” tuturnya.
Suaminya memegang tangannya dan berkata dengan halus.
“Apa yang kamu pikirkan ini? Saya tidak pernah mengkhianati janji pernikahan kita. Kasihan anak-anak, apalagi Lidya. Seharusnya kamu tidak mencari masalah dulu. Apakah kamu tidak yakin dengan kesetiaanku selama ini,” ungkap Yunus dengan lirih.
Lidya berusaha mengingat kejadian apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Ia belum pernah berhubungan seks sebelumnya bahkan bercium pun hanya sekedar kening dan pipi dengan calon suaminya.
“Ma, Lidya tidak pernah memakai narkoba. Bahkan tiga tahun lalu, Lidya masih sempat memberikan donor darah dan dinyatakan sehat dari penyakit apapun Ma,” katanya.
Mamanya duduk di sebelahnya dan meraih kepalanya di pangkuannya. Mamanya mengelus kepalanya dan menghapus air mata yang terus jatuh seperti air hujan pagi tadi.
Malam berlalu. Yunus dan Lidya ditangani secara khusus oleh para perawat yang menangani odha.
“Memang seperti itu penyakit HIV. Lima tahun baru bisa terlihat jelas di darah seorang odha. Kamu yang sabar ya, Lidya. Kami akan membantu kamu dengan memberikan obat ARV dan selalu mengawasi perkembangan kesehatanmu,” kata dokter penanganan pasien odha, dr.  Edward Kogoya.
***

Pagi yang cerah tidak secerah hati keluarga Yunus. Mereka kembali ke rumah dengan wajah sedih. Kehangatan yang biasa terjalin, kini berubah menjadi dingin.
“Ma, bagaimana dengan pekerjaan dan pernikahan Lidya?” tanya Lidya pada mamanya saat akan meminum obat ARV yang tidak pernah dibayangkannya bahwa ia harus menelannya selama hidupnya.
Mamanya memutus pembicaraan itu dan meminta Lidya untuk tidak memikirkannya.
“Sekarang, kamu istirahat dulu,” pintanya.
Margareth juga segera mengurus suaminya yang dulu sangat dicintainya. Namun karena kecurigaan itu hadir, mendadak membuatnya sangat terpukul dan memendam rasa itu dalam-dalam.
Keluarga itu berkumpul di ruang tengah saat senja. Lidya yang teringat pernah mengabdi di kampung terpencil di pelosok Papua Barat, Bintuni akhirnya angkat bicara.
“Ma, sepertinya Lidya ingat sesuatu. Saya pernah membantu persalinan seorang ibu muda di kampung itu. Saat itu sangat mendadak dan cuaca juga tidak mendukung untuk kembali ke puskesmas, jadi saya menanganinya di rumahnya setelah dipanggil suaminya,” katanya.
Marsel yang mendengarkan dengan seksama itu kemudian bertanya, “Lalu apa hubungannya dengan ini?”
“Saat itu, saya tidak memakai sarung tangan karena lupa membawanya dan saya juga lupa kalau saya punya luka goresan kecil di telapak tangan. Mungkinkah karena darahnya yang menyebabkan semua ini?” katanya sambil menggigit jarinya.
Kejadian enam tahun lalu, kembali diungkit dan Lidya sangat yakin dengan alasan itu ketika mendengar berita duka dari temannya di Bintuni.
Lidya, Si Murni yang enam tahun lalu yang kamu tanyakan itu sudah meninggal setahun lalu. Saya dengar dia adalah odha dan anaknya juga sudah meninggal 3 bulan sebelum Murni.
Itulah sms dari temannya, April lewat pesan singkat di selulernya.
Ayahnya yang juga baru sadar kalau dua tahun lalu, saat ia tertimpa musibah, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkannya kehilangan banyak darah dan membuatnya terpaksa menerima darah yang cocok untuk memulihkannya adalah alasan utamanya terkena penyakit mematikan ini.
“Bukankah saat itu Kak Lidya yang mendonorkan darahnya kepada ayah?” kata Marsel terkejut.
“Mungkinkah?” semuanya saling bertatapan.
"Tuhan, apa yang telah aku lakukan ini. Aku seperti monster yang merusak semua kebahagiaan mereka....," kata Lidya dalam hati.
"Ma, Pa, Sel, maafkan kakak ya," pinta Lidya sambil bersimpuh di pangkuan ayahnya.
Ayahnya hanya menarik nafas panjang ketika mendegar curhatan Lidya. Tanpa ragu, Margareth juga langsung meminta maaf kepada suaminya yang sebelumnya telah dicurigainya. Mereka berpelukan dan saling memberikan kecupan.
Marsel hanya mengelus punggung kakaknya yang masih meratapi nasibnya.
Malam begitu sunyi tak seperti biasanya. Lidya mengingat sehari sebelumnya masih bisa tidur bersama dalam satu ranjang dan mendengar cerita masa lalu orang tuanya.
Lidya kembali menangis walau matanya sudah bengkak dan merah.
"Apa yang harus aku lakukan besok di tempat kerja, aku tidak bisa bersikap biasa saja," kata Lidya sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Pandangannya sayu ketika melihat botol obat di atas mejanya.
"Aku benci diriku. Gara-gara pekerjaanku menolong kehidupan orang lain membuat kehidupanku sendiri hancur. Aku benci hidupku. Aaaa....!" teriak Lidya sambil mencabik-cabik rambutmya kemudian dia memegang obat ARV dengan begitu kuat.
            "Aku benci kau!"
            Dilemparnya obat itu ke dinding sampai kacanya pecah berserakan di lantai kamarnya.
Tok...tok... Suara pintu di ketuk dari luar itu membuyarkan bayangan suram masa depan Lidya.
"Lidya.... Buka pintunya sayang....," suara Margareth yang lembut itu terus terdengar.
"Tinggalkan kami berdua," pinta suaminya.
Margaret mengelus pipinya sebelum akhirnya meninggalkannya.
"Lidya sayang, buka pintunya. Ini ayah," pinta ayahnya.
Lidya pun berdiri, dia melangkah dengan pelan tapi kemudian dia tersimpuh di bawah. Dia mengambil satu pecahan kaca yang ditemukannya di lantai. Kaca itu digenggamnya lalu dengan perlahan dia memaksa tangan yang satunya untuk terangkat.
"Apa yang kamu lakukan!" teriak Ayahnya setelah memaksa masuk kamar Lidya.
Yunus menarik tangan Lidya yang hendak menggoreskan pecahan kaca ke pergelangan tangannya.
Lidya menangis tersedu-sedu sambil memeluk ayahnya dengan erat.
“Maafkan aku Ayah!”
Sesaat setelah mereka berpelukan, terdengar suara pintu diketuk dari luar.
“Lidya, ini aku Mathius….”
Lidya kaget dan berteriak.
“Pergi! Jangan ganggu aku.”
Ayahnya bangun dan meminta Mathius duduk di samping Lidya.
“Ayah akan meninggalkan kalian berdua.”
Mathius menatap Lidya dengan penuh harap.
“Aku tahu apa yang menimpamu sayang. Aku tahu,” ucapnya sambil mencoba memegang tangan Lidya.
Lidya menatapnya dan tetap enggan mengeluarkan satu kata pun.
“Aku sudah mendengar semuanya, maafkan aku, awalnya aku mencoba untuk melupakan hubungan ini, tapi aku… tak bisa,” katanya sambil menunduk.
Lidya menarik bantal gulingnya lalu dipeluknya dengan erat.
“Pergi…,” katanya dengan suara datar.
“Pergi kataku!” teriaknya lagi.
Mathius tahu perasaan Lidya, dia hanya ingin Lidya tenang dan mendengarnya.
Lidya berdiri hendak menarik tangan Mathius dan memintanya untuk keluar. Tapi, Mathius menarik tangannya dan memeluknya.
“Aku menerimamu sayang, aku menerimamu… Kita jalani semua ini bersama, aku tahu kau adalah perempuan yang kuat.”
Mathius memeluk Lidya yang masih menangis pelan.
Lidya terdiam dalam pelukannya.
***
Aula di tengah kota itu kini dipenuhi siswa dan mahasiswa yang berseragam. Beberapa kelompok berbisik sendiri dan beberapa kelompok mencoba mengabadikan moment itu dengan berfoto.
Seketika MC pun meminta semua undangan masuk ke aula dan memulai acara. Usai pembukaan, seorang perempuan yang berpakaian rapi muncul setelah diminta oleh MC berhadapan di depan umum.
“Salam sejahtera untuk kita semua, Syalom. Hai semua, kegiatan ini untuk memberikan pandangan tentang odha dan segala macam yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Sekaligus kita akan mendengarkan pengalaman odha-odha yang tidak seperti kalian bayangkan. Odha-odha yang datang di sini bertubuh segar, berambut lebat dan juga sudah menjadi motivator odha-odha lainnya. Saya bangga dengan mereka. Saya berterimakasih kepada panitia penyelenggara yang telah mengundang saya untuk hadir di sini,” tutur sosok misterius itu.
“Dia pasti dokter yang menangani mereka, salut,” kata salah satu peserta di pojok aula itu.
“Perkenalkan, nama kakak adalah Lidya. Kakak adalah salah satu odha, orang dengan HIV/AIDS.”
Semua mata tercengang melihat kondisi perempuan yang tampak tetap energik itu.
“Di sana, suami dan anak kakak,” kata Lidya sambil menunjuk kursi yang berderet di samping aula. Kursi itu diduduki seorang laki-laki yang sedang menggendong balita.
***
 
Cerpen ini telah dimuat dalam buku yang diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua berjudul Cerita dari Timur,  cetakan II, Oktober 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar