Lorong Kehidupan
Arum
Endah Hudayanti
"Aku
ingin memiliki anak dari darahmu." Suara serak itu terdengar oleh Lidya
yang asyik makan. Suara itu berasal dari lelaki yang duduk di hadapannya.
"Iya
sayang…," jawab Lidya.
Mendadak
Lidya berhenti mengunyah makanannya ketika telapak tangan hangat menyentuh
jemarinya. Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Alunan musik malam itu
semakin membuat hati keduanya berdebar tak karuan.
"Aku
mau anak perempuan yang mewarisi mata cokelatmu, bibir merahmu dan rambut
keritingmu," bisik Mathius, kekasih Lidya.
"Aku
mau anak lelaki yang mewarisi hidung mancungmu, suaramu dan wajahmu,"
Lidya menjawab sambil berbisik.
Keduanya
tersenyum dan kembali melanjutkan makan malam yang romantis itu.
"Kalau
gitu... Aku mau, kita memiliki banyak anak," pinta Mathius.
Lidya hanya
mengangguk karena mulutnya masih penuh terisi makanan. Mathius masih saja
membayangkan masa depannya bersama Lidya.
Malam itu
begitu sempurna untuk mereka. Lidya tidak hanya memiliki kekasih yang hampir
menyerupai malaikat dalam mimpinya tapi juga keluarga yang rukun. Ia sangat
bersyukur akan hal itu.
***
Matahari
kembali tak nampak pagi itu. Embun pagi telah diusir oleh rintikan hujan yang
makin deras. Namun para burung tak berhenti berkicau seolah meminta makan
kepada manusia yang sibuk dengan jas hujan dan payungnya.
“Sayang,
makanan sudah siap. Lidya, Marsel, mari makan, nanti kalian terlambat,” kata
Margareth, ibu rumah tangga di rumah berlantai dua itu.
Keluarga
Yunus dan Margareth bisa dikatakan sebagai keluarga bahagia dan penuh cintayang
sudah tiga puluh tahun membina rumah tangga. Mereka memiliki dua anak. Anak
pertama, Lidya berumur 28 tahun dan anak kedua, Marsel berumur 18 tahun.
Lidya yang
siap dengan pakaian putihnya menampakkan wajahnya ketika menuruni anak tangga
dan berteriak untuk berpamitan.
“Ma, saya
tidak makan lagi ya Ma, nanti saya bisa terlambat bekerja,” jelasnya.
Ia tidak
memperdulikan jawaban yang akan diberikan keluarganya. Segera ia mengeluarkan
motornya yang berwarna merah berbaur putih itu dari garasi rumahnya.
Marsel yang
masih duduk di kelas dua SMA itu tidak menampakkan situasi yang sama dengan
kakaknya yang selalu disiplin waktu walau harus menomorduakan sarapan pagi.
Marsel yang
berkulit hitam, berambut keriting dan selalu memakai jam tangan hitam, hadiah
ulang tahun ke tujuh belas tahunnya dari ayahnya itu makan dengan perlahan
seperti kakek-kakek yang sedang mengayuh sepeda dengan beban berat di
belakangnya. Selambat
itukah?
Kebiasaan
itu hampir serupa dengan ayahnya, Yunus. Kepala keluarga yang ramah, bertubuh
besar, kulit putih dan mata yang cokelat itu adalah seorang anggota DPRD. Ia
tidak pernah lupa dengan baju dinasnya yang sangat disayanginya melebihi mobil
putihnya.
“Sayang,
kamu masih sakit, tidak perlu ke kantor dulu,” pinta Margareth.
Benar saja.
Akhir-akhir ini Yunus tidak seperti biasanya yang tampak gagah dan kekar. Ia
sering jatuh sakit dan ia tidak pernah mau memeriksakannya kalau penyakitnya
itu tidak parah.
“Iya, yah.
Ayah harus berobat ke rumah sakit, jangan hanya berharap obat yang diberikan
mama,” kata Marsel.
Ibunya
tersenyum, sambil menyiapkan tas suaminya, ia terus berkomentar tentang sikap
suaminya yang keras kepala sama seperti Lidya.
Piring
Yunus telah bersih dari nasi goreng ala Margaret. Pagi itu Yunus segera bersiap
ke kantor. Margareth memakaikan dasi kepadanya dengan perlahan. Ia juga tidak
lupa mengecup kening istrinya seperti biasanya.
Marsel yang
iri pun cemberut karena kedua orang tuanya seolah tidak memedulikannya.
“Jangan cemberut
Marsel, sini, mama cium kamu juga,” katanya. Marsel memeluk mamanya yang
berambut hitam ikal namun dianyam ke atas kepala sehingga nampak indah dan
rapi.
“Mama
cantik sekali dengan baju merah muda itu,” kata Marsel setelah kecupan yang
seakan menembus dari pipi ke jantungnya.
“Iya,
mamamu itu seperti malaikat,” tambah Yunus.
Keduanya
pergi bersama. Karena hujan, Marsel numpang mobil ayahnya. Padahal biasanya, ia
mengayuh sepeda yang sudah dianggapnya sepertisahabat sejati. Kini, temannya
itu harus absen dan beristirahat sehari di garasi rumahnya.
***
Siang itu,
Margareth sedang mempersiapkan makan malam sebagai perayaan ulang tahun ke tiga
puluh tahun bersama suaminya.
Kriing….
Kriing….
Telepon
rumah berdering dan Margaret segera mengangkatnya. Siapa tahu, suaminya ingin
memberikan selamat ulang tahun itu lewat telepon. Tetapi…
“Apa!”
teriaknya.
Binar mata
Margareth berubah sayu seperti telah bertemu malaikat pencabut nyawa.
“Sekarang
dibawa ke rumah sakit Jayapura, Mama. Kami baru saja membawa Yunus ke sana.”
Suara di balik telepon itu tidak lagi dihiraukan Margareth. Ia berlari ke
garasi untuk mengambil mobilnya yang akan dikendarainya ke rumah sakit.
Rumah sakit
yang besar dengan dihiasi taman yang penuh warna itu nampak di depan mata
Margareth tapi dia tidak punya waktu untuk menikmatinya.
Margareth
memeluk suaminya yang terbaring di atas tempat tidur beralas kain putih itu.
Dokter yang memeriksa Yunus datang dan memberikan berita buruk kepada keduanya.
Ia mengatakan bahwa suaminya positif HIV. Dokter menyarankan untuk segera
mengurus pengobatannya.
Margareth
sangat terkejut dengan pernyataan dokter. Nikah muda yang diawali dengan cinta
yang sehat harus berakhir dengan suami yang divonis sebagai Odha, orang dengan
HIV/AIDS.
Suaminya
masih terbujur lemas. Margareth terus menangis di sampingnya penuh tanya.
“Apakah
kamu tidak setia dengan pernikahan kita!,” bentak Margareth. Watak lemah
lembutnya berubah 180 derajat menjadi kasar dan keras. Margareth sangat
membenci perselingkuhan.
Percecokkan
mulut terjadi di ruangan yang dingin dan tenang itu.
Yunus yang
terbujur lemas itu tidak bisa berbuat apa-apa selain diam saat dicaci maki
istrinya. Istrinya pun meninggalkannya dan menelepon anak-anaknya dari sekolah
untuk ke rumah sakit saat itu juga. Mereka sekeluarga harus segera memeriksakan
darah.
Lidya yang
pertama kali datang sempat marah karena dipanggil secara mendadak. Namun ia
terdiam saat mendengar penjelasan mamanya.
Keduanya
menangis saat bertemu. Dengan terisak, mamanya meminta Lidya untuk memeriksakan
darahnya. Awalnya, Lidya menolak karena ia mengira mamanya menuduhnya sebagai
odha. Namun akhirnya, ia memasrahkan takdirnya.
Selagi
Lidya memeriksa darah, Marsel yang nampak lebih tenang datang. Ia menanyakan
alasan mamanya mengabsenkannya dari les Matematika siangitu.
Wajah
Marsel yang tenang berubah menjadi tegang. Matanya berkaca-kaca dan mulutnya
bergetar.
“Trus, saya
harus bagaimana mama,” tanyanya.
Mamanya
meminta hal yang sama padanya. Ia akhirnya pergi ke ruang pemeriksaan darah
tanpa banyak berkomentar.
Hasil tes
itu pun keluar. Lidya bernasib sama dengan ayahnya. Mamanya semakin histeris
ketika melihat hasil tes dan terdiam di depan anak-anaknya. Ia bingung
bagaimana cara menyampaikannya.
Lidya
memaksa melihat hasil pemeriksaan darahitu dan dia pun menitihkan air mata. Dia
memeluk mamanya dengan keras dan Marsel yang terhanyut dalam situasi itu juga
segera memeluk kakaknya.
"Tuhan,
kenapa kau berikan cobaan padaku dan keluargaku.... Apa salah kami Tuhan!"
teriak Lidya dengan terguyur air mata.
Lidya
memikirkan pekerjaan, masa depan dan... Mathius. Lidya jatuh pingsan seketika.
Margareth
dan Marsel menggendongnya. Lalu mereka pergi ke ruang ayahnya. Margareth masih
bimbang dengan perasaannya. Apakah ia harus menelantarkan suaminya, yang entah
darimana penyebab penyakitnya. Apalagi, Lidya yang barus sadar dan sedang duduk
di pojok ruangan itu diam seribu kata membuat Margareth semakin sedih dan
merasa kasihan.
“Saya tidak
tahu apa yang menyebabkan penyakit biadab ini masuk ke keluarga kita. Saya
tidak tahu, apa yang kamu lakukan di belakang saya. Yang saya tahu adalah kamu
tidak pernah memakai narkoba,” tuturnya.
Suaminya
memegang tangannya dan berkata dengan halus.
“Apa yang
kamu pikirkan ini? Saya tidak pernah mengkhianati janji pernikahan kita.
Kasihan anak-anak, apalagi Lidya. Seharusnya kamu tidak mencari masalah dulu.
Apakah kamu tidak yakin dengan kesetiaanku selama ini,” ungkap Yunus dengan
lirih.
Lidya berusaha
mengingat kejadian apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Ia belum pernah
berhubungan seks sebelumnya bahkan bercium pun hanya sekedar kening dan pipi
dengan calon suaminya.
“Ma, Lidya
tidak pernah memakai narkoba. Bahkan tiga tahun lalu, Lidya masih sempat
memberikan donor darah dan dinyatakan sehat dari penyakit apapun Ma,” katanya.
Mamanya
duduk di sebelahnya dan meraih kepalanya di pangkuannya. Mamanya mengelus
kepalanya dan menghapus air mata yang terus jatuh seperti air hujan pagi tadi.
Malam
berlalu. Yunus dan Lidya ditangani secara khusus oleh para perawat yang
menangani odha.
“Memang
seperti itu penyakit HIV. Lima tahun baru bisa terlihat jelas di darah seorang
odha. Kamu yang sabar ya, Lidya. Kami akan membantu kamu dengan memberikan obat
ARV dan selalu mengawasi perkembangan kesehatanmu,” kata dokter penanganan
pasien odha, dr. Edward Kogoya.
***
Pagi yang
cerah tidak secerah hati keluarga Yunus. Mereka kembali ke rumah dengan wajah
sedih. Kehangatan yang biasa terjalin, kini berubah menjadi dingin.
“Ma,
bagaimana dengan pekerjaan dan pernikahan Lidya?” tanya Lidya pada mamanya saat
akan meminum obat ARV yang tidak pernah dibayangkannya bahwa ia harus
menelannya selama hidupnya.
Mamanya
memutus pembicaraan itu dan meminta Lidya untuk tidak memikirkannya.
“Sekarang,
kamu istirahat dulu,” pintanya.
Margareth
juga segera mengurus suaminya yang dulu sangat dicintainya. Namun karena
kecurigaan itu hadir, mendadak membuatnya sangat terpukul dan memendam rasa itu
dalam-dalam.
Keluarga
itu berkumpul di ruang tengah saat senja. Lidya yang teringat pernah mengabdi
di kampung terpencil di pelosok Papua Barat, Bintuni akhirnya angkat bicara.
“Ma,
sepertinya Lidya ingat sesuatu. Saya pernah membantu persalinan seorang ibu
muda di kampung itu. Saat itu sangat mendadak dan cuaca juga tidak mendukung
untuk kembali ke puskesmas, jadi saya menanganinya di rumahnya setelah
dipanggil suaminya,” katanya.
Marsel yang
mendengarkan dengan seksama itu kemudian bertanya, “Lalu apa hubungannya dengan
ini?”
“Saat itu,
saya tidak memakai sarung tangan karena lupa membawanya dan saya juga lupa
kalau saya punya luka goresan kecil di telapak tangan. Mungkinkah karena
darahnya yang menyebabkan semua ini?” katanya sambil menggigit jarinya.
Kejadian
enam tahun lalu, kembali diungkit dan Lidya sangat yakin dengan alasan itu
ketika mendengar berita duka dari temannya di Bintuni.
Lidya, Si
Murni yang enam tahun lalu yang kamu tanyakan itu sudah meninggal setahun lalu.
Saya dengar dia adalah odha dan anaknya juga sudah meninggal 3 bulan sebelum
Murni.
Itulah sms
dari temannya, April lewat pesan singkat di selulernya.
Ayahnya
yang juga baru sadar kalau dua tahun lalu, saat ia tertimpa musibah, kecelakaan
lalu lintas yang menyebabkannya kehilangan banyak darah dan membuatnya terpaksa
menerima darah yang cocok untuk memulihkannya adalah alasan utamanya terkena
penyakit mematikan ini.
“Bukankah
saat itu Kak Lidya yang mendonorkan darahnya kepada ayah?” kata Marsel
terkejut.
“Mungkinkah?”
semuanya saling bertatapan.
"Tuhan,
apa yang telah aku lakukan ini. Aku seperti monster yang merusak semua
kebahagiaan mereka....," kata Lidya dalam hati.
"Ma,
Pa, Sel, maafkan kakak ya," pinta Lidya sambil bersimpuh di pangkuan
ayahnya.
Ayahnya
hanya menarik nafas panjang ketika mendegar curhatan Lidya. Tanpa ragu,
Margareth juga langsung meminta maaf kepada suaminya yang sebelumnya telah
dicurigainya. Mereka berpelukan dan saling memberikan kecupan.
Marsel
hanya mengelus punggung kakaknya yang masih meratapi nasibnya.
Malam
begitu sunyi tak seperti biasanya. Lidya mengingat sehari sebelumnya masih bisa
tidur bersama dalam satu ranjang dan mendengar cerita masa lalu orang tuanya.
Lidya
kembali menangis walau matanya sudah bengkak dan merah.
"Apa
yang harus aku lakukan besok di tempat kerja, aku tidak bisa bersikap biasa
saja," kata Lidya sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Pandangannya
sayu ketika melihat botol obat di atas mejanya.
"Aku
benci diriku. Gara-gara pekerjaanku menolong kehidupan orang lain membuat
kehidupanku sendiri hancur. Aku benci hidupku. Aaaa....!" teriak Lidya
sambil mencabik-cabik rambutmya kemudian dia memegang obat ARV dengan begitu
kuat.
"Aku
benci kau!"
Dilemparnya
obat itu ke dinding sampai kacanya pecah berserakan di lantai kamarnya.
Tok...tok...
Suara pintu di ketuk dari luar itu membuyarkan bayangan suram masa depan Lidya.
"Lidya....
Buka pintunya sayang....," suara Margareth yang lembut itu terus
terdengar.
"Tinggalkan
kami berdua," pinta suaminya.
Margaret
mengelus pipinya sebelum akhirnya meninggalkannya.
"Lidya
sayang, buka pintunya. Ini ayah," pinta ayahnya.
Lidya pun
berdiri, dia melangkah dengan pelan tapi kemudian dia tersimpuh di bawah. Dia
mengambil satu pecahan kaca yang ditemukannya di lantai. Kaca itu digenggamnya
lalu dengan perlahan dia memaksa tangan yang satunya untuk terangkat.
"Apa
yang kamu lakukan!" teriak Ayahnya setelah memaksa masuk kamar Lidya.
Yunus
menarik tangan Lidya yang hendak menggoreskan pecahan kaca ke pergelangan
tangannya.
Lidya
menangis tersedu-sedu sambil memeluk ayahnya dengan erat.
“Maafkan
aku Ayah!”
Sesaat
setelah mereka berpelukan, terdengar suara pintu diketuk dari luar.
“Lidya,
ini aku Mathius….”
Lidya
kaget dan berteriak.
“Pergi!
Jangan ganggu aku.”
Ayahnya
bangun dan meminta Mathius duduk di samping Lidya.
“Ayah
akan meninggalkan kalian berdua.”
Mathius
menatap Lidya dengan penuh harap.
“Aku
tahu apa yang menimpamu sayang. Aku tahu,” ucapnya sambil mencoba memegang
tangan Lidya.
Lidya
menatapnya dan tetap enggan mengeluarkan satu kata pun.
“Aku
sudah mendengar semuanya, maafkan aku, awalnya aku mencoba untuk melupakan
hubungan ini, tapi aku… tak bisa,” katanya sambil menunduk.
Lidya
menarik bantal gulingnya lalu dipeluknya dengan erat.
“Pergi…,”
katanya dengan suara datar.
“Pergi
kataku!” teriaknya lagi.
Mathius
tahu perasaan Lidya, dia hanya ingin Lidya tenang dan mendengarnya.
Lidya
berdiri hendak menarik tangan Mathius dan memintanya untuk keluar. Tapi,
Mathius menarik tangannya dan memeluknya.
“Aku
menerimamu sayang, aku menerimamu… Kita jalani semua ini bersama, aku tahu kau
adalah perempuan yang kuat.”
Mathius
memeluk Lidya yang masih menangis pelan.
Lidya
terdiam dalam pelukannya.
***
Aula di
tengah kota itu kini dipenuhi siswa dan mahasiswa yang berseragam. Beberapa
kelompok berbisik sendiri dan beberapa kelompok mencoba mengabadikan moment itu
dengan berfoto.
Seketika
MC pun meminta semua undangan masuk ke aula dan memulai acara. Usai pembukaan,
seorang perempuan yang berpakaian rapi muncul setelah diminta oleh MC
berhadapan di depan umum.
“Salam
sejahtera untuk kita semua, Syalom. Hai semua, kegiatan ini untuk memberikan
pandangan tentang odha dan segala macam yang berkaitan dengan HIV-AIDS.
Sekaligus kita akan mendengarkan pengalaman odha-odha yang tidak seperti kalian
bayangkan. Odha-odha yang datang di sini bertubuh segar, berambut lebat dan
juga sudah menjadi motivator odha-odha lainnya. Saya bangga dengan mereka. Saya
berterimakasih kepada panitia penyelenggara yang telah mengundang saya untuk hadir
di sini,” tutur sosok misterius itu.
“Dia
pasti dokter yang menangani mereka, salut,” kata salah satu peserta di pojok
aula itu.
“Perkenalkan,
nama kakak adalah Lidya. Kakak adalah salah satu odha, orang dengan HIV/AIDS.”
Semua
mata tercengang melihat kondisi perempuan yang tampak tetap energik itu.
“Di sana, suami dan anak kakak,” kata Lidya sambil
menunjuk kursi yang berderet di samping aula. Kursi itu diduduki seorang
laki-laki yang sedang menggendong balita.
***
Cerpen ini telah dimuat dalam buku yang diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua berjudul Cerita dari Timur, cetakan II, Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar