MENGIKAT ILMU*
Oleh Atanelle
Sabtu, 24 Oktober, saya bersama seorang teman, Bernad Koten (BK)
menghadiri acara Peluncuran dan Bedah Buku Cerita Dari Timur dan Mozaik
Kata. Acara ini diselenggarakan oleh Sekolah Menulis Papua (SMP) di
Balai Bahasa, Kampung Yoka, Jayapura. Kehadiran saya dengan BK adalah
untuk melakukan dokumentasi audio visual kegiatan tersebut.
Sekolah Menulis Papua (SMP) sebagai penyelenggara kegiatan berdiri
sejak 13 Januari 2014. Para pencetusnya adalah Burhanudin seorang
fasilitator di bidang kesejahteraan sosial dan saat ini ‘menjabat’
sebagai “Kepala Sekolah” SMP. Dzikry el Han, seorang novelis. Salah satu
novel yang ditulisnya adalah Cinta Putih di Bumi Papua. Dan Fatul
Qorib, seorang jurnalis di Harian Cenderawasih Pos.
Menurut ibu Dzikry, sapaan akrab untuk penulis novel Cinta Putih di Bumi Papua;
Ide dasar lahirnya SMP karena kegelisahan kami terhadap
kondisi literasi di Papua, khususnya di Jayapura. Kondisi literasi di
Jayapura bisa dibilang berjarak cukup jauh dengan wilayah lain di
Indonesia. Padahal di wilayah lain pun dapat di katakan, kondisi
literasinya belum mencapai tahap yang diharapkan. Selain itu, SMP juga
berupaya mewadahi generasi muda di Jayapura yang memiliki hobi menulis,
tetapi belum menemukan lingkungan yang cocok untuk menumbuhkan
kreativitas mereka. Oleh karena itu, SMP adalah sebuah komunitas menulis
independen yang dibuka untuk siapa saja tanpa dipungut biaya. (dikutip
dari buku cerita dari Timur tentang profil SMP)
Dalam perjalanan menuju usia dua tahun, SMP sudah melahirkan dua buah
buku, yakni Cerita Dari Timur dan Mozaik Kata. Cerita Dari Timur adalah
kumpulan Cerita Pendek (Cerpen) yang ditulis oleh siswi-siswi SMP dan
para mentor, khususnya Dzikry el Han dan Fathul Qorib. Buku kedua,
Mozaik Kata, adalah kumpulan Puisi, Cerpen dan essay yang juga ditulis
oleh siswa-siswi SMP. Selain itu, ada penggiat sastra, wartawan,
mahasiswa, ibu rumah tangga yang tidak tergabung dalam SMP, tetapi
meluangkan waktu untuk menyumbangkan pikiran mereka lewat essay, puisi
dan cerpen.
Menurut Siti Nurhidayati mahasiswi STAIN al-Fatah Jayapura, ia sudah
bergabung dengan SMP sejak setahun silam karena ajakan seorang teman.
Sebenarnya saya memiliki hobi menulis sejak Sekolah
Menengah Pertama dengan menulis diari. Di bangku Sekolah Menengah Atas
(SMA) saya sempat menulis beberapa cerita pendek. Saat bergabung di SMP,
saya menyerahkan tulisan-tulisan saya kepada mentor kami, bunda Dzikri
dan tulisan saya itu dikritik habis-habisan dan saya langsung down.
Ternyata saya masih butuh waktu untuk belajar menulis. Awalnya saya kira
menulis itu mudah, hanya tinggal menulis saja. Ternyata tidak. Namun
bersamaan dengan proses belajar saya di SMP wawasan pengetahuan saya
tentang menulis semakin banyak. Tulisan pertama di buku Cerita Dari
Timur saya lalui dengan susah payah, tetapi buku kedua, Mozaik Kata,
tidak banyak tantangan yang saya hadapi. (wawancara)
Menulis merupakan suatu proses belajar yang tidak pernah selesai.
Kritik, saran, masukan dan dorongan merupakan sebuah proses yang harus
dilalui setiap orang yang ingin terus belajar. Itulah sebabnya saya
selalu mencintai petuah orang-orang tua, “mencintai dengan cambuk.”
Sriyono, SS, peneliti Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan mempelesetkan istilah
cogito ergo sum (saya
berpikir maka saya ada) dari Descartes menjadi “saya menulis maka saya
ada” berusaha memotivasi para penulis muda untuk terus berkarya. Dalam
acara peluncuran buku yang dipandu oleh ibu Dzikry, Sriyono, SS
mengatakan:
Saya adalah orang yang menghormati proses. Dengan
dicetaknya buku ini saja saya sudah merasa luar biasa, sehingga saya
tidak mau memberikan penilaian terhadap isi buku. Bicara tentang mozaik
adalah bicara tentang fragmen-fragmen atau menempelkan beberapa keping
menjadi satu gambaran. Saya membaca buku mozaik kata, ibarat saya
membaca kepingan-kepingan semangat wajah-wajah suara lokal. Suatu
keinginan yang direalisasikan dalam format yang nyata berupa buku.
Mozaik esay, puisi dan cerita pendek. Pertama mozaik puisi. Mulai dari
pak Jhon Waromi. Ia adalah sastrawan besar di tanah Papua yang belum
mendapatkan apresiasi di tanahnya sendiri. Dari karya-karya beliau saya
membaca sebuah kesunyian. Dari kesepiannya, ia melahirkan sebuah karya
yang sifatnya katarsis (penyucian diri). Makanya ia bisa berbicara
tentang berbagai tema yang berhubungan dengan tema-tema sosial.
Sementara Siti Nurhidayati, dengan kehalusan jiwa perempuannya ia
berusaha membangun puisi dengan suasana keperempuanan. Itu terasa sekali
dalam puisinya yang ia beri judul, Jalan Satu, Jalan Dua, Jiwa Satu,
Jiwa Dua. Kedua, mozaik cerita pendek dari Igir Alkatiri. Beliau
berdarah campuran Papua dan non Papua. Beliau menuliskan sebuah cerita
konflik batin yang biasa menghinggapi orang-orang berdarah campuran.
Sebuah konflik personal yang banyak kita jumpai difenomena keseharian
kita. Ketiga, rana Essay. Dari Andi Takihuma yang menuturkan tetang
sejarah sastra di tanah Papua yang dimulai dari kedatangan dua
misionaris Ottow dan Geisler. Dan bagaimana mereka berkontribusi dalam
pembuatan buku-buku sebagai edukasi dalam pewartaan Injil. Ini merupakan
tonggak awal sastra di Papua. Sebagai seorang jurnalis ia sadar akan
perincian data. Sehingga data-datanya sangat penting untuk
penelitian-penelitian selanjutnya. Begitu pula dengan tulisan pak Ponto
Yelipele dari Pegunungan Tengah. Beliau menyinggung kronologi tentang
kehidupan sosial budaya orang Pegunungan Tengah. Sehingga akan adanya
pemahaman komprehensif lintas bahasa. Karena pemahaman yang baik antara
lintas suku akan mengakibatkan komunikasi yang efektif sehingga
mengurangi akses adanya kerusuhan yang bersifat SARA. Terakhir, tulisan
Kleopas Sondegau yang menceritakan tentang mitos Peabega orang Migani.
Ketika mitos itu diyakini sebagai kebenaran, maka akan berubah menjadi
ideologi. Dan ketika itu menjadi sebuah ideologi maka dampaknya sangat
besar dalam komunitas. Mitos Peabega mampu membantu para misionaris
dalam menyebarkan agama Nasrani. Kita tidak pernah menyangka bahwa
cerita-cerita yang berakar dari karya lokal sedemikian besar pengaruhnya
terhadap keberlangsungan orang-orang di Tanah Papua.
Berpikir merupakan konsep abstrak yang tidak bisa menunjukan
eksistensi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Kecuali ide
tersebut dituangkan lewat penuturan lisan atau tulisan. Budaya suku-suku
di Papua menekankan pada penuturan lisan. Dan oleh para misionaris
diarsipkan dalam bentuk tulisan-tulisan. Tidak semua tradisi lisan dapat
dikonsumsi oleh publik. Ada yang bersifat rahasia karena menyangkut
keberlangsungan eksistensi masyarakat penganutnya. Itulah sebabnya
setiap peneliti mesti ‘hati-hati’ dalam ‘membukukan’ cerita-cerita
tersebut.
Dr. Wigati Yektiningtyas-Modow, dosen Program Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Cenderawasih mengatakan bahwa:
Sastra Papua berawal dari folklor. Jadi berawal dari
budaya lisan, bukan budaya tulis. Kebetulan saya adalah seorang
folkloris, sehingga berbicara tentang folklor tentunya ada beberapa tipe
seperti cerita rakyat yang didalamnya ada mite, saga, fabel, legenda.
Ada juga puisi lisan, peribahasa, pepatah dan lain sebagainya. Dalam
perkembangan selanjutnya, hal-hal yang bersifat lisan kemudian ditulis.
Perkembangannya periode lisan ke tulisan dapat dibaca dalam tulisan Andi
Takihuma. Secara pribadi saya merasa bangga bahwa generasi-generasi
saat ini berusaha mengumpulkan kembali kepingan-kepingan baik yang sudah
ditulis, maupun yang belum ditulis untuk ditulis. Dan bagi saya, semua
orang berhak menulis dan mengumpulkan cerita-cerita tersebut. Namun kita
mesti hati-hati karena banyak aturan dalam menulis folklor. Siapa yang
bisa menulis dan siapa yang tidak bisa. Dalam hal ini butuh kerendahan
hati kita untuk bertanya kepada informan yang tepat. Karena ada folklor
dan ada fakelor. Ada cerita yang asli dan ada cerita yang palsu, cerita
yang dibuat-buat.
Semua orang berhak menuangkan ide atau menceritakan realitas sosial
dalam bentuk tulisan. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” sebuah kalimat
Ali Bin Abi Thalib yang sempat saya baca di dinding dekat anak-anak
tangga menuju lantai dua tempat kegiatan berlangsung. Menulis adalah
proses mencatat apa yang kita ketahui. Menulis adalah proses merekam apa
yang kita alami. Menulis adalah proses meditasi apa yang kita rasakan.
Dengan demikian, kita akan membuat proses menulis sebagai sesuatu yang
mengasyikkan karena ia lahir dari interaksi sosial dan akan menjadi
sebuah bacaan yang menyegarkan dan menghibur.
Keke Okoka, seorang ibu rumah tangga yang juga menyumbang cerita pendek dalam buku Mozaik Kata mengatakan kepada saya;
Saya biasa menulis pengalaman-pengalaman pribadi. Setelah
saya menunjukan kepada bunda Dzikry ternyata bisa dimuat dalam buku
Mozaik Kata. Tulisan saya tentang KDRT dengan judul “Ketika Hilang
Impian Lama Ciptakan Impian Baru.”
Igir Alkatiri, seorang pegiat sastra yang menyumbangkan puisi dan
cerita pendek dalam buku Mozaik Kata, pada sesi diskusi berbagi
pengalaman tentang tulisannya. Katanya;
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman yang suka
berdemo, mengangkat spanduk dan ketika berbenturan dengan arogansi
aparat mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi kalau saya pribadi, saya
akan mengambil pena dari jiwa saya, dan saya akan menulis. Saya akan
membakar revolusi, perubahan dengan cara saya sendiri lewat sastra.
Mama saya dari Papua dan bapak saya dari Ternate. Sejak tahun 2005
saya menulis novel dan puisi, tetapi belum pernah menulis cerita pendek.
Baru kali ini saya menulis cerita pendek. Judulnya, “Rahimku Penjara
Air Mata.” Saya menulis tentang mama saya, karena ketika orang bertemu
dengan saya, mereka selalu bertanya, kau orang mana? Mereka selalu
mengatakan saya orang ‘pendatang’. Karena Papua selalu menggunakan
sistem patrilinear. Tetapi mereka tidak pernah menyadari bahwa sembilan
bulan saya berada dalam rahim seorang perempuan Papua. Dan tidak seorang
pun yang mampu membantahnya.
Pentingnya menulis juga dikatakan oleh Ummu Lestari, seorang penggiat sastra:
Pertama saya diminta untuk menyumbangkan tulisan dalam
buku ini, terus terang saya kaget. Karena selama ini saya menulis saja
tanpa peduli siapa yang mau baca dan bagaimana nanti hasil tulisan
tersebut. Tetapi ketika saya dimintai menyumbangkan tulisan dalam buku
ini, saya menganggapnya sebagai bentuk apresiasi atas kerja saya selama
ini. Dan saya jadi sadar bahwa saya tidak bekerja sendiri. Ketika saya
diminta bersama bang Andi menulis jejak-jejak sastra di Papua saya
sangat tertarik. Karena saya pikir, saya dengan bang Andi dua generasi
yang berbeda. Dalam proses belajar kami, saya boleh mengatakan dia
adalah guru saya juga. Karena selama dalam perjalanan, beliau banyak
mengumpulkan literatur-literatur dalam bahasa Belanda. Dan kami sepakat
dia menulis perkembangan periode sejarah dari lisan ke tulis. Kemudian
saya lanjutkan dalam periode Taweraut yaitu mulai tahun 2000-an. Ini
menunjukan suatu fariasi karya. Sebelumnya ditulis dalam bahasa daerah,
kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga bisa dibaca oleh semua
kalangan. Kemudian masuk dalam media sebagai suatu karya yang berbentuk
cerita pendek. Selanjutnya tahun 2000-an berubah genre menjadi novel.
Hingga tahun 2015 novel yang saya kumpulkan dan saya coba untuk evaluasi
sekitar 10. Yang terakhir, judulnya Rindu Terpisah di Raja Ampat yang
ditulis oleh E. Kejora. Belum saya masukan dalam tulisan di Mozaik Kata
karena dalam penyusunan tulisan saya, novelnya belum ada di tangan saya.
Tetapi sekarang dalam proses pembacaan.
Ketika ditanyai ibu Dzikry sebagai moderator, apakah novel-novel yang
dikumpulkannya ditulis oleh perempuan-perempuan Papua. Ummu mengatakan
bahwa:
Satu-satunya perempuan Papua yang saya tahu menulis
adalah Aprilia Wayar. Ia menulis dua novel, yakni mawar hitam Tanpa Akar
dan Dua Perempuan. Yang saya belum tahu saya belum bisa sebut.
Sekolah Menulis Papua sebagai komunitas independen berusaha
menerbitkan buku karya bersama minimal dua buku dalam setahun. Buku-buku
tersebut diharapkan dapat menjadi rekam jejak perkembangan literasi di
Papua, khususnya di kota Jayapura. Meski demikian menurut ibu Dzikry,
salah satu tantangan terbesar adalah merekrut teman-teman asli Papua
untuk turut bergabung dan belajar menulis bersama. Beberapa orang pernah
ikut diskusi reguler dua atau tiga kali pertemuan tetapi tidak bisa
konsisten. Mereka non aktif sebelum melahirkan satu tulisan pun bersama
SMP. Harapan kami, kelak akan lahir banyak penulis dari Papua yang akan
menceritakan pandangan dunia mereka dengan cara mereka sendiri.
sumber: http://www.atanelle.org/index.php/2015/10/29/mengikat-ilmu/