Rabu, 13 Juli 2016

Penulis Muda Papua dan Kisah tentang Cenderawasih

https://img.okezone.com/content/2015/12/11/65/1265657/penulis-muda-papua-dan-kisah-tentang-cenderawasih-RabyBQUowA.jpg

JAKARTA - Tahukah mengapa Papua disebut sebagai Bumi Cenderawasih? Alasannya, pulau di ujung timur Indonesia ini menjadi rumah satu-satunya bagi burung cantik, Cenderawasih.
Serupa merak, burung Cenderawasih amat rupawan dengan bulu berwarna-warni. Tidak heran, banyak orang memburu burung langka ini dan merangkai bulunya sebagai aksesoris.
Prihatin dengan kondisi tersebut, siswi kelas XII SMAN 1 Jayapura Elsina Puspitaningrum Salakay pun menuangkan kegelisahannya dalam sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul 'Senja Lemakui' yang artinya Senja Pelangi. Karya Elsina mengangkat kearifan lokal ikon Papua yang mulai punah tersebut.
"Banyak orang di daerah saya justru menggunakan burung tersebut demi kesenangan semata. Sementara beberapa misionaris datang ke Papua dan merelakan hidupnya untuk melindungi Cendrawasih," tutur Elsina di Kemdikbud, Jumat (11/12/2015).
Tidak disangka, Senja Lemakui mengantarkan Elsina menjadi juara pertama pada ajang Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI) 2015 kategori cipta cerpen. Putri bungsu dari empat bersaudara ini mengatakan, ide cerita tersebut muncul begitu saja selama proses perlombaan yang dihelat Kemdikbud itu. Pasalnya, Elsina sendiri baru mengetahui tema kearifan lokal baru-baru ini. Meski demikian, cerita yang dia buat diambil dari kisah nyata yang terjadi di daerahnya.
Elsina mengaku, punya hobi menulis sejak sekolah dasar (SD). Kala itu, dirinya sering menulis buku harian karena bukan termasuk anak yang terbuka dengan orang lain.
"Dengan menulis bisa menyampaikan perasaan lewat tulisan. Saya bukan orang yang terbuka dengan orang dan termasuk yang jarang bersosialisasi. Tapi, lewat tulisan saya bisa mencurahkan perasaan," terangnya.
Kendati tertutup, siswa jurusan IPA tersebut aktif di berbagai media sosial. Dia memiliki akun antara lain di Twitter, Facebook, dan Instagram. Bahkan, Elsina sering mengunggah video saat menyanyi di YouTube.
"Memang suka menyanyi, tapi kebanyakan lagu barat," ujar penyuka band The Script itu.
Dilahirkan dari keluarga yang rata-rata berkecimpung di bidang kesehatan membuat Elsina ingin menjadi seorang dokter. Dia berencana mengambil jurusan Kedokteran di Universitas Cendrawasih atau Universitas Dipenogoro (Undip).
"Meski cita-cita jadi dokter tapi akan terus menulis karena menulis kan hobi. Jadi dokter juga enggak melulu sama pasien, jadi masih bisa nulis," ucapnya.
Guna menyalurkan hobinya, Elsina juga bergabung di Sekolah Menulis Papua yang salah satunya diprakarsai oleh Balai Bahasa Provinsi Papua Barat. Pada Oktober lalu, dia juga sempat menjadi juara III lomba menulis di Papua Barat. Elsina mengaku, hadiah senilai Rp5 juta yang didapat dari ARKI 2015 akan ditabung untuk biaya kuliah.
"Orangtua saya tidak pernah menuntut anaknya harus dapat nilai berapa. Kami dilatih untuk belajar secara mandiri, walaupun tetap didampingi orangtua. Hadiah ini akan saya tabung untuk masa depan karena sebentar lagu mau lulus SMA," tukasnya. (ira)

Sumber:  http://news.okezone.com/read/2015/12/11/65/1265657/penulis-muda-papua-dan-kisah-tentang-cenderawasih

Mengikat Ilmu: Reportase Bedah Buku Mozaik Kata Merunut Jejak Sastra di Tanah Papua, Oktober 2015

MENGIKAT ILMU*
Oleh Atanelle



Sabtu, 24 Oktober, saya bersama seorang teman, Bernad Koten (BK) menghadiri acara Peluncuran dan Bedah Buku Cerita Dari Timur dan Mozaik Kata. Acara ini diselenggarakan oleh Sekolah Menulis Papua (SMP) di Balai Bahasa, Kampung Yoka, Jayapura. Kehadiran saya dengan BK adalah untuk melakukan dokumentasi audio visual kegiatan tersebut.
Sekolah Menulis Papua (SMP) sebagai penyelenggara kegiatan berdiri sejak 13 Januari 2014. Para pencetusnya adalah Burhanudin seorang fasilitator di bidang kesejahteraan sosial dan saat ini ‘menjabat’ sebagai “Kepala Sekolah” SMP. Dzikry el Han, seorang novelis. Salah satu novel yang ditulisnya adalah Cinta Putih di Bumi Papua. Dan Fatul Qorib, seorang jurnalis di Harian Cenderawasih Pos.
Menurut ibu Dzikry, sapaan akrab untuk penulis novel Cinta Putih di Bumi Papua;
Ide dasar lahirnya SMP karena kegelisahan kami terhadap kondisi literasi di Papua, khususnya di Jayapura. Kondisi literasi di Jayapura bisa dibilang berjarak cukup jauh dengan wilayah lain di Indonesia. Padahal di wilayah lain pun dapat di katakan, kondisi literasinya belum mencapai tahap yang diharapkan. Selain itu, SMP juga berupaya mewadahi generasi muda di Jayapura yang memiliki hobi menulis, tetapi belum menemukan lingkungan yang cocok untuk menumbuhkan kreativitas mereka. Oleh karena itu, SMP adalah sebuah komunitas menulis independen yang dibuka untuk siapa saja tanpa dipungut biaya. (dikutip dari buku cerita dari Timur tentang profil SMP)

Dalam perjalanan menuju usia dua tahun, SMP sudah melahirkan dua buah buku, yakni Cerita Dari Timur dan Mozaik Kata. Cerita Dari Timur adalah kumpulan Cerita Pendek (Cerpen) yang ditulis oleh siswi-siswi SMP dan para mentor, khususnya Dzikry el Han dan Fathul Qorib. Buku kedua, Mozaik Kata, adalah kumpulan Puisi, Cerpen dan essay yang juga ditulis oleh siswa-siswi SMP. Selain itu, ada penggiat sastra, wartawan, mahasiswa, ibu rumah tangga yang tidak tergabung dalam SMP, tetapi meluangkan waktu untuk menyumbangkan pikiran mereka lewat essay, puisi dan cerpen.
Menurut Siti Nurhidayati mahasiswi STAIN al-Fatah Jayapura, ia sudah bergabung dengan SMP sejak setahun silam karena ajakan seorang teman.
Sebenarnya saya memiliki hobi menulis sejak Sekolah Menengah Pertama dengan menulis diari. Di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) saya sempat menulis beberapa cerita pendek. Saat bergabung di SMP, saya menyerahkan tulisan-tulisan saya kepada mentor kami, bunda Dzikri dan tulisan saya itu dikritik habis-habisan dan saya langsung down. Ternyata saya masih butuh waktu untuk belajar menulis. Awalnya saya kira menulis itu mudah, hanya tinggal menulis saja. Ternyata tidak. Namun bersamaan dengan proses belajar saya di SMP wawasan pengetahuan saya tentang menulis semakin banyak. Tulisan pertama di buku Cerita Dari Timur saya lalui dengan susah payah, tetapi buku kedua, Mozaik Kata, tidak banyak tantangan yang saya hadapi. (wawancara)

Menulis merupakan suatu proses belajar yang tidak pernah selesai. Kritik, saran, masukan dan dorongan merupakan sebuah proses yang harus dilalui setiap orang yang ingin terus belajar. Itulah sebabnya saya selalu mencintai petuah orang-orang tua, “mencintai dengan cambuk.”
Sriyono, SS, peneliti Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan mempelesetkan istilah cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) dari Descartes menjadi “saya menulis maka saya ada” berusaha memotivasi para penulis muda untuk terus berkarya. Dalam acara peluncuran buku yang dipandu oleh ibu Dzikry, Sriyono, SS mengatakan:
Saya adalah orang yang menghormati proses. Dengan dicetaknya buku ini saja saya sudah merasa luar biasa, sehingga saya tidak mau memberikan penilaian terhadap isi buku. Bicara tentang mozaik adalah bicara tentang fragmen-fragmen atau menempelkan beberapa keping menjadi satu gambaran. Saya membaca buku mozaik kata, ibarat saya membaca kepingan-kepingan semangat wajah-wajah suara lokal. Suatu keinginan yang direalisasikan dalam format yang nyata berupa buku. Mozaik esay, puisi dan cerita pendek. Pertama mozaik puisi. Mulai dari pak Jhon Waromi. Ia adalah sastrawan besar di tanah Papua yang belum mendapatkan apresiasi di tanahnya sendiri. Dari karya-karya beliau saya membaca sebuah kesunyian. Dari kesepiannya, ia melahirkan sebuah karya yang sifatnya katarsis (penyucian diri). Makanya ia bisa berbicara tentang berbagai tema yang berhubungan dengan tema-tema sosial. Sementara Siti Nurhidayati, dengan kehalusan jiwa perempuannya ia berusaha membangun puisi dengan suasana keperempuanan. Itu terasa sekali dalam puisinya yang ia beri judul, Jalan Satu, Jalan Dua, Jiwa Satu, Jiwa Dua. Kedua, mozaik cerita pendek dari Igir Alkatiri. Beliau berdarah campuran Papua dan non Papua. Beliau menuliskan sebuah cerita konflik batin yang biasa menghinggapi orang-orang berdarah campuran. Sebuah konflik personal yang banyak kita jumpai difenomena keseharian kita. Ketiga, rana Essay. Dari Andi Takihuma yang menuturkan tetang sejarah sastra di tanah Papua yang dimulai dari kedatangan dua misionaris Ottow dan Geisler. Dan bagaimana mereka berkontribusi dalam pembuatan buku-buku sebagai edukasi dalam pewartaan Injil. Ini merupakan tonggak awal sastra di Papua. Sebagai seorang jurnalis ia sadar akan perincian data. Sehingga data-datanya sangat penting untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Begitu pula dengan tulisan pak Ponto Yelipele dari Pegunungan Tengah. Beliau menyinggung kronologi tentang kehidupan sosial budaya orang Pegunungan Tengah. Sehingga akan adanya pemahaman komprehensif lintas bahasa. Karena pemahaman yang baik antara lintas suku akan mengakibatkan komunikasi yang efektif sehingga mengurangi akses adanya kerusuhan yang bersifat SARA. Terakhir, tulisan Kleopas Sondegau yang menceritakan tentang mitos Peabega orang Migani. Ketika mitos itu diyakini sebagai kebenaran, maka akan berubah menjadi ideologi. Dan ketika itu menjadi sebuah ideologi maka dampaknya sangat besar dalam komunitas. Mitos Peabega mampu membantu para misionaris dalam menyebarkan agama Nasrani. Kita tidak pernah menyangka bahwa cerita-cerita yang berakar dari karya lokal sedemikian besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan orang-orang di Tanah Papua.

Berpikir merupakan konsep abstrak yang tidak bisa menunjukan eksistensi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Kecuali ide tersebut dituangkan lewat penuturan lisan atau tulisan. Budaya suku-suku di Papua menekankan pada penuturan lisan. Dan oleh para misionaris diarsipkan dalam bentuk tulisan-tulisan. Tidak semua tradisi lisan dapat dikonsumsi oleh publik. Ada yang bersifat rahasia karena menyangkut keberlangsungan eksistensi masyarakat penganutnya. Itulah sebabnya setiap peneliti mesti ‘hati-hati’ dalam ‘membukukan’ cerita-cerita tersebut.
Dr. Wigati Yektiningtyas-Modow, dosen Program Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Cenderawasih mengatakan bahwa:
Sastra Papua berawal dari folklor. Jadi berawal dari budaya lisan, bukan budaya tulis. Kebetulan saya adalah seorang folkloris, sehingga berbicara tentang folklor tentunya ada beberapa tipe seperti cerita rakyat yang didalamnya ada mite, saga, fabel, legenda. Ada juga puisi lisan, peribahasa, pepatah dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, hal-hal yang bersifat lisan kemudian ditulis. Perkembangannya periode lisan ke tulisan dapat dibaca dalam tulisan Andi Takihuma. Secara pribadi saya merasa bangga bahwa generasi-generasi saat ini berusaha mengumpulkan kembali kepingan-kepingan baik yang sudah ditulis, maupun yang belum ditulis untuk ditulis. Dan bagi saya, semua orang berhak menulis dan mengumpulkan cerita-cerita tersebut. Namun kita mesti hati-hati karena banyak aturan dalam menulis folklor. Siapa yang bisa menulis dan siapa yang tidak bisa. Dalam hal ini butuh kerendahan hati kita untuk bertanya kepada informan yang tepat. Karena ada folklor dan ada fakelor. Ada cerita yang asli dan ada cerita yang palsu, cerita yang dibuat-buat.

Semua orang berhak menuangkan ide atau menceritakan realitas sosial dalam bentuk tulisan. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” sebuah kalimat Ali Bin Abi Thalib yang sempat saya baca di dinding dekat anak-anak tangga menuju lantai dua tempat kegiatan berlangsung. Menulis adalah proses mencatat apa yang kita ketahui. Menulis adalah proses merekam apa yang kita alami. Menulis adalah proses meditasi apa yang kita rasakan. Dengan demikian, kita akan membuat proses menulis sebagai sesuatu yang mengasyikkan karena ia lahir dari interaksi sosial dan akan menjadi sebuah bacaan yang menyegarkan dan menghibur.

Keke Okoka, seorang ibu rumah tangga yang juga menyumbang cerita pendek dalam buku Mozaik Kata mengatakan kepada saya;
Saya biasa menulis pengalaman-pengalaman pribadi. Setelah saya menunjukan kepada bunda Dzikry ternyata bisa dimuat dalam buku Mozaik Kata. Tulisan saya tentang KDRT dengan judul “Ketika Hilang Impian Lama Ciptakan Impian Baru.”
Igir Alkatiri, seorang pegiat sastra yang menyumbangkan puisi dan cerita pendek dalam buku Mozaik Kata, pada sesi diskusi berbagi pengalaman tentang tulisannya. Katanya;
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman yang suka berdemo, mengangkat spanduk dan ketika berbenturan dengan arogansi aparat mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi kalau saya pribadi, saya akan mengambil pena dari jiwa saya, dan saya akan menulis. Saya akan membakar revolusi, perubahan dengan cara saya sendiri lewat sastra.
Mama saya dari Papua dan bapak saya dari Ternate. Sejak tahun 2005 saya menulis novel dan puisi, tetapi belum pernah menulis cerita pendek. Baru kali ini saya menulis cerita pendek. Judulnya, “Rahimku Penjara Air Mata.” Saya menulis tentang mama saya, karena ketika orang bertemu dengan saya, mereka selalu bertanya, kau orang mana? Mereka selalu mengatakan saya orang ‘pendatang’. Karena Papua selalu menggunakan sistem patrilinear. Tetapi mereka tidak pernah menyadari bahwa sembilan bulan saya berada dalam rahim seorang perempuan Papua. Dan tidak seorang pun yang mampu membantahnya.

Pentingnya menulis juga dikatakan oleh Ummu Lestari, seorang penggiat sastra:
Pertama saya diminta untuk menyumbangkan tulisan dalam buku ini, terus terang saya kaget. Karena selama ini saya menulis saja tanpa peduli siapa yang mau baca dan bagaimana nanti hasil tulisan tersebut. Tetapi ketika saya dimintai menyumbangkan tulisan dalam buku ini, saya menganggapnya sebagai bentuk apresiasi atas kerja saya selama ini. Dan saya jadi sadar bahwa saya tidak bekerja sendiri. Ketika saya diminta bersama bang Andi menulis jejak-jejak sastra di Papua saya sangat tertarik. Karena saya pikir, saya dengan bang Andi dua generasi yang berbeda. Dalam proses belajar kami, saya boleh mengatakan dia adalah guru saya juga. Karena selama dalam perjalanan, beliau banyak mengumpulkan literatur-literatur dalam bahasa Belanda. Dan kami sepakat dia menulis perkembangan periode sejarah dari lisan ke tulis. Kemudian saya lanjutkan dalam periode Taweraut yaitu mulai tahun 2000-an. Ini menunjukan suatu fariasi karya. Sebelumnya ditulis dalam bahasa daerah, kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga bisa dibaca oleh semua kalangan. Kemudian masuk dalam media sebagai suatu karya yang berbentuk cerita pendek. Selanjutnya tahun 2000-an berubah genre menjadi novel. Hingga tahun 2015 novel yang saya kumpulkan dan saya coba untuk evaluasi sekitar 10. Yang terakhir, judulnya Rindu Terpisah di Raja Ampat yang ditulis oleh E. Kejora. Belum saya masukan dalam tulisan di Mozaik Kata karena dalam penyusunan tulisan saya, novelnya belum ada di tangan saya. Tetapi sekarang dalam proses pembacaan.

Ketika ditanyai ibu Dzikry sebagai moderator, apakah novel-novel yang dikumpulkannya ditulis oleh perempuan-perempuan Papua. Ummu mengatakan bahwa:
Satu-satunya perempuan Papua yang saya tahu menulis adalah Aprilia Wayar. Ia menulis dua novel, yakni mawar hitam Tanpa Akar dan Dua Perempuan. Yang saya belum tahu saya belum bisa sebut.

Sekolah Menulis Papua sebagai komunitas independen berusaha menerbitkan buku karya bersama minimal dua buku dalam setahun. Buku-buku tersebut diharapkan dapat menjadi rekam jejak perkembangan literasi di Papua, khususnya di kota Jayapura. Meski demikian menurut ibu Dzikry, salah satu tantangan terbesar adalah merekrut teman-teman asli Papua untuk turut bergabung dan belajar menulis bersama. Beberapa orang pernah ikut diskusi reguler dua atau tiga kali pertemuan tetapi tidak bisa konsisten. Mereka non aktif sebelum melahirkan satu tulisan pun bersama SMP. Harapan kami, kelak akan lahir banyak penulis dari Papua yang akan menceritakan pandangan dunia mereka dengan cara mereka sendiri.

sumber: http://www.atanelle.org/index.php/2015/10/29/mengikat-ilmu/

Selasa, 12 Juli 2016

Puisi John Waromi: Anak Pertiwi



 Anak Pertiwi*
 Oleh: John Waromi


Ibu mencari nene pertiwi
Kemana ayah
Terhempas prahara
Jalur-jalur utara

Merindu jalan pulang
Dalam labirin kota
Terpana wajah diri
Ilusi kacamata
Terperangkap tali-tali
Bola-bola
Kata-kata
Tumpah darah

Mencangkul di sebrang
Ladang ganyangan hiro
Di rimba para penyamun
Ka-te-pe ibu bolong-bolong

Bangun mencari susu
di teras dusun
potret ibu hiasan paspor
Dalam oase gurun pasir

Sorak kentong bambu
Hardik nene halau perompak
Burung-burung
Riuh genset
Memompa tanah air
Udara penuh bayang-bayang

Dalam pentas bayang
Jumpa tete pertiwi
Tagih buah dada cucu
Jamu eyang  pertapa
Sama saling bagi mistik

Batuk berdehem
Batok bergeleng
Tatap berair
Terkurung kaca-kaca
Tembok-tembok pertiwi
Nyanyian tanah
Tak lagi tersanjung.

* Puisi ini telah dimuat dalam buku Mozaik Kata: Merunut Jejak Sastra di Tanah Papua, diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua, Oktober 2015.