Selasa, 12 Juli 2016

Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga (1)



Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga*
Oleh : Abdel Gamel Naser (Aktivis Forum Peduli Port Numbay Green)



HENING
Hening kebodohan memperlihatkan kecerdasan yang menjauh.
Bangkai-bangkai Cenderawasih menghiasi kepunahan di kepala manusia.
Masih adakah keangkuhan dari dekap kesadaran orang orang Papua yang tersisa ?
Ataukah kebodohan ini akan tetap terjaga lestari hingga kita menyadari betapa getirnya keprihatinan di bumi Papua ?
Igir Al, Qatiri

Secuil potongan puisi yang dilantunkan seorang penyair Papua, Igir Al Qatiri tentang kondisi burung Cenderawasih saat ini. Status terancam punah membuat pria nyentrik ini menorehkan buah pikirannya untuk mengingatkan Papua bahwa ada kebanggaan yang terancam hilang. Kebanggaan yang sewaktu-waktu hanya bisa disaksikan di TV maupun dalam bentuk mati dalam pigura kaca. Tak dipungkiri jika kita ditanya soal kebanggaan Papua maka satu persatu akan menepuk dada mengatakan bahwa burung Cenderawasih masih menjadi burung yang membanggakan.
Lihat saja beberapa nama lembaga, komunitas, perusahaan, bahkan nama gedung ataupun nama ruangan hotel yang melekatkan sebutan Cenderawasih. Tak hanya itu ornamen Papua yang tak hanya dalam bentuk pahatan batu pada tembok, kayu tetapi juga melekat pada kain baik untuk pakaian dinas maupun pakaian sekolah juga menonjolkan sosok burung yang pernah disebut burung tanpa kaki ini.
            Semua terlihat bangga dan ingin dianggap membumi. Namun dari semua kebanggaan di atas apa yang sudah dibuat orang-orang di Papua untuk pelestariannya?, apa yang sudah dibuat penegak hukum di Papua untuk konsekuensi hukumnya?, apa yang sudah dilakukan pejabat di Papua jika tak ada bentuk proteksi, pelestarian atau perlindungan bahkan penegakan hukum yang diterapkan. Bahkan pejabat sekalipun bisa disebut sebagai aktor di balik tak mulusnya pelestarian Burung Cenderawasih karena masih ada yang mempersempit kandang luas mereka di hutan menjadi kandang mungil di teras. 
            Bila hanya menyampaikan bentuk kepedulian tentu semua bisa menyatakan “kami peduli”, namun yang jadi pertanyaan, dalam bentuk apa?  Sementara populasinya kian terancam. Kepedulian yang bagaimana yang bisa dipakai untuk menyelamatkan satu kebanggaan tadi? “Kecerdasan yang menjauh, kepunahan di kepala manusia, adakah kesadaran yang tersisa dari getirnya keprihatinan di bumi Papua”. Potongan-potongan puisi di atas menunjukkan kegalauan seorang pemuda dan bentuk protes dengan gaya yang sedikit menohok.
            Sedikit mengulas beberapa sikap tak bijak yang terjadi terkait populasi yang semakin terancam. Penjemputan yang ramah di bandara, tarian penyambutan tamu hingga pengalungan bunga sejatinya merupakan bentuk penghormatan terhadap tamu besar yang datang ke Papua. Kiranya ini cukup untuk menunjukkan sebuah tanda hormat yang tak berlebihan. Namun belakangan ini kondisi tersebut dirasa belum cukup. Tamu penuh hormat ini juga diberikan penyematan mahkota Burung Cenderawasih. Sebuah mahkota yang sejatinya dalam adat di Papua memiliki kesakralan dan tidak laik dikenakan kepada sembarangan orang.
 Di Papua, mahkota ini hanya laik dikenakan oleh seorang pria sebagai bentuk ketokohan atau seorang pemimpin yang memiliki wibawa dan dihormati rakyatnya. Namun juga tak semua pria laik menggunakannya sebab dari pengakuan yang tak tertulis, hanya Ondoafi atau Ondofolo untuk daerah pesisir dan kepala suku untuk daerah pegununganlah yang boleh mengenakan Mahkota Cenderawasih. Namun yang terjadi saat ini, satu pejabat datang dari luar Papua kerap diberikan mahkota kebanggaan Papua.
 Padahal entah apa yang sudah diberikan untuk Papua. Kita juga tak tahu apakah pejabat tersebut adalah pejabat yang bersih atau justru sebaliknya, pelaku korupsi. Wajah “pelecehan” dan kekonyolan ini sering sekali ditunjukkan  oleh mereka yang mengaku sebagai panitia penjemputan. Ya, saya menganggap itu sebuah kekonyolan sebab mereka yang datang tak tahu apa makna dari mahkota kebesaran milik Ondoafi atau kepala suku tersebut. Mereka buta soal itu. Mereka juga tak meminta atau memesan itu sebelumnya. Bahkan tanpa disematkan mahkota Burung Cenderawasih mereka tetap tersenyum dan berharap kedatangan mereka diterima dengan baik.
 Dari ketidakpahaman ini seharusnya  kita yang di Papua bisa lebih bijak dalam memberikan sesuatu yang memiliki makna kesakralan tadi dengan tidak memberikan kepada setiap tamu besar yang datang atau ekstrimnya, melacurkan!  Beberapa tokoh adat (Ondoafi) termasuk kepada daerah, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan aktifis lingkungan serta pemerhati lingkungan yang saya tanyakan tentang ini mengutarakan hal yang sama, bahwa mahkota Cenderawasih sejatinya hanya layak digunakan oleh seorang Ondoafi. Jadi pendapat saya di atas tetap memiliki dasar.
 Aturan ini memang tak tertulis namun tersirat dalam bentuk pengakuan adat yang mengartikan bahwa Mahkota Cenderawasih memiliki filosofi yang mencerminkan sosok pemimpin yang diagungkan oleh masyarakatnya. Ini menjadi budaya yang tertanam secara turun temurun dan sangat jelas disebutkan bahwa siapa yang melupakan budayanya maka ia telah kehilangan jadi dirinya. Perlu kita sepakati bahwa ketika tiga pilar pembangunan, Pemerintah, Adat, Agama mulai mengenyampingkan adat dimana adat hanya hadir sebagai pemadam kebakaran, maka kita perlu menjunjung tinggi dan memberikan pengakuan mengenai kebanggaan seorang Ondoafi, yakni Mahkota Cenderawasih.
 Mungkin hanya itu yang bisa mereka banggakan. Menjadi raja di tengah masyarakatnya.  Yang terjadi saat ini bila saja dalam sebulan ada 10 pejabat penting  yang datang dan diberikan 10 mahkota Burung Cenderawasih yang artinya esoknya akan dilakukan perburuan Burung Cenderawasih lagi karena pesanan panitia penerima tamu. Sejatinya masih banyak benda etnik Papua yang mewakili bentuk kehormatan tadi. Noken yang telah diakui Uncesco sebagai warisan dunia kategori budaya tak benda.
 Mengapa bukan ini saja yang diberikan karena dengan sendirinya kita dan mama-mama perajut Noken akan ikut bangga dan senang karena buah tangannya dihargai dan dipakai oleh pejabat negara dan dampaknya temtu ada pendapatan ekonomi yang dimiliki. Mahkota Cenderawasih belakangan ini juga menjadi barang murah dan mudah diperoleh dan terkesan mulai dilecehkan oleh siapa saja, termasuk wanita yang konon “haram” menggunakan ini. Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Papua, Paskalis Netep pernah  menyampaikan bahwa  bila ada seorang wanita yang menggunakan ini dan ada masyarakat adat yang menggerutu melihat itu maka wanita yang menggunakannya bisa menjadi wanita murahan. Meski sulit diterima akal sehat paling tidak penyampaian ini terlontar dari bibir orang yang berkompeten. Tak hanya itu mahkota  raja ini juga kerap dipakai untuk komoditi politik yang tak ada kaitannya dengan adat maupun budaya di Papua hanya untuk mengantongi predikat “pengakuan”. Diakui sebagai anak adat maupun diakui sebagai  orang Papua.
 Para penari tradisional juga dengan begitu mudah menggunakan mahkota tersebut hanya untuk dianggap cantik, eksotik dan bangga dengan adat sendiri padahal jika dikaitkan dengan tatanan adat tentu secara tidak langsung telah melecehkan apa yang telah diatur oleh adat. Bahkan perempuan yang bukan orang asli Papua juga banyak yang menggunakan ini. Termasuk istri pejabat yang ikut-ikutan memamerkan ketidakpahaman mereka.(bersambung)

* Artikel ini telah didiskusikan dalam Kafe Sastra Sekolah Menulis Papua, 10 Juli 2016 di Grand Abe Hotel, Abepura Papua. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar