Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga*
Oleh : Abdel
Gamel Naser (Aktivis Forum Peduli Port Numbay Green)
HENING
Hening kebodohan memperlihatkan kecerdasan yang menjauh.
Bangkai-bangkai Cenderawasih menghiasi kepunahan di kepala
manusia.
Masih adakah keangkuhan dari dekap kesadaran orang orang Papua
yang tersisa ?
Ataukah kebodohan ini akan tetap terjaga lestari hingga kita
menyadari betapa getirnya keprihatinan di bumi Papua ?
Igir Al, Qatiri
Secuil
potongan puisi yang dilantunkan seorang penyair Papua, Igir Al Qatiri tentang
kondisi burung Cenderawasih saat ini. Status terancam punah membuat pria
nyentrik ini menorehkan buah pikirannya untuk mengingatkan Papua bahwa ada
kebanggaan yang terancam hilang. Kebanggaan yang sewaktu-waktu hanya bisa
disaksikan di TV maupun dalam bentuk mati dalam pigura kaca. Tak dipungkiri
jika kita ditanya soal kebanggaan Papua maka satu persatu akan menepuk dada
mengatakan bahwa burung Cenderawasih masih menjadi burung yang membanggakan.
Lihat
saja beberapa nama lembaga, komunitas, perusahaan, bahkan nama gedung ataupun
nama ruangan hotel yang melekatkan sebutan Cenderawasih. Tak hanya itu ornamen
Papua yang tak hanya dalam bentuk pahatan batu pada tembok, kayu tetapi juga
melekat pada kain baik untuk pakaian dinas maupun pakaian sekolah juga
menonjolkan sosok burung yang pernah disebut burung tanpa kaki ini.
Semua
terlihat bangga dan ingin dianggap membumi. Namun dari semua kebanggaan di atas
apa yang sudah dibuat orang-orang di Papua untuk pelestariannya?, apa yang
sudah dibuat penegak hukum di Papua untuk konsekuensi hukumnya?, apa yang sudah
dilakukan pejabat di Papua jika tak ada bentuk proteksi, pelestarian atau
perlindungan bahkan penegakan hukum yang diterapkan. Bahkan pejabat sekalipun
bisa disebut sebagai aktor di balik tak mulusnya pelestarian Burung
Cenderawasih karena masih ada yang mempersempit kandang luas mereka di hutan menjadi
kandang mungil di teras.
Bila
hanya menyampaikan bentuk kepedulian tentu semua bisa menyatakan “kami peduli”,
namun yang jadi pertanyaan, dalam bentuk apa?
Sementara populasinya kian terancam. Kepedulian yang bagaimana yang bisa
dipakai untuk menyelamatkan satu kebanggaan tadi? “Kecerdasan yang menjauh,
kepunahan di kepala manusia, adakah kesadaran yang tersisa dari getirnya
keprihatinan di bumi Papua”. Potongan-potongan puisi di atas menunjukkan kegalauan
seorang pemuda dan bentuk protes dengan gaya yang sedikit menohok.
Sedikit
mengulas beberapa sikap tak bijak yang terjadi terkait populasi yang semakin terancam.
Penjemputan yang ramah di bandara, tarian penyambutan tamu hingga pengalungan
bunga sejatinya merupakan bentuk penghormatan terhadap tamu besar yang datang
ke Papua. Kiranya ini cukup untuk menunjukkan sebuah tanda hormat yang tak
berlebihan. Namun belakangan ini kondisi tersebut dirasa belum cukup. Tamu penuh
hormat ini juga diberikan penyematan mahkota Burung Cenderawasih. Sebuah
mahkota yang sejatinya dalam adat di Papua memiliki kesakralan dan tidak laik
dikenakan kepada sembarangan orang.
Di Papua, mahkota ini hanya laik dikenakan
oleh seorang pria sebagai bentuk ketokohan atau seorang pemimpin yang memiliki
wibawa dan dihormati rakyatnya. Namun juga tak semua pria laik menggunakannya
sebab dari pengakuan yang tak tertulis, hanya Ondoafi atau Ondofolo untuk
daerah pesisir dan kepala suku untuk daerah pegununganlah yang boleh mengenakan
Mahkota Cenderawasih. Namun yang terjadi saat ini, satu pejabat datang dari
luar Papua kerap diberikan mahkota kebanggaan Papua.
Padahal entah apa yang sudah diberikan untuk
Papua. Kita juga tak tahu apakah pejabat tersebut adalah pejabat yang bersih
atau justru sebaliknya, pelaku korupsi. Wajah “pelecehan” dan kekonyolan ini
sering sekali ditunjukkan oleh mereka
yang mengaku sebagai panitia penjemputan. Ya, saya menganggap itu sebuah
kekonyolan sebab mereka yang datang tak tahu apa makna dari mahkota kebesaran
milik Ondoafi atau kepala suku tersebut. Mereka buta soal itu. Mereka juga tak
meminta atau memesan itu sebelumnya. Bahkan tanpa disematkan mahkota Burung
Cenderawasih mereka tetap tersenyum dan berharap kedatangan mereka diterima
dengan baik.
Dari ketidakpahaman ini seharusnya kita yang di Papua bisa lebih bijak dalam
memberikan sesuatu yang memiliki makna kesakralan tadi dengan tidak memberikan
kepada setiap tamu besar yang datang atau ekstrimnya, melacurkan! Beberapa tokoh adat (Ondoafi) termasuk kepada
daerah, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan aktifis lingkungan serta pemerhati
lingkungan yang saya tanyakan tentang ini mengutarakan hal yang sama, bahwa
mahkota Cenderawasih sejatinya hanya layak digunakan oleh seorang Ondoafi. Jadi
pendapat saya di atas tetap memiliki dasar.
Aturan ini memang tak tertulis namun tersirat
dalam bentuk pengakuan adat yang mengartikan bahwa Mahkota Cenderawasih memiliki
filosofi yang mencerminkan sosok pemimpin yang diagungkan oleh masyarakatnya.
Ini menjadi budaya yang tertanam secara turun temurun dan sangat jelas
disebutkan bahwa siapa yang melupakan budayanya maka ia telah kehilangan jadi
dirinya. Perlu kita sepakati bahwa ketika tiga pilar pembangunan, Pemerintah,
Adat, Agama mulai mengenyampingkan adat dimana adat hanya hadir sebagai pemadam
kebakaran, maka kita perlu menjunjung tinggi dan memberikan pengakuan mengenai
kebanggaan seorang Ondoafi, yakni Mahkota Cenderawasih.
Mungkin hanya itu yang bisa mereka banggakan.
Menjadi raja di tengah masyarakatnya. Yang
terjadi saat ini bila saja dalam sebulan ada 10 pejabat penting yang datang dan diberikan 10 mahkota Burung
Cenderawasih yang artinya esoknya akan dilakukan perburuan Burung Cenderawasih lagi
karena pesanan panitia penerima tamu. Sejatinya masih banyak benda etnik Papua
yang mewakili bentuk kehormatan tadi. Noken yang telah diakui Uncesco sebagai
warisan dunia kategori budaya tak benda.
Mengapa bukan ini saja yang diberikan karena
dengan sendirinya kita dan mama-mama perajut Noken akan ikut bangga dan senang
karena buah tangannya dihargai dan dipakai oleh pejabat negara dan dampaknya temtu
ada pendapatan ekonomi yang dimiliki. Mahkota Cenderawasih belakangan ini juga
menjadi barang murah dan mudah diperoleh dan terkesan mulai dilecehkan oleh
siapa saja, termasuk wanita yang konon “haram” menggunakan ini. Sekretaris
Lembaga Masyarakat Adat Papua, Paskalis Netep pernah menyampaikan bahwa bila ada seorang wanita yang menggunakan ini
dan ada masyarakat adat yang menggerutu melihat itu maka wanita yang
menggunakannya bisa menjadi wanita murahan. Meski sulit diterima akal sehat
paling tidak penyampaian ini terlontar dari bibir orang yang berkompeten. Tak
hanya itu mahkota raja ini juga kerap
dipakai untuk komoditi politik yang tak ada kaitannya dengan adat maupun budaya
di Papua hanya untuk mengantongi predikat “pengakuan”. Diakui sebagai anak adat
maupun diakui sebagai orang Papua.
Para penari tradisional juga dengan begitu
mudah menggunakan mahkota tersebut hanya untuk dianggap cantik, eksotik dan
bangga dengan adat sendiri padahal jika dikaitkan dengan tatanan adat tentu secara
tidak langsung telah melecehkan apa yang telah diatur oleh adat. Bahkan
perempuan yang bukan orang asli Papua juga banyak yang menggunakan ini.
Termasuk istri pejabat yang ikut-ikutan memamerkan ketidakpahaman mereka.(bersambung)
* Artikel ini telah didiskusikan dalam Kafe Sastra Sekolah Menulis Papua, 10 Juli 2016 di Grand Abe Hotel, Abepura Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar