Selasa, 12 Juli 2016

Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga (2)



Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga (2)*
Oleh : Abdel Gamel Naser (Aktivis FPPNG)

 

Saya membedah bahwa persoalan mengenai Burung Cenderawasih di Papua ada dua. Persoalan pertama menyangkut populasi yang terancam punah dan kedua mengenai pengakuan dalam tatanan adat.  Dua persoalan ini erat kaitannya dengan semakin terancamnya populasi Burung Cenderawasih. Terdapat 14 genus dengan 43 species Burung Cenderawasih dimana sebagian besar hidup di Papua. Kita hanya tahu jenis yang umum seperti Cenderawasih Kuning atau Paradisea Apoda, Cenderawasih Minor (Lesser Bird of Paradise) yang hanya bisa ditemukan di Papua Barat, Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus Magnificus) dan Cenderawasih 12 Antera (Seleucidis Melanolevca) padahal ada banyak jenis yang warna dan bentuknya sangat menakjubkan.   
 Soal populasi, ada dua hal yang menjadi biang masalah. Pertama perambahan hutan atau pembukaan lahan dan kedua aktifitas perburuan oleh masyarakat. Dari dua indikator ini, bentuk perambahan atau pembukaan lahan yang memberi dampak besar. Bayangkan saja setiap tahun ada 300.000 Ha hutan di Papua yang rusak yang artinya hilang juga tempat tinggal, tempat makan dan tempat bermain. Pembukaan lahan biasa identik dengan akan dibukanya satu lokasi pemukiman, gedung, jalan atau daerah baru.  
 Burung  Cenderawasih tidak bermain pada sembarang pohon, hanya pohon tertentu yang dipakai untuk bermain, memikat sang betina kemudian kawin dan berkembang. Nah bila semua tempat di atas hilang maka Cenderawasih akan terus berpindah mencari tempat yang menyediakan makanan.  Tak hanya itu, burung yang elok dalam lengkingan suaranya ini juga hanya bertelur 2 butir dan tak jarang hanya sebutir tiap tahunnya sehingga bisa dibayangkan tingkat kemungkinan hidupnya. Situasi tersebut mirip penyu yang menelurkan puluhan bahkan ratusan telur namun yang bisa bertahan hidup tak lebih dari 10 ekor.
 Ibarat manusia yang ditempatkan disebuah lokasi yang tak ada tempat untuk beristirahat dan untuk mencari makan maka lama kelamaan akan mati dengan sendirinya. Begitu juga dengan burung Cenderawasih dan beberapa jenis burung endemik lainnya yang telah berlabel dilindungi.  Untuk persoalan perambahan ini kembali pada penataan daerah atau  yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebelum dilakukan pembukaan lahan, pemerintah perlu meminta masukan atau kajian tak hanya dari akademisi antropolog mengenai kondisi daerah, namun juga harus melibatkan para tokoh adat mengenai kawasan yang memang dilindungi karena menjadi tempat berkembangbiak hewan dilindungi.
 Dari data tersebut paling tidak pembukaan lahan tidak harus mengorbankan daerah yang memang harus diproteksi. Toh pengalihfungsian lahan jika itu untuk daerah baru ataupun lokasi perumahan tetap perlu melekatkan 30 persen dari seluruh luasan daerah untuk daerah terbuka hijau. Hutan Papua wajib dijaga sebab kondisi hutan Sumatera dan Kalimantan kini tak sebaik hutan Papua, pembukaan lahan kelapa sawit dan lahan gambut memberi dampak kerusakan yang kini sulit diperbaiki dan membutuhkan dana yang tak sedikit untuk mengembalikan kondisinya. Artinya, selain Brazil, hutan Papua menjadi satu-satunya paru-paru dunia.
Masih terkait indikator yang mengancam populasi Burung Cenderawasih. Persoalan kedua dari masalah populasi adalah perburuan. Saat ini banyak masyarakat lokal yang tinggal di kampung yang masih bergantung pada hasil perburuan. Apapun hasil buruan yang bisa mendatangkan uang, pasti dilakukan. Nah pandangan ini yang tidak tepat sebab ada sejumlah hewan dilindungi yang tak boleh diburu dan ditembak termasuk untuk diperjualbelikan. Ini tertuang dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
 Undang-undang ini menyebutkan sanksi pidana 5 tahun dan denda Rp 100 juta bagi setiap orang yang tanpa ijin menangkap, mengambil, merusak, memusnahkan, membunuh, menyimpan, memiliki atau memelihara dan memperdagangkan dalam keadaan hidup ataupun mati.
 Undang-undang ini tak sekedar mengatur tentang Burung Cenderawasih tetapi juga Burung Kakak Tua Raja, Kus-kus, Burung Nuri Bayan, Burung Kakak Tua Jambul Kuning, Burung Mambruk, Burung kasuari, penyu sisik, Burung Nuri Kepala Hitam, Burung Rangkong Papua hingga pohon anggrek keriting  Papua. Kalaupun ingin memanfaatkan salah satu di atas wajib mengantongi ijin dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua. Namun yang terjadi, aturan tinggal aturan. Belum ada konsekwensi hukum yang tegas selain penyitaan hingga berujung pemidanaan.
 Alhasil masyarakat dengan leluasa memperjualbelikan secara  terbuka bahkan pejabat daerah yang seharusnya memberi contoh justru ikut menjadi pelaku karena ikut memelihara meski paham konsekwensinya. Begitu juga dengan aparat atau dinas terkait yang terkesan lemah dalam pengawasan maupun penindakan. Saya ingat ibu Menteri Siti Nurhaya Bakar sejatinya pernah mendorong isu ini dengan mempopulerkan #savejambulkuning atau upaya proteksi untuk burung kakak tua jambul kuning setelah terungkap puluhan burung kakak tua jambul kuning berhasil diselundupkan ke Jakarta.
 Seharusnya isu ini dikembangkan tak sebatas jambul kuning karena 14 April lalu di Surabaya juga diungkap penyelundupan Burung Cenderawasih berbagai jenis dalam keadaan mati. Ini menggambarkan lemahnya pengawasan dan perlu upaya lebih untuk memproteksi hewan yang hampir punah seperti kasuari, kakak tua raja, rangkong Papua dan kus-kus juga mengalami hal serupa. Sering sekali melihat postingan di jejaring sosial maupun dikirim oleh teman terkait bangkai-bangkai Burung Cenderawasih dengan bulu yang indah dijejer di lapak-lapak kaki lima dengan harga beragam. Ada yang di Polimak, di Pasar Sentani hingga terlihat menyolok di Bandara Sentani hingga Sarmi dengan harga mulai Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta.  Harga ini sama dengan harga Mahkota Cenderawasih yang dijual dengan cara pesanan khusus. Ya, mahkota raja kini berlabel harga. Terlalu murah untuk sebuah pengakuan adat. Jika  di Tidore, Ternate ada sorban dan potongan rambut Sultan Tidore yang terus memanjang dan hanya bisa dilihat di museum, apakah Mahkota Cenderawasih di Papua  tak bisa dibuat sama. Hanya bisa dilihat di rumah atau kediaman Ondoafi. Jadi siapapun yang ingin melihat mahkota kebesaran sang raja, harus mendatangi rumah Ondoafi sehingga dengan sendirinya pengakuan adat ini benar-benar memiliki keistimewaan karena tak bisa dilihat di pasar-pasar, di pelataran bandara, maupun dijual mirip pedagang asongan yang ditenteng kesana kemari. Mahkota raja hanya bisa dilihat dengan mendatangi rumah Ondoafi.
  Kembali menilik bunyi undang-undang nomor 5 tahun 1990 yang menyebutkan bahwa dilarang memperdagangkan dalam keadaan hidup ataupun mati. Bila tegas, tentunya ini wajib ditindak. Termasuk menelusuri keterlibatan oknum aparat yang diduga bertindak sebagai pemesan. Seorang sahabat dari Kabupaten Sarmi menceritakan bahwa masih banyak bentuk perburuan yang disponsori hanya dengan teh gula maupun minyak untuk masuk ke hutan, hasilnya akan dibeli. Perburuan ini sering dilakukan diam-diam dan akhirnya bisa bebas keluar dari Papua menggunakan kapal.
 Sekarang bayangkan bila dalam sehari ada 50-100 ekor burung Cenderawasih dan hewan dilindungi lainnya tertangkap maka beberapa tahun ke depan tentu akan punah. Kadang ada pembelaan diri dari mereka yang menangkap dan memelihara dimana dikatakan bahwa burung tersebut justru lebih senang tinggal di sangkar karena dipelihara dan diberi makanan yang enak dan tak perlu mencari makan lagi. Diberi susu, pisang, pepaya hingga dedaunan yang tak pernah dimakan. Pandangan ini tentu tidak tepat sebab Tuhan sudah menempatkan mereka untuk hidup di rumah mereka sendiri yakni hutan sesuai dengan habitatnya, bukan di sangkar.
 Begitu juga dengan jenis makanan yang diberikan yang sejatinya tak pernah diperoleh di hutan. Publik harus memahami jika saat ini posisi Burung Cenderawasih dan lainnya sedang terancam akibat perambahan hutan dan perburuan tadi. Yang tak kalah pentingnya adalah ketika habitat hilang atau terganggu maka keberadaan burung Cenderawasih juga akan hilang. Kalimatnya antara habitat dan populasi merupakan satu ikatan yang tak bisa dipisahkan. Hutan rusak, Cenderawasih hilang. Seorang tour guide lokal bernama Jamil dari Nimbokrang memberi saya cerita berharga. Ia mengatakan bila menemukan burung Taun-taun atau yang dikenal dengan burung Rangkong sendiri di hutan  maka hanya pernah menangkap atau membunuhnya, sebab burung ini selalu hidup berpasang-pasangan. Ia akan hidup dengan betinanya hingga mati sebab burung ini dikenal paling setia.
 Tugas sang jantan adalah mencari makan untuk sang betina yang menjaga  anaknya di dalam lubang pohon. Bila sang jantan ditangkap dan dibunuh, sama artinya jenis betina dan anak-anaknya akan kelaparan.  Jamil bersama rekannya Alex Waisimon kini menjaga satu spot eko tourism di Kampung Rhepang Muaif Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura. Dilokasi ini masih bisa ditemukan berbagai jenis burung Cenderawasih termasuk kakak tua Jambul Kuning karena ada kesepakatan sesama masyarakat kampung untuk tidak dilakukan perburuan.
 Sementara bila  menyimak cerita rakyat mengenai pengenaan Cenderawasih di kelapa disebutkan bahwa Cenderawasih suatu saat kelak memang akan menghiasi kepala-kepala penari dan bila dilihat kondisi saat ini memang sesuai dengan cerita rakyat tersebut dimana banyak penari yang menggunakan mahkota Cenderawasih. Yang bisa jika digarisbawahi adalah kondisi tersebut bisa dianggap layak bila populasinya masih stabil alias aman. Namun yang terjadi saat ini baik 50 atau 100 hektar tanah di Papua belum tentu bisa menyaksikan seekorpun sehingga tak lagi relevan untuk dipakai mengihasi kepala penari karena jumlahnya terus menurun. Bila tetap dipertahankan maka Cenderawasih semakin terancam.
 Dampak lain yang bisa mempengaruhi penilaian orang adalah bila ini terus dipakai oleh sembarang orang maka mereka yang tak paham soal filosofi adat maupun ancaman kepunahan bisa menganggap bahwa mahkota tersebut bisa dan layak dikenakan oleh siapa saja apalagi  kebanyakan orang bila sudah mengenakan mahkota biasanya akan meminta dipotret untuk diposting. Nah mereka yang melihat ini bisa saja menganggap bahwa suatu saat bila mereka di Papua ingin mencari mahkota Cenderawasih dan melakukan hal serupa. Solusi yang bisa dipakai dari kondisi ini adalah masing-masing kampung menanamkan komitmennya untuk menjadikan areal habitat burung Cenderawasih menjadi daerah yang steril dan dilarang dilakukan perburuan. Lokasi tersebut bisa juga dikemas menjadi eko tourism yang dikelola masyarakat  kampung setempat untuk mendapatkan income. Ini sejatinya sudah dilakukan oleh salah satu kelompok masyarakat di Puai Kabupaten Jayapura yang menolak dilakukan perburuan di lokasi Lapangan Katak karena menjadi rumah besar burung Cenderawasih dan hewan endemik lainnya. Ending dari komitmen tersebut adalah lahirnya peraturan kampung atau Perkam yang dijadikan landasan untuk menolak perburuan dan tetap menjaga habitatnya. Kalaupun akan menggunakan mahkota Cenderawasih maka buatlah yang imitasi. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ditantang untuk menjawab ini dan bukan sekedar membuat event yang wah namun tak banyak memberi dampak.   
 Saya pribadi memberi apresiasi atas sikap yang ditunjukkan Konsultan Pariwisata Papua, Jackeline Papodi Galatang dan duta wisata Papua, Ribka Yoku  yang berani keluar dari panitia penjemputan Presiden Jokowi April kemarin.  Keputusan ini diambil lantaran panitia penjemputan akan menyerahkan mahkota Cenderawasih kepada Presiden. Karena bertolak belakang dengan status sebagai duta wisata sehingga keduanya sepakat keluar. Begitu juga dengan kegiatan modeling di Swisbell Hotel beberapa hari lalu yang diputuskan untuk tak diikuti karena banyak yang akan menggunakan mahkota tersebut.
 Sudah saatnya menumbuhkan kesadaran dari tingkat terkecil yakni kampung. Bila masyarakat kampung sadar, Insya Allah keberadaan Cenderawasih akan terus ada dan bukan lagi sekedar disaksikan di dalam pigura kaca. Para pejabat daerah juga harus sadar bahwa ada contoh yang kurang tepat ditunjukkan selama ini. (*)

* Artikel ini telah didiskusikan dalam Kafe Sastra Sekolah Menulis Papua dengan tema "Sastra dan Lingkungan Hidup: Meretas Surga yang Hilang untuk Cenderawasih", tanggal 10 Juli 2016 di Grand Abe Hotel Abepura, Papua. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar