Mahkota Raja yang Kini Berlabel Harga (2)*
Oleh : Abdel
Gamel Naser (Aktivis FPPNG)
Saya membedah bahwa persoalan mengenai Burung
Cenderawasih di Papua ada dua. Persoalan
pertama menyangkut populasi yang terancam punah dan kedua mengenai pengakuan
dalam tatanan adat. Dua persoalan
ini erat kaitannya dengan semakin terancamnya populasi Burung Cenderawasih. Terdapat
14 genus dengan 43 species Burung Cenderawasih dimana sebagian besar hidup di
Papua. Kita hanya tahu jenis yang umum seperti Cenderawasih Kuning atau Paradisea Apoda, Cenderawasih Minor (Lesser Bird of Paradise) yang hanya bisa
ditemukan di Papua Barat, Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus Magnificus) dan Cenderawasih 12 Antera (Seleucidis Melanolevca) padahal ada
banyak jenis yang warna dan bentuknya sangat menakjubkan.
Soal populasi, ada dua hal yang menjadi biang
masalah. Pertama perambahan hutan atau pembukaan lahan dan kedua aktifitas
perburuan oleh masyarakat. Dari dua indikator ini, bentuk perambahan atau
pembukaan lahan yang memberi dampak besar. Bayangkan saja setiap tahun ada 300.000
Ha hutan di Papua yang rusak yang artinya hilang juga tempat tinggal, tempat
makan dan tempat bermain. Pembukaan lahan biasa identik dengan akan dibukanya
satu lokasi pemukiman, gedung, jalan atau daerah baru.
Burung Cenderawasih
tidak bermain pada sembarang pohon, hanya pohon tertentu yang dipakai untuk
bermain, memikat sang betina kemudian kawin dan berkembang. Nah bila semua
tempat di atas hilang maka Cenderawasih akan terus berpindah mencari tempat
yang menyediakan makanan. Tak hanya itu,
burung yang elok dalam lengkingan suaranya ini juga hanya bertelur 2 butir dan
tak jarang hanya sebutir tiap tahunnya sehingga bisa dibayangkan tingkat
kemungkinan hidupnya. Situasi tersebut mirip penyu yang menelurkan puluhan
bahkan ratusan telur namun yang bisa bertahan hidup tak lebih dari 10 ekor.
Ibarat manusia yang ditempatkan disebuah
lokasi yang tak ada tempat untuk beristirahat dan untuk mencari makan maka lama
kelamaan akan mati dengan sendirinya. Begitu juga dengan burung Cenderawasih
dan beberapa jenis burung endemik lainnya yang telah berlabel dilindungi. Untuk persoalan perambahan ini kembali pada penataan
daerah atau yang tertuang dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebelum dilakukan pembukaan lahan, pemerintah perlu
meminta masukan atau kajian tak hanya dari akademisi antropolog mengenai kondisi
daerah, namun juga harus melibatkan para tokoh adat mengenai kawasan yang
memang dilindungi karena menjadi tempat berkembangbiak hewan dilindungi.
Dari data tersebut paling tidak pembukaan
lahan tidak harus mengorbankan daerah yang memang harus diproteksi. Toh
pengalihfungsian lahan jika itu untuk daerah baru ataupun lokasi perumahan tetap
perlu melekatkan 30 persen dari seluruh luasan daerah untuk daerah terbuka
hijau. Hutan Papua wajib dijaga sebab kondisi hutan Sumatera dan Kalimantan
kini tak sebaik hutan Papua, pembukaan lahan kelapa sawit dan lahan gambut memberi
dampak kerusakan yang kini sulit diperbaiki dan membutuhkan dana yang tak
sedikit untuk mengembalikan kondisinya. Artinya, selain Brazil, hutan Papua menjadi
satu-satunya paru-paru dunia.
Masih
terkait indikator yang mengancam populasi Burung Cenderawasih. Persoalan kedua dari masalah populasi
adalah perburuan. Saat ini banyak masyarakat lokal yang tinggal di kampung yang
masih bergantung pada hasil perburuan. Apapun hasil buruan yang bisa
mendatangkan uang, pasti dilakukan. Nah pandangan ini yang tidak tepat sebab
ada sejumlah hewan dilindungi yang tak boleh diburu dan ditembak termasuk untuk
diperjualbelikan. Ini tertuang dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang ini menyebutkan sanksi pidana 5
tahun dan denda Rp 100 juta bagi setiap orang yang tanpa ijin menangkap,
mengambil, merusak, memusnahkan, membunuh, menyimpan, memiliki atau memelihara
dan memperdagangkan dalam keadaan hidup ataupun mati.
Undang-undang ini tak sekedar mengatur tentang
Burung Cenderawasih tetapi juga Burung Kakak Tua Raja, Kus-kus, Burung Nuri
Bayan, Burung Kakak Tua Jambul Kuning, Burung Mambruk, Burung kasuari, penyu
sisik, Burung Nuri Kepala Hitam, Burung Rangkong Papua hingga pohon anggrek
keriting Papua. Kalaupun ingin
memanfaatkan salah satu di atas wajib mengantongi ijin dari Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua. Namun yang terjadi, aturan tinggal
aturan. Belum ada konsekwensi hukum yang tegas selain penyitaan hingga berujung
pemidanaan.
Alhasil masyarakat dengan leluasa memperjualbelikan
secara terbuka bahkan pejabat daerah
yang seharusnya memberi contoh justru ikut menjadi pelaku karena ikut
memelihara meski paham konsekwensinya. Begitu juga dengan aparat atau dinas
terkait yang terkesan lemah dalam pengawasan maupun penindakan. Saya ingat ibu
Menteri Siti Nurhaya Bakar sejatinya pernah mendorong isu ini dengan
mempopulerkan #savejambulkuning atau
upaya proteksi untuk burung kakak tua jambul kuning setelah terungkap puluhan
burung kakak tua jambul kuning berhasil diselundupkan ke Jakarta.
Seharusnya isu ini dikembangkan tak sebatas
jambul kuning karena 14 April lalu di Surabaya juga diungkap penyelundupan
Burung Cenderawasih berbagai jenis dalam keadaan mati. Ini menggambarkan
lemahnya pengawasan dan perlu upaya lebih untuk memproteksi hewan yang hampir
punah seperti kasuari, kakak tua raja, rangkong Papua dan kus-kus juga
mengalami hal serupa. Sering sekali melihat postingan di jejaring sosial maupun
dikirim oleh teman terkait bangkai-bangkai Burung Cenderawasih dengan bulu yang
indah dijejer di lapak-lapak kaki lima dengan harga beragam. Ada yang di
Polimak, di Pasar Sentani hingga terlihat menyolok di Bandara Sentani hingga
Sarmi dengan harga mulai Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta. Harga ini sama dengan harga Mahkota Cenderawasih
yang dijual dengan cara pesanan khusus. Ya, mahkota raja kini berlabel harga.
Terlalu murah untuk sebuah pengakuan adat. Jika
di Tidore, Ternate ada sorban dan potongan rambut Sultan Tidore yang
terus memanjang dan hanya bisa dilihat di museum, apakah Mahkota Cenderawasih
di Papua tak bisa dibuat sama. Hanya
bisa dilihat di rumah atau kediaman Ondoafi. Jadi siapapun yang ingin melihat
mahkota kebesaran sang raja, harus mendatangi rumah Ondoafi sehingga dengan sendirinya
pengakuan adat ini benar-benar memiliki keistimewaan karena tak bisa dilihat di
pasar-pasar, di pelataran bandara, maupun dijual mirip pedagang asongan yang
ditenteng kesana kemari. Mahkota raja hanya bisa dilihat dengan mendatangi
rumah Ondoafi.
Kembali menilik bunyi undang-undang nomor 5
tahun 1990 yang menyebutkan bahwa dilarang memperdagangkan dalam keadaan hidup
ataupun mati. Bila tegas, tentunya ini wajib ditindak. Termasuk menelusuri
keterlibatan oknum aparat yang diduga bertindak sebagai pemesan. Seorang
sahabat dari Kabupaten Sarmi menceritakan bahwa masih banyak bentuk perburuan
yang disponsori hanya dengan teh gula maupun minyak untuk masuk ke hutan,
hasilnya akan dibeli. Perburuan ini sering dilakukan diam-diam dan akhirnya
bisa bebas keluar dari Papua menggunakan kapal.
Sekarang bayangkan bila dalam sehari ada
50-100 ekor burung Cenderawasih dan hewan dilindungi lainnya tertangkap maka
beberapa tahun ke depan tentu akan punah. Kadang ada pembelaan diri dari mereka
yang menangkap dan memelihara dimana dikatakan bahwa burung tersebut justru
lebih senang tinggal di sangkar karena dipelihara dan diberi makanan yang enak
dan tak perlu mencari makan lagi. Diberi susu, pisang, pepaya hingga dedaunan
yang tak pernah dimakan. Pandangan ini tentu tidak tepat sebab Tuhan sudah menempatkan
mereka untuk hidup di rumah mereka sendiri yakni hutan sesuai dengan
habitatnya, bukan di sangkar.
Begitu juga dengan jenis makanan yang
diberikan yang sejatinya tak pernah diperoleh di hutan. Publik harus memahami
jika saat ini posisi Burung Cenderawasih dan lainnya sedang terancam akibat
perambahan hutan dan perburuan tadi. Yang tak kalah pentingnya adalah ketika
habitat hilang atau terganggu maka keberadaan burung Cenderawasih juga akan
hilang. Kalimatnya antara habitat dan populasi merupakan satu ikatan yang tak
bisa dipisahkan. Hutan rusak, Cenderawasih hilang. Seorang tour guide lokal
bernama Jamil dari Nimbokrang memberi saya cerita berharga. Ia mengatakan bila
menemukan burung Taun-taun atau yang dikenal dengan burung Rangkong sendiri di
hutan maka hanya pernah menangkap atau
membunuhnya, sebab burung ini selalu hidup berpasang-pasangan. Ia akan hidup
dengan betinanya hingga mati sebab burung ini dikenal paling setia.
Tugas sang jantan adalah mencari makan untuk
sang betina yang menjaga anaknya di
dalam lubang pohon. Bila sang jantan ditangkap dan dibunuh, sama artinya jenis
betina dan anak-anaknya akan kelaparan.
Jamil bersama rekannya Alex Waisimon kini menjaga satu spot eko tourism
di Kampung Rhepang Muaif Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura. Dilokasi ini
masih bisa ditemukan berbagai jenis burung Cenderawasih termasuk kakak tua
Jambul Kuning karena ada kesepakatan sesama masyarakat kampung untuk tidak
dilakukan perburuan.
Sementara bila
menyimak cerita rakyat mengenai pengenaan Cenderawasih di kelapa disebutkan bahwa
Cenderawasih suatu saat
kelak memang akan menghiasi kepala-kepala penari dan bila dilihat kondisi saat ini
memang sesuai dengan cerita rakyat tersebut dimana banyak penari yang
menggunakan mahkota Cenderawasih. Yang bisa jika digarisbawahi adalah kondisi tersebut
bisa dianggap layak bila populasinya masih stabil alias aman. Namun
yang terjadi saat ini baik 50 atau 100 hektar tanah di Papua belum tentu bisa
menyaksikan seekorpun sehingga tak lagi relevan untuk dipakai mengihasi kepala
penari karena jumlahnya terus menurun. Bila tetap dipertahankan maka Cenderawasih semakin terancam.
Dampak lain yang bisa mempengaruhi
penilaian orang adalah bila ini terus dipakai oleh sembarang orang maka mereka yang tak
paham soal filosofi adat maupun ancaman kepunahan bisa menganggap bahwa mahkota
tersebut bisa dan layak dikenakan oleh siapa saja apalagi kebanyakan orang bila sudah mengenakan
mahkota biasanya akan meminta dipotret untuk diposting. Nah mereka yang melihat
ini bisa saja menganggap bahwa suatu saat bila mereka di Papua ingin mencari mahkota Cenderawasih
dan melakukan hal serupa. Solusi yang bisa dipakai dari kondisi ini adalah
masing-masing kampung menanamkan komitmennya untuk menjadikan areal habitat
burung Cenderawasih
menjadi daerah yang steril dan dilarang dilakukan perburuan. Lokasi tersebut
bisa juga dikemas menjadi eko tourism yang dikelola masyarakat kampung setempat untuk mendapatkan income.
Ini sejatinya sudah dilakukan oleh salah satu kelompok masyarakat di Puai Kabupaten Jayapura yang
menolak dilakukan perburuan di lokasi Lapangan Katak karena menjadi rumah besar
burung Cenderawasih dan hewan endemik lainnya. Ending dari komitmen tersebut adalah
lahirnya peraturan kampung atau Perkam yang dijadikan landasan untuk menolak
perburuan dan tetap menjaga habitatnya. Kalaupun akan menggunakan mahkota Cenderawasih maka buatlah
yang imitasi. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ditantang untuk menjawab ini
dan bukan sekedar membuat event yang wah namun tak banyak memberi dampak.
Saya
pribadi memberi apresiasi atas sikap yang ditunjukkan Konsultan Pariwisata
Papua, Jackeline
Papodi Galatang dan duta
wisata Papua, Ribka Yoku yang berani keluar dari panitia penjemputan
Presiden Jokowi April kemarin. Keputusan
ini diambil lantaran panitia penjemputan akan menyerahkan mahkota Cenderawasih
kepada Presiden. Karena bertolak belakang dengan status sebagai duta wisata sehingga keduanya sepakat
keluar. Begitu juga dengan kegiatan modeling di Swisbell Hotel beberapa hari
lalu yang diputuskan untuk tak diikuti karena banyak yang akan menggunakan
mahkota tersebut.
Sudah saatnya menumbuhkan kesadaran dari tingkat terkecil
yakni kampung. Bila masyarakat kampung sadar, Insya Allah keberadaan Cenderawasih akan terus ada dan bukan lagi
sekedar disaksikan di dalam pigura kaca. Para pejabat daerah juga harus sadar
bahwa ada contoh yang kurang tepat ditunjukkan selama ini. (*)
* Artikel ini telah didiskusikan dalam Kafe Sastra Sekolah Menulis Papua dengan tema "Sastra dan Lingkungan Hidup: Meretas Surga yang Hilang untuk Cenderawasih", tanggal 10 Juli 2016 di Grand Abe Hotel Abepura, Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar