Waro Itaar (2)
karya Gallant Cysta
Alarm
yang berasal dari handphoneku berdering, aku terbangun tiba-tiba. Suasana yang
dingin menandakan pukul tiga pagi. Kemalasan menyelimuti setiap langkahku.
Ingin rasanya bermimpi kembali menerawang jauh melihat kembali sosok wanita
itu, yang sangat mirip ibuku. Namun wajahnya lebih muda, dan terlihat seberkas
sinar cahaya yang menghiasi.
Aku
tak mengerti maksud mimpi itu. Aku mencoba beranjak mencari percikan air yang
dapat membunuh semua rasa kemalasan. Kutengadahkan kedua tangan merasakan
dinginnya aliran air, dan membiarkan udara pagi memeluk pori-pori kulit.
Usai
tahajud, aku mencoba menghafal surat-surat pendek dalam al Qur’an. Lepas
kesibukan yang biasa kulakukan setiap akan menjelang subuh, kusempatkan
mengulang kembali mata kuliah yang akan kupelajari esok hari.
Aku
teringat sepucuk surat yang diberikan Kang Taryo yang masih berada di dalam
tas. Aku belum sempat membacanya karena rasa lelah setelah bepergian bersama
Waro. Segera kuambil surat itu dan kubaca.
Kepada : Ifan bin Abdullah
Assalaumu`alaikum warahmatullahi wa
barakatuh
Bagaimana kabarmu, Nak? semoga Allah
senantiasa merahmati dan memberikan kemudahan dalam segala urusanmu. Entah dari
mana Bapak akan mulai agar engkau paham dan dapat menyikapi dengan baik apa
yang akan Bapak sampaikan.
Mungkin ini salah satu cobaan yang
Allah berikan kepada keluarga kita, tidak ada satupun hamba yang tahu rahasia
dari sebuah peristiwa yang terjadi. Kita semua di jagat raya ini pasti akan
mati karena dunia yang kita singgahi adalah fana. Ibumu telah usai menjalankan
kewajibannya di dunia. Ia telah kembali pada sang Pencipta.
Semua sanak saudara sudah berkumpul di
rumah, Ayah harap kamu bisa pulang walaupun tidak bisa melihat wajah ibumu yang
terakhir kalinya karena telah dimakamkan. Pulanglah jika ada waktu senggang
kuliahmu. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kakimu.
Wassalamu`alaikum warahmatullahi wa
barakatuh
Bapakmu, Abdullah
Tatapanku
kosong melihat setiap sudut ruangan, saraf-sarafku seakan sudah tidak bekerja
lagi. Aku merasa berada di suatu tempat yang asing. Kepalaku kembali
mengingat-ingat wajah ibu. Linangan air mataku jatuh bersama kenangan-kenangan
itu. Apakah aku sedang bermimpi? Apakah Kang Taryo salah memberikan surat ini?
Segala pertanyaan dan perasaan tak percaya mengalir bersama darah dalam
tubuhku.
Kutengok
keluar jendela, tepat di depan kamar Waro. Apakah yang dikatakan Waro kemarin
benar? Bagaimana mungkin rasa sayang Tuhan pada hamba-Nya yang taat diwujudkan
dalam bentuk cobaan? Bisikku pada angin yang berhembus. Kali ini seakan aku
ingin berontak pada-Nya.
Kuraih
handphone yang tergeletak di atas
kasur, kucoba menekan-nekan tombol di kontak mencari nomor handphone Waro. Setelah beberapa kali kutelepon tapi tak ada
jawaban dari seberang. Mungkin dia masih tidur.
Jam
dinding kamar menunjukkan pukul enam pagi. Setiap langkah berdetak, tak
henti-hentinya mulutku berkomat-kamit mengikuti hitungan waktunya, entah apa
yang kuucap. Kubolak-balikan tubuhku di atas pembaringan. Perasaanku gelisah,
kepalaku mulai berpikir keras bagaimana caranya bisa pulang. Tiba-tiba handphoneku berdering membuyarkan
ide-ide yang terlintas. Kutengok dari monitor handphone yang berkedip-kedip mamancarkan cahaya bertuliskan
Fis_Waro.
“Halo.
Selamat pagi, Fan. Ada apa?” suara Waro terdengar bersemangat pagi ini.
“Pagi
ini saya akan pulang ke Bonggo, dan sepertinya saya tidak kuliah beberapa hari
ini.”
“Pulang?
Kenapa? hari ini kan sudah aktif kuliah.”
“Ibuku meninggal, Ro.”
“Apa?
Kamu jangan bercanda, Fan!”
“Aku serius, Ro! Sebentar lagi aku berangkat.”
“Naik
apa ke sana?”
“Mungkin
bus kalau ada.”
“Saya
ikut ya, Fan. Nanti saya pinjamkan motor teman.”
“Tidak
usah, kamu kan harus kuliah.”
“Pokoknya
saya ikut!”
Waro
langsung menutup teleponnya. Dalam hitungan menit, ia telah siap dengan tas
ranselnya bersama motor. Dengan segera kami berangkat meninggalkan rumah. Cuaca
pagi ini cukup bersahabat, tidak panas dan tidak pula hujan. Setiap putaran
roda yang melintasi badan jalan, Waro tak henti-hentinya bertanya mengenai
keluargaku. Aku tidak habis pikir, kenapa dia lebih memilih ikut denganku
daripada kuliahnya?
Jarak tempuh antara Jayapura hingga ke Bonggo sekitar 100
km. Karena tidak
persiapan dengan jarak tersebut, di tengah perjalanan, motor kami melambat dan tidak lama berselang
motornya mati.
Sepanjang
jalan, sejauh mata memandang hanya terlihat aspal yang terbentang dengan
pohon-pohon yang berada di bibir jalan. Aku dan Waro bingung, motor yang kami
bawa kehabisan bensin. Aku lupa menempuh perjalanan ke Bonggo membutuhkan
bensin yang banyak dan seharusnya membawa cadangan bensin.
Kakiku
terus melangkah bolak-balik mencari tanda-tanda keberadaan manusia, namun tak
kudapati seorang pun. Deruan suara air terjun terdengar samar di telinga.
“Suara
air terjun dari mana itu, Fan?” tanya Waro penasaran.
“Aku
pun tak tahu pasti. Dulu teman-temanku pernah mengajakku ke air terjun itu.
Kata mereka tempatnya sedikit ngeri, jarang ada orang yang berkunjung. Mungkin
karena mereka tidak tahu. Katanya, di sana banyak bebatuan, airnya berwarna
biru, di sekelilingnya banyak pohon-pohon yang tumbuh dan banyak pula buahnya.
Siapa pun boleh mengambilnya, asal manjat sendiri.”
“Ke
sana yuk, Fan.”
“Kau
sendiri saja, aku lagi tidak ingin jalan.”
Waro
terduduk melongo meratapi motor yang mogok. Aku mencoba berteriak berulangkali
seperti berada di tengah hutan belantara, tapi tetap saja tidak ada yang
menjawab. Setelah lama meraung-raung aku pun ikut terduduk lemas bersama rerumputan
yang menari karena hembusan angin.
“Harus
berapa lama kita disini, Fan?” tanya Waro terlihat putus asa.
“Sampai
ada orang yang lewat.”
“Fan,
apa rasa cinta semua Tuhan pada hambanya selalu berupa cobaan? Seperti Tuhanmu
dan Tuhan yang disembah nenekku?”
Aku diam sesaat. Bagaimana mungkin ada banyak Tuhan di
dalam pikiran Waro? Itu aneh.
“Waktu
kecil, bapakku selalu mengajariku bersabar dan ikhlas setiapkali mendapat
musibah. Beliau bilang, Allah senantiasa memberikan cobaan untuk mengukur
ketaatan hamba-Nya,” kataku lemah.
“Lalu
bagaimana dengan mereka yang tidak taat? Apa mereka tidak diberi cobaan? Banyak
mereka yang tidak taat, hidupnya fine-fine
saja, Fan. Bahkan terlihat makmur.”
Setiap
kata yang terucap dari lisan Waro mengenai Tuhan seperti benar-benar ia ucapkan
dari hatinya yang paling dalam, hingga melekat di otakku dan mengalir bersama
aliran darah. Akal dan jiwaku mulai meronta tentang keberadaan Tuhan. Walaupun
sering kali aku menyanggah argumen Waro tentang Tuhan.
Apa iya Tuhan itu ada, Fan? bisikku dalam hati. Aku ingin hati
nuraniku yang menjawab. Namun tak kudapati pula jawabannya.
“Hahaha,
kau kenapa, Fan?” tawa Waro melepaskan ketegangan. “Kau tidak usah berfikir kalau saya akan
mengajakmu menjadi atheis. Karena seorang atheis sejati tidak akan membujuk
atau menyuruh mengikutinya. Atheis itu murni hasil pencarian. Bukan karena
keturunan.”
Suasana
hening sepersekian detik, lalu kulanjutkan ucapanku.
“Kau
tahu para pejabat yang kaya raya? Mereka juga diberi cobaan oleh Tuhan dengan harta yang berlimpah itu.”
“Bagaimana
bisa kekayaan adalah cobaan?”
“Tidak
semua cobaan Tuhan itu berupa hal-hal yang tidak enak, Ro. Tuhan memberikan
cobaan berupa harta agar mereka bisa bersyukur dan menggunakan harta itu untuk
kebaikan. Tetapi sekarang kebanyakan harta tersebut untuk maksiat. Harta dapat
mengantarkan kita menuju surga. Tapi bisa juga menjadi bara api neraka untuk
kita yang tidak pandai bersyukur. Cobaan yang tidak enak hanya semata-mata
untuk menguji hamba-Nya untuk ikhlas dan bersabar. Karena kehidupan itu fana,
Ro. Yang kekal hanyalah Tuhan.”
Aku
menghela napas panjang. Berharap Waro bisa memahami kesedihanku.
“Dulu,
sewaktu bapak saya masih hidup, dia juga selalu mengatakan hal yang sama
seperti bapakmu, Fan. Tapi ketika beranjak dewasa, saya mulai berpikir ilmiah
dan selalu bertanya tentang Tuhan. Kamu masih hafal sila pertama Pancasila?”
“Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
“Di
kalimat itu dan bhineka tunggal ika,
menurutmu mengapa ada banyak Tuhan? Jika semuanya adalah Tuhan yang sama, mengapa
aturan, tuntutan, dan tuntunannya berbeda-beda.”
Sejenak
Waro diam, aku masih belum dapat menjawab. Bibirku terbungkam seribu bahasa.
Waro pun melanjutkan kalimatnya.
“Tuhan
yang sebenarnya itu yang mana, Fan? Allah kah, Yesus, patung, ataukah Dewa?”
“Apa
jawaban saya penting untukmu, Ro?” tanyaku sedikit kesal membahas tentang Tuhan
pada situasi seperti ini. Waro diam menatapku.
“Ya,
Tuhan itu satu, tidak akan pernah menjadi dua, atau tiga, ataupun empat. Kau
pernah membayangkan jika Tuhan itu ada dua? Apa yang akan terjadi di dunia ini
jika Tuhan itu lebih dari satu?”
“Mungkin
dunia akan berantakan,” jawab Waro sembari tersenyum.
“Bukan
mungkin. Tapi sudah pasti dunia akan hancur jika Tuhan ada dua ataupun tiga. Islam, Kristen, Hindu, Budha hanyalah
sebuah nama, Ro. Dalam Islam tidak ada bentuk Tuhan. Semua itu hanya imajinasi
manusia saja tentang penggambaran Tuhan, sehingga melahirkan Tuhan yang baru.
Islam tidak seperti itu, Ro.”
Hening
sejenak.
“Islam
hanya percaya dan yakin bahwa Tuhan itu ada, karena mustahil ada dunia ini
kalau bukan Tuhan yang menciptakan. Sangat tidak mungkin jika seluruh jagat
raya ini diciptakan manusia. Kau lihat matahari yang hampir tenggelam itu, Ro?”
Waro
mengangguk pelan tanpa bersuara.
“Tidak
mungkin matahari itu ada dengan sendirinya, menciptakan dirinya sendiri. Tidak
mungkin juga manusia menciptakannya. Matahari itu hanya salah satu dari sekian
banyak tanda adanya Tuhan. Jadi Tuhan tidak untuk digambar, tetapi diyakini.
Akal kita tidak akan sanggup menggambarkan bentuk-Nya.”
Waro
mengerutkan dahi.
“Tuhan
saya Allah, yang tidak bisa digambar. Allah berbeda dengan makhluknya dan Allah
juga tidak dilahirkan atau melahirkan. Allah itu Esa, Ro.”
Hembusan
angin yang khas tempat ini sama segarnya dengan suasana kampung-kampung
lainnya. Terpaan sinar yang berada di ufuk barat membelai lembut setiap helai
rambut Waro, hingga membuat warna rambutnya berubah kemerahan membuat cantik
rupa gadis itu. Berjam-jam kami menunggu hingga senja tiba. Namun tak satupun
kendaraan yang melintas.
Kubaringkan
tubuhku di atas aspal yang tak panas lagi, telingaku dengan cepat menangkap
getaran suara. Dengan segera aku bangkit dan mencari asal suara. Dari kejauhan
terlihat motor yang melaju ke arah kami. Kulambaikan tangan beserta lompatan kecil
berharap mereka mau berhenti. Semoga mereka bisa membantu, pintaku dalam hati.
“Ro,
ada yang datang!” ucapku dengan penuh semangat.
Dengan
segera Waro bergegas bangkit. Dia pun ikut melambai-lambaikan tangannya meniru
gerakanku. Tak lama berselang, terlihat motor yang ditumpangi sepasang suami
istri berkulit hitam bersemakan rambut keriting berhenti tepat di hadapan kami.
“Ada
apa dengan motor kalian? Rusak kah?” tanya bapak tua yang mengendarai motor.
“Kami
mau ke Bonggo. Tapi motor kami mogok kehabisan bensin,” kataku.
Tanpa
pikir panjang, mama yang duduk dibelakang mengeluarkan botol aqua besar.
“Anak,
ini ada minyak sedikit, kalian bisa pakai. Di depan sana itu kalau ketemu
dengan penjual bensin beli lagi supaya bisa lanjut jalan ke Bonggo,” ucapnya
tulus.
“Terima
kasih, Mama.”
“Sama-sama,
Anak. Lain kali kalau perjalanan jauh bawa cadangan bensin lagi.”
***
Rembulan sedikit bersinar. Beberapa
bintang memaksa bersikap jantan, tapi sinarnya tetap saja seperti perawan.
Sementara angin menampakkan sikap berlainan; terkadang sepoi, terkadang
kencang. Aku berdiri mematung melihat sebongkah kuburan di pekarangan rumah.
Lututku serasa lemas, air mataku
mengalir, tetesannya terus jatuh di atas pekuburan. Waro seakan berada dalam
posisiku pula. Entah mengapa ia ikut menangis, mungkin ia teringat pada bapak
dan mamanya.
Tak
kusadari, ada sesuatu yang masuk dalam hatiku. Aku tak tahu apa itu. Aku
merasakan sesuatu yang ghaib, misterius, yang ilahiah tengah bersemayam di
palung hatiku. Kutatap wajah Waro yang terlihat sedih melihatku. Kurasakan
sesuatu yang beda dalam bahasa tubuhnya. Sorotan matanya kali ini seakan
berbisik bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing, seperti yang pernah ia
katakan dulu.
Kematian
ibu seakan mengajariku tentang makna hidup. Hidup ini bukan hanya untuk
dipikirkan, tapi dilakoni dengan jujur, sabar, dan tawakal. Seperti dalam salah
satu puisi Chairil Anwar ketika ditinggal neneknya: Keridlaanmu menerima segala tiba. Aku teringat pada salah satu
sabda Krisna yang melekat dalam otakku: “Siapa
yang tidak punya keyakinan, ia pasti akan hancur.”
Tuhan
masih sayang padaku, dan semoga Tuhan pun sayang pada Waro.
Hidup
mengelak dirumuskan secara ketat, hidup mengharap aku menerimanya tanpa
bertanya.
***