Victoria
Wakum
Ria Sari KA
“Tidak ada pesilat yang kuat
Victoria,” kata Pak Altaf, pelatihnya. “Yang ada hanyalah pesilat terlatih,
seperti kamu.”
Victoria masih berusaha
menenangkan perasaannya. Lawan-lawan di babak selanjutnya membuat Victoria
sedikit gentar.
“Pesilat yang terhebat itu tidak
cukup dengan hanya memiliki fisik yang kuat saja,” tegas pak Altaf. “Tanpa
latihan, kekuatan itu takkan berarti. Gunakan semua teknikmu, dan kau tidak
akan sulit mengalahkan lawanmu di bawah itu,” lanjut Pak Altaf sambil melihat
pesilat yang sedang bertanding di bawah area gelanggang.
“Entahlah, Pak. Fisiknya yang
kuat itu membuat saya gentar,” ujar Victoria sambil menutupkan tangannya pada
wajah.
“Tenanglah. Bapak yakin, berbekal
teknik dan praktik yang kamu jalani selama latihan lima bulan ini sudah cukup,”
ucap pak Altaf sambil menepuk pundak Victoria. “Yakinlah, latihan yang
kuberikan padamu pagi dan malam takkan sia-sia.”
Victoria masih diam.
”Jika tidak bisa percaya pada
dirimu, maka percayalah pada
Tuhanmu,” sambung pelatihnya yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Kata-kata terakhir pak Altaf
ditelan riuh suara penonton yang berada di tribun atas. Namun, membahas
mengenai kepercayaan sedikit membuat Victoria merasa tersindir sebagai umat
beragama yang asing.
Ini semi final. Victoria merasa bahwa
ini sebuah keberuntungan karena lawan sebelumnya didiskualifikasi masalah berat
badan yang naik. Victoria memang beruntung
karena tak perlu bersusah
payah bertanding namun dapat
lolos ke babak semi final. Namun di sisi lain, lawan yang dihadapi tentu lebih
kuat. Sebab, mereka berhasil
masuk ke babak final setelah meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan yang
lain.
“Pertandingan selanjutnya partai
ke-24 putri, dari kontingen Abepura, Victoria Wakum yang berada di sudut biru,
akan melawan kontingen Sarmi, Alfisyar Muamaroh yang menempati sudut kuning,
diharapkan segera bersiap-siap,” ujar juri berseragam kuning.
Persiapan dimulainya pertandingan
diawali dengan masuknya wasit dan
pembantu wasit, serta kedua pesilat ke gelanggang pertandingan secara
bersama-sama. Di sudut biru ditempati Victoria dan di sudut kuning ditempati
lawannya, Alfisyar Muamaroh.
Tatapan Victoria menjuru ke
seluruh area pertandingan. Jalannya perlahan-lahan, kaku bagaikan robot. Ia
maju tanpa ekspresi wajah yang mencolok.
Ketika terdengar aba-aba masuk,
Victoria dan lawannya menuju tengah arena, berdiri berjajar dengan wasit.
Mereka berjabatan tangan, kemudian kembali pada garis pesilat.
Pada aba-aba siap, mereka
melakukan salam tapak suci, tradisi yang
dilakukan sebelum memulai pertandingan antar pesilat. Victoria tak lagi
tampak kaku melakukan salam itu seperti awal dia latihan silat dulu. Dengan
lihai, kini salam dia lakukan penuh penghayatan serta menyiratkan makna pada
setiap gerakannya. Sehingga seolah dia terlihat sudah bertahun-tahun di
perguruan silat. Padahal Victoria bahkan belum masuk sebagai siswa dasar yang
merupakan tingkatan awal seorang siswa di perguruan pencak silat.
Pada aba-aba pasang, wasit
menyatakan pertandingan dimulai, disertai tanda gong dari pengatur waktu. Victoria dan
Alfisyar mulai dengan sikap awal, sikap pasang yang mengambil kaidah seni
memancing lawannya untuk menyerang.
Aba-aba mulai diulang oleh wasit.
Victoria memasang sikap awal. Sedangkan Alfisyar tampak mulai geram dengan
sikap Victoria yang selalu menghindar. Tanpa menunggu dan berputar-putar di
arena gelanggang lagi, Alfisyar langsung menyerang dengan pukulan ke arah body protector Victoria.
Dengan refleks, gadis berdarah
Serui itu menghindar dan langsung melayangkan tendangan dengan lintasan ke arah
rusuk kiri Alfisyar, dilanjut dengan pukulan katak kembar menyasar dada lawan.
Dengan pukulan itu, Alfisyar
langsung terhempas beberapa langkah ke belakang.Victoria mengakhiri serangan beruntun itu dengan tendangan harimau membuka jalan
dengan lurus menyasar dada.
Alfisyar benar-benar terhempas, jatuh ke lantai daerah dalam garis.
“Henti!” kata wasit mengakhiri
serangan dan memisahkan mereka.
Setelah bangun dari serangan
Victoria, Alfisyar kembali memasang sikap awal dan memperkokoh kuda-kudanya.
Serangan tak terduga yang Alfisyar dapatkan dari Victoria membuatnya lebih
hati-hati.
Wasit memulai kembali
pertandingan, kali ini Victoria lebih terlihat tenang. Ia bisa dengan mudah
fokus ke gerakan lawan. Ketika keduanya mendekat, Vitoria melakukan serangan
tangan katak kembar dan spontan dihindari lawannya dengan langkah segitiga ke
arah kiri.
Namun Victoria masih berlanjut
mengejar Alfisyar dengan tendangan ikan terbang yang menyasar ulu hati, tepat
mengenai body protector, disusul
pukulan katak. Alfisyar membalasnya dengan tendangan yang mengenai rusuk kiri
Victoria, disusul katak berkejaran yang mengenai body protector.
Victoria tetap maju. Rasa gentar
yang tadi membelenggu, sekarang sudah tak bersisa. Victoria mampu mengakhiri
pertandingan itu dengan guntingan yang berhasil merobohkan kuda-kuda Alfisyar.
Tangan Alfisyar menyentuh matras sambil menopang tubuhnya. Victoria pun
berhasil memperoleh poin
terbesar dalam serangan.
Seketika pertandingan dihentikan
wasit. Mereka dipisahkan. Pada saat wasit ingin memulai kembali pertandingan,
“Priiitttttttttttt...” juri menghentikan pertandingan yang sudah berlangsung
dua menit, yang terhitung satu ronde. Victoria dan Alfisyar pun dipisahkan.
Mereka menempati sudut masing-masing dengan jeda istirahat satu menit.
Alfisyar dari sudut kuning tampak
sulit mengatur pernafasannya yang tak beraturan. Sebaliknya, Victoria tampak
begitu tenang. Waktu istirahat pun habis ditandai dengan bunyi peluit. Victoria
dan Alfisyar dipersilahkan wasit untuk berdiri.
Sambil memperkokoh kuda-kudanya,
Victoria lagi-lagi mendekat sambil memancing lawannya untuk menyerang. Alfisyar
pun melayangkan pukulan sasaran ke arah dada Victoria diikuti tendangan harimau. Sigap
Victoria langsung menangkap pukulan itu dengan tangkisan dan melakukan serangan
jatuhan, sehingga Alfisyar jatuh dan wasit menghentikan pertandingan.
Ketika pertandingan dimulai
kembali, Victoria dan Alfisyar sangat cepat melangkah dan saling mendekatkan
diri menunggu serangan lawan. Victoria
melakukan serangan tangan, disusul serangan kaki yang melesat kencang mengenai body protector hingga bunyinya memantul
ke seluruh ruangan. Victoria mengakhiri serangannya dengan tendangan ikan
terbang menggoyang sirip, tepat mengenai body
protector.
Namun, kaki Victoria langsung
ditangkap Alfisyar yang ingin melakukan serangan jatuhan. Sayangnya, usaha
Alfisyar gagal karena pertahanan kuda-kuda Victoria.
Setelah wasit menghentikan
pertandingan, dan memulainya kembali, wajah Alfisyar tampak memerah seperti
tomat.
Kali ini, baik Victoria maupun
Alfisyar tampaknya lebih berhati-hati. Alfisyar berusaha keras membaca gerakan
yang akan dilakukan Victoria dengan langkah yang semakin mendekat. Ketika
keduanya saling dekat, Victoria memukul serangan tangan. Alfisyar membalas
dengan serangan kaki dan disusul pukulan tangan. Itu membuat Victoria terhempas
ke belakang.
Refleks, Victoria pun maju dengan
jurus harimau membuka jalan, lalu selangkah disusul harimau menutup jalan. Hal
itu membuat Alfisyar jatuh terseret hingga keluar garis. Belum juga sempat
Alfisyar berdiri, juri sudah menghentikan pertandingan karena waktu ronde kedua
telah usai.
Karena perolehan point ronde
pertama dimenangkan Victoria, serta ronde berikutnya pun sama, pertandingan
partai ke-24 putri babak semi final dimenangkan oleh Victoria. Kemenangannya
ini akan membawanya lanjut ke babak Final Kejuaraan Invitasi Silaturahim
se-Papua dan Papua Barat tahun 2015. Pertandingan akan berlangsung besok.
Seusai membuka body protector, Victoria mengambil air
kemasan yang disediakan untuknya dan berjalan ke arah kontingennya di tribun
atas gedung. Ketika berhadapan dengan Alfisyar, Victoria memberi senyum.
Sayangnya, Alfisyar malah membuang ludah dan mengenai lengan kiri Victoria.
Victoria mengernyit dan sejenak
melihat ludah yang menempel pada bajunya. “Hei! Apa maksudmu?” teriaknya pada
Alfisyar sambil berupaya menghentikannya.
“Woi! Kalau sudah kalah terimalah
dengan lapang!” teriak seseorang dari tribun kontingen Victoria yang
menyaksikan sikap Alfisyar.
Mendengar teriakan itu Alfisyar
berbalik ke arah Victoria, tersenyum miring, kemudian membuang wajah.
Victoria pun kembali berbalik dan
melanjutkan langkahnya menuju tribun kontingennya.
“Sikapnya tak seindah rupanya,”
bisik Victoria dengan perasaan kesal.
“Ke sinilah, Sahabat,” panggil
Siti, sahabat Victoria. “Tampaknya kau keturunan pendekar, ya?”
Victoria pun membalasnya dengan
senyuman dan memperhatikan lagi lengan bajunya yang terkena ludah.
“Sudahlah, dia hanya iri. Atau
mungkin tidak terima karena tingkatannya yang tinggi dapat terkalahkan olehmu,”
kata Siti dengan suara lirih.
“Iya. Saya mengerti. Saya ingin
pulang dulu mencuci seragam ini. Agar besok bisa dipakai untuk babak final,”
“Nah, kalau begitu kita pulang
bersama,” ucap Siti sambil mengajak Victoria bersamanya. Permintaan izin telah
disampaikan kepada pelatihnya. Setelah itu keduanya bergegas keluar gedung
olahraga yang mendadak terasa pengap.
Ketika berada di luar gedung,
seorang anak kecil menghampiri Victoria dan Siti. Anak kecil itu membawa surat
berwarna merah hati.
“Kak, ini ada titipan,” ujar anak kecil yang
memakai seragam merah seperti pesilat yang lain, mengulurkan sepucuk surat
kepada Victoria.
“Apa ini?” tanya Victoria heran.
“Dari siapa, Dik?” lanjutnya. Tapi anak yang menyampaikan surat itu sudah
berlari masuk ke dalam gedung.
“Idih, jadi penasaran. Siapa yang
menyimpan hati di dalam surat ini padamu?” ujar Siti menggoda Victoria.
“Entahlah, aku asing dengan
pengirimnya,” ucapnya sambil memasukkan sepucuk surat itu ke dalam tas.
“Kenapa tidak dibuka? Saya juga
penasaran dengan isinya.” ujar Siti lirih.
“Emm... Saya baca di gereja saja
sore nanti,” terang Victoria.
“Ya sudah. Ayo kita pulang, agar
kau dapat bersiap-siap,” ujar Siti.
Mereka lalu naik angkutan umum
menuju panti asuhan, tempat tinggal mereka di Abepura.
***
Sesampainya di halaman panti,
Victoria dan Siti menuju ke kamar masing-masing. Meskipun terlihat sangat
akrab, Siti dan Victoria tak tinggal satu kamar.
Victoria merasa sangat lelah dan
ingin langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Namun dalam situasi seperti
itu, Victoria kembali merenungi dirinya, seorang anak yatim piatu asal Serui.
Ia harus pindah dan menetap di panti asuhan Muhammadiyah Abepura sejak 7 bulan
yang lalu. Selama tinggal di panti, banyak perbedaan yang ia rasakan. Namun perbedaan-perbadaan itu tidak membuatnya kehilangan
semangat untuk mendapatkan pendidikan.
“Wah cantiknya,” kata Siti ketika
melihat Victoria berjalan menyeberangi halaman panti sore ini. Victoria tahu
bahwa Siti menyukai warna rambut dan matanya yang cokelat. “Kamu mau kemana?”
“Saya ke gereja sebentar.”
“Oh, baiklah. Hati-hati,” ucap
Siti yang langsung melanjutkan langkahnya ke masjid di area panti.
Gereja Advent yang biasa digunakan Victoria beribadah juga tak
jauh dari panti asuhan. Gereja itu berdekatan dengan mesjid Roudhotul Jannah.
Setelah selesai beribadah,
Victoria berjalan keluar ruangan dan duduk di bangku panjang di halaman gereja.
Diambilnya sepucuk surat yang tadi siang dia terima dari seorang anak kecil.
Pelan Victoria membacanya.
Untukmu
yang masih asing bagiku. Karenamu, aku jadi merasa akrab dengan yang asing. Aku
jadi teringat yang terlupakan. Aku jadi kehilangan pandanganku. Dari seluruh rinduku,
ingin kuberikan yang paling biru untukmu.
Berulang Victoria membacanya,
belum juga ia memahami maksudnya.
Namun ia seolah dituntun oleh ingatan akan sebuah kejadian beberapa hari lalu
di Terminal Kampkey, Abepura. Ia bertemu seorang pria asal Sorong, salah satu
atlet yang juga ikut dalam pertandingan.
Victoria sempat menolong pria
muda itu, yang saat itu tampak kebingungan. Ternyata memang dia tersesat
setelah jalan-jalan sendirian mengitari Abepura dan Jayapura. Ia kesulitan
menemukan basecampnya di mesjid At-Taqwa, Padang Bulan. Victoria pun mengantarkan
pria muda itu ke Padang Bulan yang berjarak cukup jauh dari terminal Kampkey.
Anehnya, mereka tidak menanyakan nama masing-masing.
Walau mencoba menahan senyuman,
tapi jelas terpancar kebahagiaan di hati Victoria setelah membaca surat dan
mengingat kejadian itu. Ia segera memasukkan surat itu ke dalam tas, dan
bergegas kembali ke panti.
Sesampainya di panti, Victoria
sengaja menemui Siti untuk berbincang-bincang.
“Lain kali jika ada pertandingan
se-Papua dan Papua Barat, saya akan ikut.” tutur Siti. “Aku juga ingin
merasakan dapat fight di area
gelanggang, didukung peserta dari kontingenku. Seperti kau,” lanjut Siti.
“O ya, Victoria. Bagaimana bisa
kau begitu cepat belajar silat? Sampai pak Altaf langsung menunjukmu sebagai
salah satu atlet yang terpilih.”
Victoria tersenyum. “Dulu,
sebelum saya dan Pak Altaf pindah ke sini, saya sering menonton Pak Altaf
melatih beberapa muridnya di lapangan depan saya punya rumah. Saat mereka latihan, masyarakat sekitar lingkungan kami
tertarik menontonnya. Karena sering melihat semua latihan itu, saya jadi suka,
tertarik mengikuti pencak silat. Karena saya suka, mungkin membuat saya mudah
belajar pencak silat,” terang Victoria.
“Pak Altaf sudah lama menjadi
tetanggamu?”
“Cukup lama. Sejak saya masih
kecil. Karena itu pula saya mau ikut dengan Pak Altaf tinggal di panti ini.
Saya masih ingin melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum. Pak Altaf
satu-satunya orang yang bersedia dan sanggup menolong saya.”
“Hmm, nasib kita sama, Victoria. Di
sinilah harapan masa depan saya. Setelah SMA, saya masih ingin kuliah.”
Lagi-lagi Victoria hanya
tersenyum menanggapi perkataan Siti.
“Aku ke mushola dulu, Victoria.
Sebentar lagi waktu isya tiba,” tukas Siti mengakhiri perbincangan mereka.
Victoria mengangguk, kemudian masuk
ke dalam kamarnya. Mendengarkan suara azan, kajian ke-Islam-an, dan semua
aktivitas di dalam panti ini bukan hal baru lagi baginya. Dalam semua aktivitas
itu juga melibatkan dirinya untuk membantu mengurus santri yang lain.
***
Hari ini babak final. Victoria
berkeliling halaman panti selama beberapa kali dengan berlari-lari kecil hingga
santri yang lain selesai sholat subuh dan tadarus.
“Wah rajinnya yang mau jadi
pendekar,” ujar Siti yang membawa mukenah sambil menggoda Victoria di halaman.
“Kemarilah, kita berlatih
sama-sama!” ajak Victoria.
“Baik, siapa takut. Aku simpan
mukenah dan Al-Qur’an dulu.”
Keduanya berlatih hingga cahaya
mentari mulai menerpa mereka.
Tak disadari oleh Siti dan Victoria,
pak Altaf sejak lima belas menit yang lalu mengawasi mereka dari pagar. Ketika mereka berdua akhirnya tahu, latihan berhenti.
“Mengapa berhenti? Lanjutkan,”
kata pak Altaf yang ingin terus menyaksikan gerakan Victoria.
Victoria pun menganggukkan
kepalanya, dan meneruskan latihannya bersama Siti.
“Jangan terlalu lama diam dan
menerka-nerka gerakan lawan, langsung saja serang tiap kali ada kesempatan,
Victoria!” teriak pak Altaf mengomentari gerakan Victoria.
Tiba-tiba telepon genggam Pak
Altaf berbunyi, dan Pak Altaf segera pergi meninggalkan Victoria dan Siti.
“Victoria, Pak Altaf sudah pergi!
Kita berhenti, yuk. Saya capek, nih.” ucap Siti dengan nafas yang tak
beraturan.
“O ya, atur nafasmu dulu. Angkat
kedua lenganmu ke atas agar paru-parumu terbuka, sehingga tidak sesak,” tutur
Victoria sambil mengatur nafas dan mencontohkan gerakannya pada Siti.
Sesudah mengatur nafas, keduanya
pun duduk sambil mengeringkan keringat menggunakan handuk. Kulit Victoria yang
terkena mentari pagi tampak keemasan. Setelah merasa sudah cukup Victoria dan
Siti kembali ke kamar dan melakukan tugas yang telah diagendakan bersama.
Selepas itu, Victoria pun mandi.
Ia lalu mengenakan seragam silat dan jilbab hitam yang telah dia cuci kemarin.
“Siti, cepatlah. Pak Altaf dan
teman-teman yang lain sudah siap berangkat,” ucap Victoria sambil berdiri di
depan pintu kamar Siti.
“Ok. Dua menit lagi.”
“Baik, saya tunggu kau bersama
yang lain di halaman.”
Victoria langsung menuju halaman
depan panti. Setelah Siti datang, semuanya naik mobil Pak Altaf dan berangkat
menuju gor. Sepanjang perjalanan
Victoria tampak begitu santai.
***
Di GOR sudah banyak
pesilat yang datang. Diantaranya dari Sarmi, Manokwari, Sorong, Merauke, Arso,
Jayapura, Abepura, Sentani, Koya Barat, dan Koya Timur. Mata Victoria mulai
menjuru kesemua sudut, mencari-cari lelaki yang memberinya sepucuk surat.
“Victoria, ayo kita masuk! Pintu gor sudah terbuka,” ucap Siti sambil
berteriak mengalahkan suara riuh peserta yang ada di sekitar. Victoria bersama
Siti segera menyisip-nyisipkan tubuh mereka di antara kerumunan orang.
Sebelum masuk tribun penonton,
Victoria terpana oleh selembar jadwal yang tertempel di depan pintu masuk gor.
“Kau akan main pukul 13.00 wit, Victoria. Banyak menonton
pertandingan dari berbagai kontingen tentu akan membuatmu banyak belajar mengenai
strategi,” ujar Siti meyakinkan Victoria.
Saat hendak menuju tribun
kontingennya, Victoria dipanggil Pak Altaf. Siti yang bagai buntut Victoria
selalu mengikutinya dari belakang.
“Tetaplah berada di tribun
menyaksikan pertandingan,” kata Pak Altaf. “Lawanmu lagi-lagi berasal dari
kontingen Sarmi. Setelah ini kamu makan dulu, tadi Vina mengantar nasi dari
panti untuk anak-anak kontingen kita.”
Victoria hanya mengangguk. Tapi
sejenak ia sempat meneliti wajah Pak Altaf yang khas Arabia, tampak kurang
sehat.
Setelah makan dan menunggu waktu
istirahat sholat usai, Victoria tetap duduk di bangku tribun kontingen sambil
menyandarkan kepalanya. Tiba-tiba seorang pria muda yang pernah dia temui di
Terminal Kampkey menghampirinya.
“Permisi, apa saya menganggu?”
tutur lelaki asing itu lirih. Suasana gedung yang tak berisikan banyak orang
membuat suara lelaki itu bergema.
“Iya.” ucap Victoria dengan
refleks, kaget sambil terbelalak melihat pria itu. Victoria tampak tegang dan
tingkahnya tiba-tiba tidak terkontrol.
“Kamu baik-baik saja?” tanya pria
itu. “Maaf, jika saya menganggu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih
karena kamu sudah mengantar saya pulang waktu itu. Perkenalkan, saya Raqif!”
ucapnya sembari menjulurkan tangannya ke arah Victoria.
“Victoria Wakum, tapi lebih akrab
dipanggil Victoria saja,” ucap Victoria yang langsung menjabat tangan Raqif.
“Sungguh aneh, bukankah kita
sudah berbincang-bincang sepanjang perjalan waktu itu. Tapi baru sekarang kita
berkenalan,” tutur Raqif.
“O ya, kau tampak lebih anggun
dengan jilbab yang kau kenakan. Saya sampai ragu. Khawatir bukan kamu. Maaf,
kau terlihat seperti seorang muslimah,” lanjut Raqif yang tersenyum dengan
sanjungan yang dia sampaikan.
Victoria berusaha menyembunyikan
perasaannya yang gugup dengan mengalihkan pandangan ke tempat lain.
“Kau sudah menerima suratku?”
“Ya,” jawab Victoria singkat. Ia
merasakan wajahnya menghangat, dan sesuatu yang asing menjalar di sekujur
tubuhnya. Victoria langsung menunduk. Sementara Raqif hanya tersenyum.
“Baiklah, aku akan sholat dulu.
Sampai jumpa,” ucap Raqif yang langsung beranjak dari tempat duduknya. Victoria
hanya membalas salam Raqif dengan senyuman.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar