Senin, 01 Agustus 2016

Cerpen: Victoria Wakum karya Ria Sari KA (1)

Victoria Wakum
Ria Sari KA

“Tidak ada pesilat yang kuat Victoria,” kata Pak Altaf, pelatihnya. “Yang ada hanyalah pesilat terlatih, seperti kamu.”
Victoria masih berusaha menenangkan perasaannya. Lawan-lawan di babak selanjutnya membuat Victoria sedikit gentar.
“Pesilat yang terhebat itu tidak cukup dengan hanya memiliki fisik yang kuat saja,” tegas pak Altaf. “Tanpa latihan, kekuatan itu takkan berarti. Gunakan semua teknikmu, dan kau tidak akan sulit mengalahkan lawanmu di bawah itu,” lanjut Pak Altaf sambil melihat pesilat yang sedang bertanding di bawah area gelanggang.
“Entahlah, Pak. Fisiknya yang kuat itu membuat saya gentar,” ujar Victoria sambil menutupkan tangannya pada wajah.
“Tenanglah. Bapak yakin, berbekal teknik dan praktik yang kamu jalani selama latihan lima bulan ini sudah cukup,” ucap pak Altaf sambil menepuk pundak Victoria. “Yakinlah, latihan yang kuberikan padamu pagi dan malam takkan sia-sia.”
Victoria masih diam.
”Jika tidak bisa percaya pada dirimu, maka percayalah pada Tuhanmu,” sambung pelatihnya yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Kata-kata terakhir pak Altaf ditelan riuh suara penonton yang berada di tribun atas. Namun, membahas mengenai kepercayaan sedikit membuat Victoria merasa tersindir sebagai umat beragama yang asing.
Ini semi final. Victoria merasa bahwa ini sebuah keberuntungan karena lawan sebelumnya didiskualifikasi masalah berat badan yang naik. Victoria memang beruntung karena tak perlu bersusah payah bertanding namun dapat lolos ke babak semi final. Namun di sisi lain, lawan yang dihadapi tentu lebih kuat. Sebab, mereka berhasil masuk ke babak final setelah meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan yang lain.
“Pertandingan selanjutnya partai ke-24 putri, dari kontingen Abepura, Victoria Wakum yang berada di sudut biru, akan melawan kontingen Sarmi, Alfisyar Muamaroh yang menempati sudut kuning, diharapkan segera bersiap-siap,” ujar juri berseragam kuning.
Persiapan dimulainya pertandingan diawali dengan masuknya wasit dan  pembantu wasit, serta kedua pesilat ke gelanggang pertandingan secara bersama-sama. Di sudut biru ditempati Victoria dan di sudut kuning ditempati lawannya, Alfisyar Muamaroh.
Tatapan Victoria menjuru ke seluruh area pertandingan. Jalannya perlahan-lahan, kaku bagaikan robot. Ia maju tanpa ekspresi wajah yang mencolok.
Ketika terdengar aba-aba masuk, Victoria dan lawannya menuju tengah arena, berdiri berjajar dengan wasit. Mereka berjabatan tangan, kemudian kembali pada garis pesilat.
Pada aba-aba siap, mereka melakukan salam tapak suci, tradisi yang  dilakukan sebelum memulai pertandingan antar pesilat. Victoria tak lagi tampak kaku melakukan salam itu seperti awal dia latihan silat dulu. Dengan lihai, kini salam dia lakukan penuh penghayatan serta menyiratkan makna pada setiap gerakannya. Sehingga seolah dia terlihat sudah bertahun-tahun di perguruan silat. Padahal Victoria bahkan belum masuk sebagai siswa dasar yang merupakan tingkatan awal seorang siswa di perguruan pencak silat.
Pada aba-aba pasang, wasit menyatakan pertandingan dimulai, disertai tanda gong dari pengatur waktu. Victoria dan Alfisyar mulai dengan sikap awal, sikap pasang yang mengambil kaidah seni memancing lawannya untuk menyerang.
Aba-aba mulai diulang oleh wasit. Victoria memasang sikap awal. Sedangkan Alfisyar tampak mulai geram dengan sikap Victoria yang selalu menghindar. Tanpa menunggu dan berputar-putar di arena gelanggang lagi, Alfisyar langsung menyerang dengan pukulan ke arah body protector Victoria.
Dengan refleks, gadis berdarah Serui itu menghindar dan langsung melayangkan tendangan dengan lintasan ke arah rusuk kiri Alfisyar, dilanjut dengan pukulan katak kembar menyasar dada lawan.
Dengan pukulan itu, Alfisyar langsung terhempas beberapa langkah ke belakang.Victoria mengakhiri serangan beruntun itu dengan tendangan harimau membuka jalan dengan lurus menyasar dada. Alfisyar benar-benar terhempas, jatuh ke lantai daerah dalam garis.
“Henti!” kata wasit mengakhiri serangan dan memisahkan mereka.
Setelah bangun dari serangan Victoria, Alfisyar kembali memasang sikap awal dan memperkokoh kuda-kudanya. Serangan tak terduga yang Alfisyar dapatkan dari Victoria membuatnya lebih hati-hati.
Wasit memulai kembali pertandingan, kali ini Victoria lebih terlihat tenang. Ia bisa dengan mudah fokus ke gerakan lawan. Ketika keduanya mendekat, Vitoria melakukan serangan tangan katak kembar dan spontan dihindari lawannya dengan langkah segitiga ke arah kiri.
Namun Victoria masih berlanjut mengejar Alfisyar dengan tendangan ikan terbang yang menyasar ulu hati, tepat mengenai body protector, disusul pukulan katak. Alfisyar membalasnya dengan tendangan yang mengenai rusuk kiri Victoria, disusul katak berkejaran yang mengenai body protector.
Victoria tetap maju. Rasa gentar yang tadi membelenggu, sekarang sudah tak bersisa. Victoria mampu mengakhiri pertandingan itu dengan guntingan yang berhasil merobohkan kuda-kuda Alfisyar. Tangan Alfisyar menyentuh matras sambil menopang tubuhnya. Victoria pun berhasil memperoleh poin terbesar dalam serangan.
Seketika pertandingan dihentikan wasit. Mereka dipisahkan. Pada saat wasit ingin memulai kembali pertandingan, “Priiitttttttttttt...” juri menghentikan pertandingan yang sudah berlangsung dua menit, yang terhitung satu ronde. Victoria dan Alfisyar pun dipisahkan. Mereka menempati sudut masing-masing dengan jeda istirahat satu menit.
Alfisyar dari sudut kuning tampak sulit mengatur pernafasannya yang tak beraturan. Sebaliknya, Victoria tampak begitu tenang. Waktu istirahat pun habis ditandai dengan bunyi peluit. Victoria dan Alfisyar dipersilahkan wasit untuk berdiri.
Sambil memperkokoh kuda-kudanya, Victoria lagi-lagi mendekat sambil memancing lawannya untuk menyerang. Alfisyar pun melayangkan pukulan sasaran ke arah dada Victoria diikuti tendangan harimau. Sigap Victoria langsung menangkap pukulan itu dengan tangkisan dan melakukan serangan jatuhan, sehingga Alfisyar jatuh dan wasit menghentikan pertandingan.
Ketika pertandingan dimulai kembali, Victoria dan Alfisyar sangat cepat melangkah dan saling mendekatkan diri  menunggu serangan lawan. Victoria melakukan serangan tangan, disusul serangan kaki yang melesat kencang mengenai body protector hingga bunyinya memantul ke seluruh ruangan. Victoria mengakhiri serangannya dengan tendangan ikan terbang menggoyang sirip, tepat mengenai body protector.
Namun, kaki Victoria langsung ditangkap Alfisyar yang ingin melakukan serangan jatuhan. Sayangnya, usaha Alfisyar gagal karena pertahanan kuda-kuda Victoria.
Setelah wasit menghentikan pertandingan, dan memulainya kembali, wajah Alfisyar tampak memerah seperti tomat.
Kali ini, baik Victoria maupun Alfisyar tampaknya lebih berhati-hati. Alfisyar berusaha keras membaca gerakan yang akan dilakukan Victoria dengan langkah yang semakin mendekat. Ketika keduanya saling dekat, Victoria memukul serangan tangan. Alfisyar membalas dengan serangan kaki dan disusul pukulan tangan. Itu membuat Victoria terhempas ke belakang.
Refleks, Victoria pun maju dengan jurus harimau membuka jalan, lalu selangkah disusul harimau menutup jalan. Hal itu membuat Alfisyar jatuh terseret hingga keluar garis. Belum juga sempat Alfisyar berdiri, juri sudah menghentikan pertandingan karena waktu ronde kedua telah usai.
Karena perolehan point ronde pertama dimenangkan Victoria, serta ronde berikutnya pun sama, pertandingan partai ke-24 putri babak semi final dimenangkan oleh Victoria. Kemenangannya ini akan membawanya lanjut ke babak Final Kejuaraan Invitasi Silaturahim se-Papua dan Papua Barat tahun 2015. Pertandingan akan berlangsung besok.
Seusai membuka body protector, Victoria mengambil air kemasan yang disediakan untuknya dan berjalan ke arah kontingennya di tribun atas gedung. Ketika berhadapan dengan Alfisyar, Victoria memberi senyum. Sayangnya, Alfisyar malah membuang ludah dan mengenai lengan kiri Victoria.
Victoria mengernyit dan sejenak melihat ludah yang menempel pada bajunya. “Hei! Apa maksudmu?” teriaknya pada Alfisyar sambil berupaya menghentikannya.
“Woi! Kalau sudah kalah terimalah dengan lapang!” teriak seseorang dari tribun kontingen Victoria yang menyaksikan sikap Alfisyar.
Mendengar teriakan itu Alfisyar berbalik ke arah Victoria, tersenyum miring, kemudian membuang wajah.
Victoria pun kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju tribun kontingennya.
“Sikapnya tak seindah rupanya,” bisik Victoria dengan perasaan kesal.
“Ke sinilah, Sahabat,” panggil Siti, sahabat Victoria. “Tampaknya kau keturunan pendekar, ya?”
Victoria pun membalasnya dengan senyuman dan memperhatikan lagi lengan bajunya yang terkena ludah.
“Sudahlah, dia hanya iri. Atau mungkin tidak terima karena tingkatannya yang tinggi dapat terkalahkan olehmu,” kata Siti dengan suara lirih.
“Iya. Saya mengerti. Saya ingin pulang dulu mencuci seragam ini. Agar besok bisa dipakai untuk babak final,”
“Nah, kalau begitu kita pulang bersama,” ucap Siti sambil mengajak Victoria bersamanya. Permintaan izin telah disampaikan kepada pelatihnya. Setelah itu keduanya bergegas keluar gedung olahraga yang mendadak terasa pengap.
Ketika berada di luar gedung, seorang anak kecil menghampiri Victoria dan Siti. Anak kecil itu membawa surat berwarna merah hati.
 “Kak, ini ada titipan,” ujar anak kecil yang memakai seragam merah seperti pesilat yang lain, mengulurkan sepucuk surat kepada Victoria.
“Apa ini?” tanya Victoria heran. “Dari siapa, Dik?” lanjutnya. Tapi anak yang menyampaikan surat itu sudah berlari masuk ke dalam gedung.
“Idih, jadi penasaran. Siapa yang menyimpan hati di dalam surat ini padamu?” ujar Siti menggoda Victoria.
“Entahlah, aku asing dengan pengirimnya,” ucapnya sambil memasukkan sepucuk surat itu ke dalam tas.
“Kenapa tidak dibuka? Saya juga penasaran dengan isinya.” ujar Siti lirih.
“Emm... Saya baca di gereja saja sore nanti,” terang Victoria.
“Ya sudah. Ayo kita pulang, agar kau dapat bersiap-siap,” ujar Siti.
Mereka lalu naik angkutan umum menuju panti asuhan, tempat tinggal mereka di Abepura.
***
Sesampainya di halaman panti, Victoria dan Siti menuju ke kamar masing-masing. Meskipun terlihat sangat akrab, Siti dan Victoria tak tinggal satu kamar.
Victoria merasa sangat lelah dan ingin langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Namun dalam situasi seperti itu, Victoria kembali merenungi dirinya, seorang anak yatim piatu asal Serui. Ia harus pindah dan menetap di panti asuhan Muhammadiyah Abepura sejak 7 bulan yang lalu. Selama tinggal di panti, banyak perbedaan yang ia rasakan. Namun perbedaan-perbadaan itu tidak membuatnya kehilangan semangat untuk mendapatkan pendidikan.
“Wah cantiknya,” kata Siti ketika melihat Victoria berjalan menyeberangi halaman panti sore ini. Victoria tahu bahwa Siti menyukai warna rambut dan matanya yang cokelat. “Kamu mau kemana?”
“Saya ke gereja sebentar.”
“Oh, baiklah. Hati-hati,” ucap Siti yang langsung melanjutkan langkahnya ke masjid di area panti.
Gereja Advent yang biasa digunakan Victoria beribadah juga tak jauh dari panti asuhan. Gereja itu berdekatan dengan mesjid Roudhotul Jannah.
Setelah selesai beribadah, Victoria berjalan keluar ruangan dan duduk di bangku panjang di halaman gereja. Diambilnya sepucuk surat yang tadi siang dia terima dari seorang anak kecil. Pelan Victoria membacanya.

Untukmu yang masih asing bagiku. Karenamu, aku jadi merasa akrab dengan yang asing. Aku jadi teringat yang terlupakan. Aku jadi kehilangan pandanganku. Dari seluruh rinduku, ingin kuberikan yang paling biru untukmu.

Berulang Victoria membacanya, belum juga ia memahami maksudnya. Namun ia seolah dituntun oleh ingatan akan sebuah kejadian beberapa hari lalu di Terminal Kampkey, Abepura. Ia bertemu seorang pria asal Sorong, salah satu atlet yang juga ikut dalam pertandingan.
Victoria sempat menolong pria muda itu, yang saat itu tampak kebingungan. Ternyata memang dia tersesat setelah jalan-jalan sendirian mengitari Abepura dan Jayapura. Ia kesulitan menemukan basecampnya di mesjid At-Taqwa, Padang Bulan. Victoria pun mengantarkan pria muda itu ke Padang Bulan yang berjarak cukup jauh dari terminal Kampkey. Anehnya, mereka tidak menanyakan nama masing-masing.
Walau mencoba menahan senyuman, tapi jelas terpancar kebahagiaan di hati Victoria setelah membaca surat dan mengingat kejadian itu. Ia segera memasukkan surat itu ke dalam tas, dan bergegas kembali ke panti.
Sesampainya di panti, Victoria sengaja menemui Siti untuk berbincang-bincang.
“Lain kali jika ada pertandingan se-Papua dan Papua Barat, saya akan ikut.” tutur Siti. “Aku juga ingin merasakan dapat fight di area gelanggang, didukung peserta dari kontingenku. Seperti kau,” lanjut Siti.
“O ya, Victoria. Bagaimana bisa kau begitu cepat belajar silat? Sampai pak Altaf langsung menunjukmu sebagai salah satu atlet yang terpilih.”
Victoria tersenyum. “Dulu, sebelum saya dan Pak Altaf pindah ke sini, saya sering menonton Pak Altaf melatih beberapa muridnya di lapangan depan saya punya rumah. Saat mereka  latihan, masyarakat sekitar lingkungan kami tertarik menontonnya. Karena sering melihat semua latihan itu, saya jadi suka, tertarik mengikuti pencak silat. Karena saya suka, mungkin membuat saya mudah belajar pencak silat,” terang Victoria.
“Pak Altaf sudah lama menjadi tetanggamu?”
“Cukup lama. Sejak saya masih kecil. Karena itu pula saya mau ikut dengan Pak Altaf tinggal di panti ini. Saya masih ingin melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum. Pak Altaf satu-satunya orang yang bersedia dan sanggup menolong saya.”
“Hmm, nasib kita sama, Victoria. Di sinilah harapan masa depan saya. Setelah SMA, saya masih ingin kuliah.”
Lagi-lagi Victoria hanya tersenyum menanggapi perkataan Siti.
“Aku ke mushola dulu, Victoria. Sebentar lagi waktu isya tiba,” tukas Siti mengakhiri perbincangan mereka.
Victoria mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Mendengarkan suara azan, kajian ke-Islam-an, dan semua aktivitas di dalam panti ini bukan hal baru lagi baginya. Dalam semua aktivitas itu juga melibatkan dirinya untuk membantu mengurus santri yang lain.
***
Hari ini babak final. Victoria berkeliling halaman panti selama beberapa kali dengan berlari-lari kecil hingga santri yang lain selesai sholat subuh dan tadarus.
“Wah rajinnya yang mau jadi pendekar,” ujar Siti yang membawa mukenah sambil menggoda Victoria di halaman.
“Kemarilah, kita berlatih sama-sama!” ajak Victoria.
“Baik, siapa takut. Aku simpan mukenah dan Al-Qur’an dulu.”
Keduanya berlatih hingga cahaya mentari mulai menerpa mereka.
Tak disadari oleh Siti dan Victoria, pak Altaf sejak lima belas menit yang lalu mengawasi mereka dari pagar. Ketika mereka berdua akhirnya tahu, latihan berhenti.
“Mengapa berhenti? Lanjutkan,” kata pak Altaf yang ingin terus menyaksikan gerakan Victoria.
Victoria pun menganggukkan kepalanya, dan meneruskan latihannya bersama Siti.
“Jangan terlalu lama diam dan menerka-nerka gerakan lawan, langsung saja serang tiap kali ada kesempatan, Victoria!” teriak pak Altaf mengomentari gerakan Victoria.
Tiba-tiba telepon genggam Pak Altaf berbunyi, dan Pak Altaf segera pergi meninggalkan Victoria dan Siti.
“Victoria, Pak Altaf sudah pergi! Kita berhenti, yuk. Saya capek, nih.” ucap Siti dengan nafas yang tak beraturan.
“O ya, atur nafasmu dulu. Angkat kedua lenganmu ke atas agar paru-parumu terbuka, sehingga tidak sesak,” tutur Victoria sambil mengatur nafas dan mencontohkan gerakannya pada Siti.
Sesudah mengatur nafas, keduanya pun duduk sambil mengeringkan keringat menggunakan handuk. Kulit Victoria yang terkena mentari pagi tampak keemasan. Setelah merasa sudah cukup Victoria dan Siti kembali ke kamar dan melakukan tugas yang telah diagendakan bersama.
Selepas itu, Victoria pun mandi. Ia lalu mengenakan seragam silat dan jilbab hitam yang telah dia cuci kemarin.
“Siti, cepatlah. Pak Altaf dan teman-teman yang lain sudah siap berangkat,” ucap Victoria sambil berdiri di depan pintu kamar Siti.
Ok. Dua menit lagi.”
“Baik, saya tunggu kau bersama yang lain di halaman.”
Victoria langsung menuju halaman depan panti. Setelah Siti datang, semuanya naik mobil Pak Altaf dan berangkat menuju gor. Sepanjang perjalanan Victoria tampak begitu santai.
***
Di GOR sudah banyak pesilat yang datang. Diantaranya dari Sarmi, Manokwari, Sorong, Merauke, Arso, Jayapura, Abepura, Sentani, Koya Barat, dan Koya Timur. Mata Victoria mulai menjuru kesemua sudut, mencari-cari lelaki yang memberinya sepucuk surat.
“Victoria, ayo kita masuk! Pintu gor sudah terbuka,” ucap Siti sambil berteriak mengalahkan suara riuh peserta yang ada di sekitar. Victoria bersama Siti segera menyisip-nyisipkan tubuh mereka di antara kerumunan orang.
Sebelum masuk tribun penonton, Victoria terpana oleh selembar jadwal yang tertempel di depan pintu masuk gor.
“Kau akan main pukul 13.00 wit, Victoria. Banyak menonton pertandingan dari berbagai kontingen tentu akan membuatmu banyak belajar mengenai strategi,” ujar Siti meyakinkan Victoria.
Saat hendak menuju tribun kontingennya, Victoria dipanggil Pak Altaf. Siti yang bagai buntut Victoria selalu mengikutinya dari belakang.
“Tetaplah berada di tribun menyaksikan pertandingan,” kata Pak Altaf. “Lawanmu lagi-lagi berasal dari kontingen Sarmi. Setelah ini kamu makan dulu, tadi Vina mengantar nasi dari panti untuk anak-anak kontingen kita.”
Victoria hanya mengangguk. Tapi sejenak ia sempat meneliti wajah Pak Altaf yang khas Arabia, tampak kurang sehat.
Setelah makan dan menunggu waktu istirahat sholat usai, Victoria tetap duduk di bangku tribun kontingen sambil menyandarkan kepalanya. Tiba-tiba seorang pria muda yang pernah dia temui di Terminal Kampkey menghampirinya.
“Permisi, apa saya menganggu?” tutur lelaki asing itu lirih. Suasana gedung yang tak berisikan banyak orang membuat suara lelaki itu bergema.
“Iya.” ucap Victoria dengan refleks, kaget sambil terbelalak melihat pria itu. Victoria tampak tegang dan tingkahnya tiba-tiba tidak terkontrol.
“Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu. “Maaf, jika saya menganggu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mengantar saya pulang waktu itu. Perkenalkan, saya Raqif!” ucapnya sembari menjulurkan tangannya ke arah Victoria.
“Victoria Wakum, tapi lebih akrab dipanggil Victoria saja,” ucap Victoria yang langsung menjabat tangan Raqif.
“Sungguh aneh, bukankah kita sudah berbincang-bincang sepanjang perjalan waktu itu. Tapi baru sekarang kita berkenalan,” tutur Raqif.
“O ya, kau tampak lebih anggun dengan jilbab yang kau kenakan. Saya sampai ragu. Khawatir bukan kamu. Maaf, kau terlihat seperti seorang muslimah,” lanjut Raqif yang tersenyum dengan sanjungan yang dia sampaikan.
Victoria berusaha menyembunyikan perasaannya yang gugup dengan mengalihkan pandangan ke tempat lain.
“Kau sudah menerima suratku?”
“Ya,” jawab Victoria singkat. Ia merasakan wajahnya menghangat, dan sesuatu yang asing menjalar di sekujur tubuhnya. Victoria langsung menunduk. Sementara Raqif hanya tersenyum.
“Baiklah, aku akan sholat dulu. Sampai jumpa,” ucap Raqif yang langsung beranjak dari tempat duduknya. Victoria hanya membalas salam Raqif dengan senyuman.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar