Senin, 01 Agustus 2016

Cerpen: Waro Itaar karya Gallant Cysta (2)



Waro Itaar (2)
karya Gallant Cysta


Alarm yang berasal dari handphoneku berdering, aku terbangun tiba-tiba. Suasana yang dingin menandakan pukul tiga pagi. Kemalasan menyelimuti setiap langkahku. Ingin rasanya bermimpi kembali menerawang jauh melihat kembali sosok wanita itu, yang sangat mirip ibuku. Namun wajahnya lebih muda, dan terlihat seberkas sinar cahaya yang menghiasi.
Aku tak mengerti maksud mimpi itu. Aku mencoba beranjak mencari percikan air yang dapat membunuh semua rasa kemalasan. Kutengadahkan kedua tangan merasakan dinginnya aliran air, dan membiarkan udara pagi memeluk pori-pori kulit.
Usai tahajud, aku mencoba menghafal surat-surat pendek dalam al Qur’an. Lepas kesibukan yang biasa kulakukan setiap akan menjelang subuh, kusempatkan mengulang kembali mata kuliah yang akan kupelajari esok hari.
Aku teringat sepucuk surat yang diberikan Kang Taryo yang masih berada di dalam tas. Aku belum sempat membacanya karena rasa lelah setelah bepergian bersama Waro. Segera kuambil surat itu dan kubaca.

Kepada : Ifan bin Abdullah
Assalaumu`alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Bagaimana kabarmu, Nak? semoga Allah senantiasa merahmati dan memberikan kemudahan dalam segala urusanmu. Entah dari mana Bapak akan mulai agar engkau paham dan dapat menyikapi dengan baik apa yang akan Bapak sampaikan.
Mungkin ini salah satu cobaan yang Allah berikan kepada keluarga kita, tidak ada satupun hamba yang tahu rahasia dari sebuah peristiwa yang terjadi. Kita semua di jagat raya ini pasti akan mati karena dunia yang kita singgahi adalah fana. Ibumu telah usai menjalankan kewajibannya di dunia. Ia telah kembali pada sang Pencipta.
Semua sanak saudara sudah berkumpul di rumah, Ayah harap kamu bisa pulang walaupun tidak bisa melihat wajah ibumu yang terakhir kalinya karena telah dimakamkan. Pulanglah jika ada waktu senggang kuliahmu. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kakimu.
Wassalamu`alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Bapakmu, Abdullah 

Tatapanku kosong melihat setiap sudut ruangan, saraf-sarafku seakan sudah tidak bekerja lagi. Aku merasa berada di suatu tempat yang asing. Kepalaku kembali mengingat-ingat wajah ibu. Linangan air mataku jatuh bersama kenangan-kenangan itu. Apakah aku sedang bermimpi? Apakah Kang Taryo salah memberikan surat ini? Segala pertanyaan dan perasaan tak percaya mengalir bersama darah dalam tubuhku.
Kutengok keluar jendela, tepat di depan kamar Waro. Apakah yang dikatakan Waro kemarin benar? Bagaimana mungkin rasa sayang Tuhan pada hamba-Nya yang taat diwujudkan dalam bentuk cobaan? Bisikku pada angin yang berhembus. Kali ini seakan aku ingin berontak pada-Nya.
Kuraih handphone yang tergeletak di atas kasur, kucoba menekan-nekan tombol di kontak mencari nomor handphone Waro. Setelah beberapa kali kutelepon tapi tak ada jawaban dari seberang. Mungkin dia masih tidur.
Jam dinding kamar menunjukkan pukul enam pagi. Setiap langkah berdetak, tak henti-hentinya mulutku berkomat-kamit mengikuti hitungan waktunya, entah apa yang kuucap. Kubolak-balikan tubuhku di atas pembaringan. Perasaanku gelisah, kepalaku mulai berpikir keras bagaimana caranya bisa pulang. Tiba-tiba handphoneku berdering membuyarkan ide-ide yang terlintas. Kutengok dari monitor handphone yang berkedip-kedip mamancarkan cahaya bertuliskan Fis_Waro.
“Halo. Selamat pagi, Fan. Ada apa?” suara Waro terdengar bersemangat pagi ini.
“Pagi ini saya akan pulang ke Bonggo, dan sepertinya saya tidak kuliah beberapa hari ini.”
“Pulang? Kenapa? hari ini kan sudah aktif kuliah.”
“Ibuku meninggal, Ro.”
“Apa? Kamu jangan bercanda, Fan!”
Aku serius, Ro! Sebentar lagi aku berangkat.”
“Naik apa ke sana?”
“Mungkin bus kalau ada.”
“Saya ikut ya, Fan. Nanti saya pinjamkan motor teman.”
“Tidak usah, kamu kan harus kuliah.”
“Pokoknya saya ikut!”
Waro langsung menutup teleponnya. Dalam hitungan menit, ia telah siap dengan tas ranselnya bersama motor. Dengan segera kami berangkat meninggalkan rumah. Cuaca pagi ini cukup bersahabat, tidak panas dan tidak pula hujan. Setiap putaran roda yang melintasi badan jalan, Waro tak henti-hentinya bertanya mengenai keluargaku. Aku tidak habis pikir, kenapa dia lebih memilih ikut denganku daripada kuliahnya?
Jarak tempuh antara Jayapura hingga ke Bonggo sekitar 100 km. Karena tidak persiapan dengan jarak tersebut, di tengah perjalanan, motor kami melambat dan tidak lama berselang motornya mati.
Sepanjang jalan, sejauh mata memandang hanya terlihat aspal yang terbentang dengan pohon-pohon yang berada di bibir jalan. Aku dan Waro bingung, motor yang kami bawa kehabisan bensin. Aku lupa menempuh perjalanan ke Bonggo membutuhkan bensin yang banyak dan seharusnya membawa cadangan bensin.
Kakiku terus melangkah bolak-balik mencari tanda-tanda keberadaan manusia, namun tak kudapati seorang pun. Deruan suara air terjun terdengar samar di telinga.
“Suara air terjun dari mana itu, Fan?” tanya Waro penasaran.
“Aku pun tak tahu pasti. Dulu teman-temanku pernah mengajakku ke air terjun itu. Kata mereka tempatnya sedikit ngeri, jarang ada orang yang berkunjung. Mungkin karena mereka tidak tahu. Katanya, di sana banyak bebatuan, airnya berwarna biru, di sekelilingnya banyak pohon-pohon yang tumbuh dan banyak pula buahnya. Siapa pun boleh mengambilnya, asal manjat sendiri.”
“Ke sana yuk, Fan.”
“Kau sendiri saja, aku lagi tidak ingin jalan.”
Waro terduduk melongo meratapi motor yang mogok. Aku mencoba berteriak berulangkali seperti berada di tengah hutan belantara, tapi tetap saja tidak ada yang menjawab. Setelah lama meraung-raung aku pun ikut terduduk lemas bersama rerumputan yang menari karena hembusan angin.
“Harus berapa lama kita disini, Fan?” tanya Waro terlihat putus asa.
“Sampai ada orang yang lewat.”
“Fan, apa rasa cinta semua Tuhan pada hambanya selalu berupa cobaan? Seperti Tuhanmu dan Tuhan yang disembah nenekku?”
Aku diam sesaat. Bagaimana mungkin ada banyak Tuhan di dalam pikiran Waro? Itu aneh.
“Waktu kecil, bapakku selalu mengajariku bersabar dan ikhlas setiapkali mendapat musibah. Beliau bilang, Allah senantiasa memberikan cobaan untuk mengukur ketaatan hamba-Nya,” kataku lemah.
“Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak taat? Apa mereka tidak diberi cobaan? Banyak mereka yang tidak taat, hidupnya fine-fine saja, Fan. Bahkan terlihat makmur.”
Setiap kata yang terucap dari lisan Waro mengenai Tuhan seperti benar-benar ia ucapkan dari hatinya yang paling dalam, hingga melekat di otakku dan mengalir bersama aliran darah. Akal dan jiwaku mulai meronta tentang keberadaan Tuhan. Walaupun sering kali aku menyanggah argumen Waro tentang Tuhan.
Apa iya Tuhan itu ada, Fan? bisikku dalam hati. Aku ingin hati nuraniku yang menjawab. Namun tak kudapati pula jawabannya.
“Hahaha, kau kenapa, Fan?” tawa Waro melepaskan ketegangan.Kau tidak usah berfikir kalau saya akan mengajakmu menjadi atheis. Karena seorang atheis sejati tidak akan membujuk atau menyuruh mengikutinya. Atheis itu murni hasil pencarian. Bukan karena keturunan.”
Suasana hening sepersekian detik, lalu kulanjutkan ucapanku.
“Kau tahu para pejabat yang kaya raya? Mereka juga diberi cobaan oleh Tuhan dengan harta yang berlimpah itu.”
“Bagaimana bisa kekayaan adalah cobaan?”
“Tidak semua cobaan Tuhan itu berupa hal-hal yang tidak enak, Ro. Tuhan memberikan cobaan berupa harta agar mereka bisa bersyukur dan menggunakan harta itu untuk kebaikan. Tetapi sekarang kebanyakan harta tersebut untuk maksiat. Harta dapat mengantarkan kita menuju surga. Tapi bisa juga menjadi bara api neraka untuk kita yang tidak pandai bersyukur. Cobaan yang tidak enak hanya semata-mata untuk menguji hamba-Nya untuk ikhlas dan bersabar. Karena kehidupan itu fana, Ro. Yang kekal hanyalah Tuhan.”
Aku menghela napas panjang. Berharap Waro bisa memahami kesedihanku.
“Dulu, sewaktu bapak saya masih hidup, dia juga selalu mengatakan hal yang sama seperti bapakmu, Fan. Tapi ketika beranjak dewasa, saya mulai berpikir ilmiah dan selalu bertanya tentang Tuhan. Kamu masih hafal sila pertama Pancasila?”
“Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Di kalimat itu dan bhineka tunggal ika, menurutmu mengapa ada banyak Tuhan? Jika semuanya adalah Tuhan yang sama, mengapa aturan, tuntutan, dan tuntunannya berbeda-beda.
Sejenak Waro diam, aku masih belum dapat menjawab. Bibirku terbungkam seribu bahasa. Waro pun melanjutkan kalimatnya.
“Tuhan yang sebenarnya itu yang mana, Fan? Allah kah, Yesus, patung, ataukah Dewa?”
“Apa jawaban saya penting untukmu, Ro?” tanyaku sedikit kesal membahas tentang Tuhan pada situasi seperti ini. Waro diam menatapku.
“Ya, Tuhan itu satu, tidak akan pernah menjadi dua, atau tiga, ataupun empat. Kau pernah membayangkan jika Tuhan itu ada dua? Apa yang akan terjadi di dunia ini jika Tuhan itu lebih dari satu?”
“Mungkin dunia akan berantakan,” jawab Waro sembari tersenyum.
“Bukan mungkin. Tapi sudah pasti dunia akan hancur jika Tuhan ada dua ataupun tiga. Islam, Kristen, Hindu, Budha hanyalah sebuah nama, Ro. Dalam Islam tidak ada bentuk Tuhan. Semua itu hanya imajinasi manusia saja tentang penggambaran Tuhan, sehingga melahirkan Tuhan yang baru. Islam tidak seperti itu, Ro.”
Hening sejenak.
“Islam hanya percaya dan yakin bahwa Tuhan itu ada, karena mustahil ada dunia ini kalau bukan Tuhan yang menciptakan. Sangat tidak mungkin jika seluruh jagat raya ini diciptakan manusia. Kau lihat matahari yang hampir tenggelam itu, Ro?”
Waro mengangguk pelan tanpa bersuara.
“Tidak mungkin matahari itu ada dengan sendirinya, menciptakan dirinya sendiri. Tidak mungkin juga manusia menciptakannya. Matahari itu hanya salah satu dari sekian banyak tanda adanya Tuhan. Jadi Tuhan tidak untuk digambar, tetapi diyakini. Akal kita tidak akan sanggup menggambarkan bentuk-Nya.”
Waro mengerutkan dahi.
“Tuhan saya Allah, yang tidak bisa digambar. Allah berbeda dengan makhluknya dan Allah juga tidak dilahirkan atau melahirkan. Allah itu Esa, Ro.”
Hembusan angin yang khas tempat ini sama segarnya dengan suasana kampung-kampung lainnya. Terpaan sinar yang berada di ufuk barat membelai lembut setiap helai rambut Waro, hingga membuat warna rambutnya berubah kemerahan membuat cantik rupa gadis itu. Berjam-jam kami menunggu hingga senja tiba. Namun tak satupun kendaraan yang melintas.
Kubaringkan tubuhku di atas aspal yang tak panas lagi, telingaku dengan cepat menangkap getaran suara. Dengan segera aku bangkit dan mencari asal suara. Dari kejauhan terlihat motor yang melaju ke arah kami. Kulambaikan tangan beserta lompatan kecil berharap mereka mau berhenti. Semoga mereka bisa membantu, pintaku dalam hati.
“Ro, ada yang datang!” ucapku dengan penuh semangat.
Dengan segera Waro bergegas bangkit. Dia pun ikut melambai-lambaikan tangannya meniru gerakanku. Tak lama berselang, terlihat motor yang ditumpangi sepasang suami istri berkulit hitam bersemakan rambut keriting berhenti tepat di hadapan kami.
“Ada apa dengan motor kalian? Rusak kah?” tanya bapak tua yang mengendarai motor.
“Kami mau ke Bonggo. Tapi motor kami mogok kehabisan bensin,” kataku.
Tanpa pikir panjang, mama yang duduk dibelakang mengeluarkan botol aqua besar.
“Anak, ini ada minyak sedikit, kalian bisa pakai. Di depan sana itu kalau ketemu dengan penjual bensin beli lagi supaya bisa lanjut jalan ke Bonggo,” ucapnya tulus.
“Terima kasih, Mama.”
“Sama-sama, Anak. Lain kali kalau perjalanan jauh bawa cadangan bensin lagi.”
***
Rembulan sedikit bersinar. Beberapa bintang memaksa bersikap jantan, tapi sinarnya tetap saja seperti perawan. Sementara angin menampakkan sikap berlainan; terkadang sepoi, terkadang kencang. Aku berdiri mematung melihat sebongkah kuburan di pekarangan rumah.
Lututku serasa lemas, air mataku mengalir, tetesannya terus jatuh di atas pekuburan. Waro seakan berada dalam posisiku pula. Entah mengapa ia ikut menangis, mungkin ia teringat pada bapak dan mamanya.
Tak kusadari, ada sesuatu yang masuk dalam hatiku. Aku tak tahu apa itu. Aku merasakan sesuatu yang ghaib, misterius, yang ilahiah tengah bersemayam di palung hatiku. Kutatap wajah Waro yang terlihat sedih melihatku. Kurasakan sesuatu yang beda dalam bahasa tubuhnya. Sorotan matanya kali ini seakan berbisik bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing, seperti yang pernah ia katakan dulu.
Kematian ibu seakan mengajariku tentang makna hidup. Hidup ini bukan hanya untuk dipikirkan, tapi dilakoni dengan jujur, sabar, dan tawakal. Seperti dalam salah satu puisi Chairil Anwar ketika ditinggal neneknya: Keridlaanmu menerima segala tiba. Aku teringat pada salah satu sabda Krisna yang melekat dalam otakku: “Siapa yang tidak punya keyakinan, ia pasti akan hancur.”
Tuhan masih sayang padaku, dan semoga Tuhan pun sayang pada Waro.
Hidup mengelak dirumuskan secara ketat, hidup mengharap aku menerimanya tanpa bertanya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar