Waro Itaar
Gallant Cysta
“Perjuangan
dan kerja keras membuatku tak bisa memercayai segalanya. Hanya satu konsep yang
kutahu: akal adalah Tuhanku,”ucap Waro pelan. Deruan ombak seakan mengerti perbincangan
kami di atas speedboat yang berukuran
mungil.
Sekian
lama mengenalnya, baru sekarang aku tahu dia memiliki pandangan mendalam
seperti itu. Kutatap air laut yang terbentang luas ketika mendengar sebait
kisah hidup Waro.
Ia membuka halaman hidupnya 13 tahun yang lalu. Tak ada rotan akar
pun jadi, begitulah ia membahasakan masa kecilnya yang hidup selalu
mengandalkan kerja keras. Kehidupannya memang tak semanis yang kurasakan
bersama keluargaku yang harmonis. Dalam hal ini, sangat jauh berbeda seperti langit dan
bumi antara kehidupanku dan kehidupannya.
Ayah
Waro penduduk asli pulau ini, yang berhasil mempersunting istri suku Jawa.
Namun seleksi alam memisahkan mereka. Ayah Waro mati ketika mencari ikan, sedangkan ibu Waro pergi meninggalkan Waro bersama
neneknya di pulau ini.
Dari
kejauhan terlihat beberapa rumah penduduk yang sebagian besar terbuat dari kayu suan di atas permukaan air. Suara
khas speedboat tak lama berhenti di
pinggiran rumah-rumah penduduk. Hanya speedboatlah
satu-satunya alat transportasi sebagai sarana penghubung dari dermaga Teluk
Yotefa menuju pulau-pulau kecil di sini. Salah satunya dinamakan Pulau Metu
Debi, tempat kelahiran Waro.
Metu
Debi merupakan sebuah pulau di tengah-tengah kawasan teluk Yotefa yang memiliki
arti pulau cantik. Pulau ini menjadi salah satu pusat wisata di Jayapura karena
keanekaragaman bawah lautnya, seperti terumbu karang, landak babi, lamun,
samandar, dan berbagai macam ikan hias lainya yang terlihat seperti aquarium
raksasa.
Pulau
ini juga memiliki keunikan tersendiri sehingga dijuluki dengan Lapangan Timbul Tenggelam. Ketika hari
mulai gelap hingga pagi, laut akan pasang dan pulau ini hampir tenggelam tertutup air. Sedangkan ketika siang hingga sore
hari, airnya surut sehingga membuat adanya lapangan pasir putih yang luas.
“Yang
mana rumahmu, Ro?” tanyaku sembari bangkit dari perahu motor.
“Tak
Jauh dari sini, Fan. Tapi harus berjalan memutari gereja itu untuk sampai di
rumah nenekku.”
“Ro,
lihat! Apa yang mereka lakukan dengan duri babi itu?” spontan aku bertanya
ketika tak sengaja melihat sekelompok orang mengumpulkan hewan yang beracun.
“Untuk
dimakan,”jawabnya santai.
“Maksudmu,
mereka memakan duri babi itu?“
“Iya,
mereka mengumpulkannya untuk dimakan. Rasanya enak, tak kalah enak dengan
ikan-ikan yang lain. Kamu mau coba?”
Aku
hanya bisa tersenyum nyinyir membayangkan memakan duri babi itu. Sepanjang
perjalanan, Waro banyak mengajariku tentang hewan-hewan laut, bahkan sampai
cara memakan duri babi itu.
Duri
babi atau landak laut merupakan hewan laut yang beracun, walaupun tidak semua. Hewan ini bisa hidup di berbagai tempat, seperti di karang, pantai, dasar laut,
di dalam lumpur, sampai di muara sungai.
Sangat aneh rasanya hewan yang aku takuti karena beracun dan menjijikkan itu
ternyata bisa dimakan juga.
Sembari
bercerita mengenai hewan-hewan laut, dikejauhan terlihat seorang tua yang duduk di pinggiran keramba. Tampaknya
perempuan tua itu berharap
ada ikan yang mau singgah di jaring-jaringnya.
Dia telihat seperti berumur delapan puluhan, kurus berselimut kulit.
Keriput pun ikut serta bersama perjuangannya. Tanpa pikir panjang Waro langsung
hinggap di bahu perempuan tua itu melepas rasa kangennya.
“Waro,
kau pulang rupanya?” tanya perempuan tua itu menggunakan bahasanya. Ia tampak
terkejut dan tak
percaya melihat kedatangan Waro.
“Ya,
Nek. Aku kangen sama Nenek.”
Perempuan
tua itu ternyata nenek Waro yang selama ini mengasuhnya. Kepergian ayah dan ibu
Waro membuat ia berusaha mengais rezeki sendiri karena tidak ada saudara yang
bisa membantu mereka. Nenek Waro hanya bisa membalas dengan senyum melihat jaring-jaringnya.
“Siapa
itu, Ro?” tanya nenek melihat Waro bersamaku.
“Ifan,
teman kuliah saya, Nek,” jawabnya singkat.
Waro
pun memperkenalkanku pada neneknya. Dia bercerita tentangku dengan sok tahu, seperti sudah mengenalku
bertahun-tahun. Neneknya dengan ramah menyambut kedatangan kami.
Hidangan
betatas rebus menemani perbincangan di sudut ruangan yang mungil. Lewat celah
jendela terlihat sebuah Patung Yesus yang sangat besar, berdiri kokoh dengan
pemandangan pasir putih yang terbentang luas.
“Kenapa
di sini ada patung Yesus sebesar itu, Nek?” Tanyaku penasaran.
“Itu
tugu pekabaran Injil, Nak Ifan. Metu Debi memiliki peran penting dalam sejarah
awal masuknya injil di wilayah ini.”
“Oh
ya? Bagaimana ceritanya, Nek?”
Nenek
mencoba mengingat-ingat kembali. Walaupun sudah sangat tua namun nenek Waro
masih bisa menceritakannya dengan sangat jelas.
“Bermula
pada tahun 1893 ketika rombongan pendeta Gotllieb Lodick Bink datang ke Metu
Debi. Mereka diterima dengan baik di pulau ini oleh masyarakat dan pemimpin
kampung,” kata nenek memulai ceritanya.
“Lalu
apa yang mereka lakukan, Nek?” tanya Waro ikut penasaran.
“Beliau
bersama rombongannya tinggal selama tiga bulan dan mengamati kehidupan penduduk
kampung ini.
Hingga saat rombongan pendeta akan pergi, kembali ke markasnya di Manokwari, pendeta itu membawa serta dua orang
penduduk asli untuk diajarkan banyak hal tentang Agama Kristen.”
Sejenak
nenek terdiam, tampak mengingat-ingat kembali tentang sejarah Metu Debi. Setelah
yakin, ia pun melanjutkan kisahnya.
“Akhirnya
pada tanggal 10 Maret 1910 pendeta Van Hasselt beserta beberapa guru dari Ambon
dan penduduk asli Metu Debi kembali ke pulau ini. Saat itulah dimulai sejarah
masuknya injil,” kata nenek mengakhiri ceritanya.
Aku
dan Waro khusuk mendengarkan setiap langkah kata yang diucapkan nenek. Tak lama
berselang Waro mengajakku melihat patung itu setelah cerita nenek usai.
“Fan,
ayo kita ke sana sekalian foto-foto di tugu untuk kenang-kenangan nanti.”
Ia
tampak bersemangat ingin melihatnya dari jarak dekat. Ekspresinya membuatku tak
mengerti, seharusnya dia sudah tidak asing lagi dengan tugu itu karena dia
penduduk pulau ini, pikirku dalam hati.
“Iya,
tapi tunggu saya habiskan betatas ini dulu.”
Setelah
perut terganjal dengan makanan yang dihidangkan nenek, aku dan Waro segera
beranjak dan menuju tempat tujuan. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba
ke tugu itu. Hanya butuh waktu setara memakan sebuah ubi rebus berukuran
sedang.
Akupun
melompat berdampingan dengan patung Yesus dan meminta Waro mengambil gambar
kami. Aku terlihat seperti kurcaci di
samping raksasa. Kami sangat menikmati pemandangan yang telah diberikan Tuhan.
Matahari yang hampir tenggelam menambah indah rupa foto yang kami ambil.
Langkah-langkah
kecil menuju rumah, menemani perbincangan kami. Tak ada segores kesedihan yang
tergambar di wajah Waro kali ini. Aku kagum padanya sebagai seorang wanita. Ia
tampak seperti bunga yang mekar dalam lumpur. Aku memandang sosok Waro adalah
seseorang yang paling langka dan indah dari semua. Apa aku mulai menyukainya?
Ah, lagi-lagi rasa ini muncul kembali.
Kutepis jauh-jauh bisikan itu dan perlahan aku mulai membuka suara. Dengan hati-hati aku melanjutkan
perbincangan kami yang sempat terputus karena sebait kalimat Waro yang mampu
menghentikan selangkah ucapanku tadi.
“Ro,
apa pandanganmu tentang agama?” tanyaku sambil melangkah perlahan kembali ke
rumah.
“Agama?
Menurutmu sendiri gimana, Fan?”
Aku
terdiam sesaat mendengar lontaran pertanyaan yang kembali mengarah padaku.
Kupandangi wajah patung itu yang tetap berdiri tegak. “Agama itu suatu
kepercayaan kita pada Tuhan,” jawabku pelan.
“Lalu
kenapa kamu memercayai Tuhanmu? Apakah karena kamu dilahirkan dari keluarga
yang beragama Islam atau kamu benar-benar mencari kebenarannya sendiri?”
“Iya
memang saya dilahirkan dari keluarga yang sudah beragama Islam, dan saya
percaya akan kebenarannya,” jawabku dan kemudian langsung dilanjutkan Waro.
“Itu,
kan menurut pandanganmu menilai kebenaran agama yang kamu yakini, Fan. Semua
orang juga akan menilai dari kaca mata mereka, bahwa agama yang mereka yakini
sama baiknya dengan agamamu,” balas Waro menanggapi pernyataanku.
“Lalu
menurutmu, agama itu seperti apa?” tanyaku ingin mengetahui pendapatnya.
Sejenak
suasana mendingin ketika sampai di serambi rumah. Waro tak berkata setelah
lontaran pertanyaan kuberikan untuknya. Lalu dengan nadanya yang hampir
tenggelam bersama senja hari, dia berucap pelan,“Saya takut, Fan.”
Aku
tak mengerti apa yang ditakutinya dengan pertanyaan yang kulontarkan tadi. Aku
malah merasa bersalah dengan perkataanku, apakah
dia tersinggung?
Aku
mencoba mengganti topik perbincangan. Tetapi belum habis aku berpikir topik
yang lain, dia mulai menceritakan semua ketakutannya. Dia lebih senang menutup
diri dengan lingkungannya selama ini ketika ditanyai tentang Tuhan.
“Banyak
orang menilai seorang atheis tidak bermoral karena tidak memiliki aturan,”
katanya lirih, seolah tak ingin ada yang mendengarnya. “Padahal atheisme
tidaklah demikian.”
Beberapa
saat kami terdiam. Karena aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menanggapi
Waro. Kubiarkan dia menyelesaikan semua yang ingin dikatakannya.
“Saya
tidak menyalahkan mereka. Tapi atheisme bukanlah orang tanpa aturan. Sayalah
yang tahu tentang hidup saya sendiri. Meskipun tidak percaya Tuhan, tapi saya
hidup didasari oleh moralitas pada akal budi, dan mengakui segala
keterbatasan.”
“Mengapa
kau tidak percaya Tuhan?”
“Saya
percaya akal,”
“Kau
butuh cinta, Ro,”
“Cinta?
Kau pikir saya ini apa?”
Waro
berucap sambil melotot ke arahku. Tampak dia kurang senang dengan topik cinta
itu.
“Kau
pernah dengar nama Jalaluddin Rumi?”
Waro
menggeleng.“Siapa dia?”
“Seseorang
yang fasih bicara cinta. Dalam agama kami, Rumi dikenal sebagai guru sufi,
orang yang sangat mengenal Tuhan di dalam dirinya. Jika kau tahu perkataan
Rumi, kau pasti mengerti kenapa saya bilang kau butuh cinta.”
“Memangnya
Rumi bilang apa?”
Aku
berusaha membuat kesan pada kalimat yang akan kuucapkan, berharap Waro akan
mengenangnya. Jika bukan mengenang perkataan Rumi, setidaknya Waro mengenang
aku yang pernah mengucapkan kata-kata Rumi itu.
“Kata
Rumi, Dunia Tuhan hanya bisa ditembus dengan cinta.”
Waro
tak bicara lagi. Mungkin dia merenung. Entahlah. Aku tahu, Waro tak hanya indah
seperti bunga. Namun ada yang lebih dari itu, ia juga kokoh seperti karang.
Perkataannya cukup membuat aku berfikir ulang tentang Tuhan. Sampai terbawa
tidur.
Air
laut yang meninggi seakan menyuruh kami untuk segera beristirahat. Udara malam
terasa mendekap erat.
Memang, waktu yang terlalu singkat untuk mengenal seorang yang
bernama Waro Itaar, dengan perawakannya yang tinggi, berkulit agak gelap dengan
rambut bergelombang. Ditambah parasnya yang lonjong, sama sekali tidak menunjukkan kesan seorang yang tertekan, apalagi matanya yang sangat pandai menyimpan
goresan misteri kehidupan.
***
Dari
kejauhan telah tampak Pasar Yotefa yang ramai dengan beragam aktivitas untuk
mencari rezeki sehari-hari. Semua kebutuhan sandang dan pangan terdapat di
tempat ini. Pasar ini selalu ramai karena harga yang ditawarkan penjual lebih
murah dibandingkan dengan harga yang dijual di toko-toko.
Namun
pada saat siang hari sangat jarang ada pembeli yang mau singgah karena cuaca
pada siang hari di tempat ini seakan membara. Matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah
dan pasir seakan menguapkan batu neraka. Hembusan angin disertai debu yang
bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Deruan
suara klakson motor menambah ramainya kemacetan di pasar Yotefa. Debu-debu yang
bertebaran bersama terpaan sinar mentari cukup membuat anak-anak penjual sayur
merengek meminta pulang tapi mama-mama itu hanya bisa berkata, “Sabar, sebentar
lagi sore.”
Hanya
kata itu yang membuat mereka sedikit tenang.
Seketika
terbayang wajah bapak dan ibu ketika mengajakku ke ladang jika tidak ada jam
mengajar di sekolah. Memang sangat menyenangkan ketika diajak bersama mereka, namun jika mentari sudah setinggi
tombak aku langsung meminta pulang. Ketika ibu telah mendengar keluhanku, ia
langsung mengajak Bapak segera pulang karena tanda waktu shalat dhuha harus
dijalankan. Aku terhanyut dalam lamunan. Waro hanya tersenyum melihatku seperti
kesambet jin pasar.
“Kamu
kenapa?” tanyanya cekikikan menertawaiku.
“Tidak
apa, Ro. Saya hanya teringat bapak dan ibu di kampung.”
“Hahaha,
kamu seperti orang linglung, Fan. Dipanggil tidak dengar.”
“Orang
manggil? Siapa?” tanyaku heran mencari sumber suara yang memanggilku.
“Itu
di sana. Sepertinya bapakmu. Wajahnya mirip denganmu.”
Kupicingkan mataku mencari asal suara. Kepalaku
celingukan memandangi sekitar terminal. Namun tak kudapati wajah bapak yang
khas bersemak kumis tebal. Di samping
sebuah bus berwarna putih, tepat di sebelah warung kopi, mataku menyorot
pada mulut lelaki yang bergerak-gerak mengunyah sirih. Bibirnya merah oleh
warna sari getah sirih dan pinang yang bercampur kapur.
Dengan
suaranya yang kurang jelas dan keras terdengar dia tampak memanggil namaku, dan
memanggil-manggil beberapa penumpang yang akan menaiki busnya. Langkah kakiku
perlahan mendekat untuk memastikannya.
Wajah
Kang Taryo terlihat jelas dengan kebiasaannya yang selalu mengunyah-ngunyah
pinang. Meskipun Kang Taryo berasal dari suku asli Jawa, namun sejak kecil dia
sudah terbiasa dengan lingkungan sekitarnya, memakan pinang dan sirih sudah
menjadi kebiasaan sehari-hari. Menurutnya, mengunyah pinang sirih dapat
menghilangkan rasa bosan dan kantuk ketika menyetir, di samping itu pula dapat
menguatkan gigi.
Aku
senang bisa bertemu dengannya. Jarang-jarang ada supir bus dari pedalaman
Bonggo yang bisa ke kota karena memang jaraknya sangat jauh. Selain itu juga
jembatan yang masih sering putus dan selalu ada saja kendala lainnya yang
menghambat. Dia memberikan sepucuk surat setelah kami bercakap cukup lama.
Memang
sulit untuk berkomunikasi di Bonggo, karena belum ada sinyal hp di kampungku
itu. Sehingga kami hanya bisa saling berkirim surat untuk berkomunikasi. Segera
kusimpan surat itu ke dalam tas.
Meskipun
sudah terlihat tua tapi masih dapat kuajak kemana-mana. Ini adalah tas
bersejarah yang setia menemaniku menuntut ilmu sejak di Madrasah Tsanawiyah,
hingga saat ini menempuh S1 di Universitas Cenderawasih di Jayapura. Aku
berharap ada kabar baik dari keluarga ketika membaca isi suratnya.
“Surat
iki wes suwe bapakmu titipne neng aku, Fan. Koyok e penting. Nyuwun
pangapunten, lagi ketemu saiki karo awakmu,”[1] ucap Kang Taryo merasa
bersalah.
“Tidak
apa Kang. Memang seperti itu kondisinya. Yang penting suratnya sudah nyampe
sekarang. Makasih banyak ya, Kang.”
***
Kuletakkan
tas ransel dan berbagai macam barang bawaan di sudut ruangan kamarku. Ruangan
yang mungkin hanya cukup untuk menaruh beberapa barang dan tempat tidur untuk
beristirahat. Aku bukanlah satu-satunya mahasiswa yang mau menyewa tempat
seperti ini dengan tarif yang cukup mahal setiap bulannya.
Banyak
mahasiswa yang menyewa kos-kosan untuk tempat mereka tinggal selama masa
perkuliahan. Kebanyakan mereka berasal dari jauh dan tidak memiliki sanak
saudara di Jayapura seperti Nabire, Merauke, bahkan mahasiswa dari Jawa dan
Makassar. Selain itu, banyak juga mahasiswa dari kampung yang jaraknya sangat
jauh seperti aku yang berasal dari Kampung Bonggo, dan teman-teman kosku yang
dari Arso, Pir, Nembokrang, dan Taja.
“Baru
pulang, Fan?” sapa teman kosku yang melihatku baru nongol di kamar.
“Iya.
Kemarin liburan ke Metu Debi. Diajak Waro, anak kos depan.”
“Cie..., sudah mulai pedekate sama anak kos
depan. Kenalin dong, Fan?”
Aku
hanya mengangguk mananggapinya. Waro dan teman-temannya tinggal tepat di depan
kosku. Tempat Waro tinggal khusus untuk perempuan saja. Begitu pula tempat yang
aku tinggali ini, khusus untuk laki-laki saja.
“Eh,
di kulkas ada ikan. Kalau mau masak ambil saja,” kataku mengalihkan
pembicaraan.
Aku
tidak mau meneruskan candaannya karena jika dilanjutkan tidak akan habis
perkaranya. Kami sudah terbiasa dengan berbagi jika memiliki kelebihan. Mereka
lebih sering membawa sayuran dari Arso jika pulang akhir pekan, karena dengan
seperti itu lebih menghemat biaya kehidupan sehari-hari.
Di
rumah ini kami hidup berlima. Kebetulan kami menempuh pendidikan pada semester
yang sama di Universitas Cendrawasih, tapi dengan fakultas yang
berbeda-beda.
Kusandarkan
kepalaku di atas bantal berukuran sedang. Mataku terhanyut bersama rasa lelah
ke dalam selimut mimpi yang indah. Tampak sebuah tempat yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Kakiku berpijak pada lapangan rumput hijau yang luas
terbentang. Kicauan burung menambah ramai, bersama bunga-bunga matahari yang
bermekaran.
Seorang
wanita didampingi dua pria yang tak kukenal mendekatiku. Sosok wanita itu
mendekapku, samakin lama dekapannya semakin erat, namun seketika dekapan itu
hilang. Kupandangi parasnya seperti pinang dibelah dua, tampak persis dengan
wajah ibu. Dari wajahnya memancarkan seberkas cahaya. Wajahnya semakin jauh
tersamarkan oleh kabut yang kian lama tak jelas terlihat, kemudian hilang.
[1]
“Surat ini sudah lama dititipkan bapakmu ke aku, Fan. Sepertinya penting. Maaf
ya, baru ketemu kamu sekarang.” (Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar