Senin, 01 Agustus 2016

Cerpen: Waro Itaar karya Gallant Cysta (1)



Waro Itaar
Gallant Cysta

“Perjuangan dan kerja keras membuatku tak bisa memercayai segalanya. Hanya satu konsep yang kutahu: akal adalah Tuhanku,ucap Waro pelan. Deruan ombak seakan mengerti perbincangan kami di atas speedboat yang berukuran mungil.
Sekian lama mengenalnya, baru sekarang aku tahu dia memiliki pandangan mendalam seperti itu. Kutatap air laut yang terbentang luas ketika mendengar sebait kisah hidup Waro.
Ia membuka halaman hidupnya 13 tahun yang lalu. Tak ada rotan akar pun jadi, begitulah ia membahasakan masa kecilnya yang hidup selalu mengandalkan kerja keras. Kehidupannya memang tak semanis yang kurasakan bersama keluargaku yang harmonis. Dalam hal ini, sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi antara kehidupanku dan kehidupannya.
Ayah Waro penduduk asli pulau ini, yang berhasil mempersunting istri suku Jawa. Namun seleksi alam memisahkan mereka. Ayah Waro mati ketika mencari ikan, sedangkan ibu Waro pergi meninggalkan Waro bersama neneknya di pulau ini.
Dari kejauhan terlihat beberapa rumah penduduk yang sebagian besar terbuat  dari kayu suan di atas permukaan air. Suara khas speedboat tak lama berhenti di pinggiran rumah-rumah penduduk. Hanya speedboatlah satu-satunya alat transportasi sebagai sarana penghubung dari dermaga Teluk Yotefa menuju pulau-pulau kecil di sini. Salah satunya dinamakan Pulau Metu Debi, tempat kelahiran Waro.
Metu Debi merupakan sebuah pulau di tengah-tengah kawasan teluk Yotefa yang memiliki arti pulau cantik. Pulau ini menjadi salah satu pusat wisata di Jayapura karena keanekaragaman bawah lautnya, seperti terumbu karang, landak babi, lamun, samandar, dan berbagai macam ikan hias lainya yang terlihat seperti aquarium raksasa.
Pulau ini juga memiliki keunikan tersendiri sehingga dijuluki dengan Lapangan Timbul Tenggelam. Ketika hari mulai gelap hingga pagi, laut akan pasang dan pulau ini hampir tenggelam tertutup air. Sedangkan ketika siang hingga sore hari, airnya surut sehingga membuat adanya lapangan pasir putih yang luas.
“Yang mana rumahmu, Ro?” tanyaku sembari bangkit dari perahu motor.
“Tak Jauh dari sini, Fan. Tapi harus berjalan memutari gereja itu untuk sampai di rumah nenekku.
“Ro, lihat! Apa yang mereka lakukan dengan duri babi itu?” spontan aku bertanya ketika tak sengaja melihat sekelompok orang mengumpulkan hewan yang beracun.
“Untuk dimakan,”jawabnya santai.
“Maksudmu, mereka memakan duri babi itu?“
“Iya, mereka mengumpulkannya untuk dimakan. Rasanya enak, tak kalah enak dengan ikan-ikan yang lain. Kamu mau coba?”
Aku hanya bisa tersenyum nyinyir membayangkan memakan duri babi itu. Sepanjang perjalanan, Waro banyak mengajariku tentang hewan-hewan laut, bahkan sampai cara memakan duri babi itu.
Duri babi atau landak laut merupakan hewan laut yang beracun, walaupun tidak semua. Hewan ini bisa hidup di berbagai tempat, seperti di karang, pantai, dasar laut, di  dalam lumpur, sampai di muara sungai. Sangat aneh rasanya hewan yang aku takuti karena beracun dan menjijikkan itu ternyata bisa dimakan juga.
Sembari bercerita mengenai hewan-hewan laut, dikejauhan terlihat seorang tua yang duduk di pinggiran keramba. Tampaknya perempuan tua itu berharap ada ikan yang mau singgah di jaring-jaringnya.
Dia telihat seperti berumur delapan puluhan, kurus berselimut kulit. Keriput pun ikut serta bersama perjuangannya. Tanpa pikir panjang Waro langsung hinggap di bahu perempuan tua itu melepas rasa kangennya.
“Waro, kau pulang rupanya?” tanya perempuan tua itu menggunakan bahasanya. Ia tampak terkejut dan tak percaya melihat kedatangan Waro.
“Ya, Nek. Aku kangen sama Nenek.”
Perempuan tua itu ternyata nenek Waro yang selama ini mengasuhnya. Kepergian ayah dan ibu Waro membuat ia berusaha mengais rezeki sendiri karena tidak ada saudara yang bisa membantu mereka. Nenek Waro hanya bisa membalas dengan senyum melihat jaring-jaringnya.
“Siapa itu, Ro?” tanya nenek melihat Waro bersamaku.
“Ifan, teman kuliah saya, Nek,” jawabnya singkat. 
Waro pun memperkenalkanku pada neneknya. Dia bercerita tentangku dengan sok tahu, seperti sudah mengenalku bertahun-tahun. Neneknya dengan ramah menyambut kedatangan kami.
Hidangan betatas rebus menemani perbincangan di sudut ruangan yang mungil. Lewat celah jendela terlihat sebuah Patung Yesus yang sangat besar, berdiri kokoh dengan pemandangan pasir putih yang terbentang luas.
“Kenapa di sini ada patung Yesus sebesar itu, Nek?” Tanyaku penasaran.
“Itu tugu pekabaran Injil, Nak Ifan. Metu Debi memiliki peran penting dalam sejarah awal masuknya injil di wilayah ini.”
“Oh ya? Bagaimana ceritanya, Nek?”
Nenek mencoba mengingat-ingat kembali. Walaupun sudah sangat tua namun nenek Waro masih bisa menceritakannya dengan sangat jelas.
“Bermula pada tahun 1893 ketika rombongan pendeta Gotllieb Lodick Bink datang ke Metu Debi. Mereka diterima dengan baik di pulau ini oleh masyarakat dan pemimpin kampung,” kata nenek memulai ceritanya.
“Lalu apa yang mereka lakukan, Nek?” tanya Waro ikut penasaran.
“Beliau bersama rombongannya tinggal selama tiga bulan dan mengamati kehidupan penduduk kampung ini. Hingga saat rombongan pendeta akan pergi, kembali ke markasnya di Manokwari, pendeta itu membawa serta dua orang penduduk asli untuk diajarkan banyak hal tentang Agama Kristen.”
Sejenak nenek terdiam, tampak mengingat-ingat kembali tentang sejarah Metu Debi. Setelah yakin, ia pun melanjutkan kisahnya.
“Akhirnya pada tanggal 10 Maret 1910 pendeta Van Hasselt beserta beberapa guru dari Ambon dan penduduk asli Metu Debi kembali ke pulau ini. Saat itulah dimulai sejarah masuknya injil,” kata nenek mengakhiri ceritanya.
Aku dan Waro khusuk mendengarkan setiap langkah kata yang diucapkan nenek. Tak lama berselang Waro mengajakku melihat patung itu setelah cerita nenek usai.
“Fan, ayo kita ke sana sekalian foto-foto di tugu untuk kenang-kenangan nanti.”
Ia tampak bersemangat ingin melihatnya dari jarak dekat. Ekspresinya membuatku tak mengerti, seharusnya dia sudah tidak asing lagi dengan tugu itu karena dia penduduk pulau ini, pikirku dalam hati.
“Iya, tapi tunggu saya habiskan betatas ini dulu.”
Setelah perut terganjal dengan makanan yang dihidangkan nenek, aku dan Waro segera beranjak dan menuju tempat tujuan. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba ke tugu itu. Hanya butuh waktu setara memakan sebuah ubi rebus berukuran sedang.
Akupun melompat berdampingan dengan patung Yesus dan meminta Waro mengambil gambar kami. Aku terlihat seperti kurcaci di samping raksasa. Kami sangat menikmati pemandangan yang telah diberikan Tuhan. Matahari yang hampir tenggelam menambah indah rupa foto yang kami ambil.
Langkah-langkah kecil menuju rumah, menemani perbincangan kami. Tak ada segores kesedihan yang tergambar di wajah Waro kali ini. Aku kagum padanya sebagai seorang wanita. Ia tampak seperti bunga yang mekar dalam lumpur. Aku memandang sosok Waro adalah seseorang yang paling langka dan indah dari semua. Apa aku mulai menyukainya?
Ah, lagi-lagi rasa ini muncul kembali. Kutepis jauh-jauh bisikan itu dan perlahan aku mulai membuka suara. Dengan hati-hati aku melanjutkan perbincangan kami yang sempat terputus karena sebait kalimat Waro yang mampu menghentikan selangkah ucapanku tadi.
“Ro, apa pandanganmu tentang agama?” tanyaku sambil melangkah perlahan kembali ke rumah.
“Agama? Menurutmu sendiri gimana, Fan?”
Aku terdiam sesaat mendengar lontaran pertanyaan yang kembali mengarah padaku. Kupandangi wajah patung itu yang tetap berdiri tegak. “Agama itu suatu kepercayaan kita pada Tuhan,” jawabku pelan.
“Lalu kenapa kamu memercayai Tuhanmu? Apakah karena kamu dilahirkan dari keluarga yang beragama Islam atau kamu benar-benar mencari kebenarannya sendiri?”
“Iya memang saya dilahirkan dari keluarga yang sudah beragama Islam, dan saya percaya akan kebenarannya,” jawabku dan kemudian langsung dilanjutkan Waro.
“Itu, kan menurut pandanganmu menilai kebenaran agama yang kamu yakini, Fan. Semua orang juga akan menilai dari kaca mata mereka, bahwa agama yang mereka yakini sama baiknya dengan agamamu,” balas Waro menanggapi pernyataanku. 
“Lalu menurutmu, agama itu seperti apa?” tanyaku ingin mengetahui pendapatnya.
Sejenak suasana mendingin ketika sampai di serambi rumah. Waro tak berkata setelah lontaran pertanyaan kuberikan untuknya. Lalu dengan nadanya yang hampir tenggelam bersama senja hari, dia berucap pelan,“Saya takut, Fan.”
Aku tak mengerti apa yang ditakutinya dengan pertanyaan yang kulontarkan tadi. Aku malah merasa bersalah dengan perkataanku, apakah dia tersinggung?
Aku mencoba mengganti topik perbincangan. Tetapi belum habis aku berpikir topik yang lain, dia mulai menceritakan semua ketakutannya. Dia lebih senang menutup diri dengan lingkungannya selama ini ketika ditanyai tentang Tuhan.
“Banyak orang menilai seorang atheis tidak bermoral karena tidak memiliki aturan,” katanya lirih, seolah tak ingin ada yang mendengarnya. “Padahal atheisme tidaklah demikian.”
Beberapa saat kami terdiam. Karena aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menanggapi Waro. Kubiarkan dia menyelesaikan semua yang ingin dikatakannya.
“Saya tidak menyalahkan mereka. Tapi atheisme bukanlah orang tanpa aturan. Sayalah yang tahu tentang hidup saya sendiri. Meskipun tidak percaya Tuhan, tapi saya hidup didasari oleh moralitas pada akal budi, dan mengakui segala keterbatasan.”
“Mengapa kau tidak percaya Tuhan?”
“Saya percaya akal,”
“Kau butuh cinta, Ro,”
“Cinta? Kau pikir saya ini apa?”
Waro berucap sambil melotot ke arahku. Tampak dia kurang senang dengan topik cinta itu. 
“Kau pernah dengar nama Jalaluddin Rumi?”
Waro menggeleng.“Siapa dia?”
“Seseorang yang fasih bicara cinta. Dalam agama kami, Rumi dikenal sebagai guru sufi, orang yang sangat mengenal Tuhan di dalam dirinya. Jika kau tahu perkataan Rumi, kau pasti mengerti kenapa saya bilang kau butuh cinta.”
“Memangnya Rumi bilang apa?”
Aku berusaha membuat kesan pada kalimat yang akan kuucapkan, berharap Waro akan mengenangnya. Jika bukan mengenang perkataan Rumi, setidaknya Waro mengenang aku yang pernah mengucapkan kata-kata Rumi itu.
“Kata Rumi, Dunia Tuhan hanya bisa ditembus dengan cinta.”
Waro tak bicara lagi. Mungkin dia merenung. Entahlah. Aku tahu, Waro tak hanya indah seperti bunga. Namun ada yang lebih dari itu, ia juga kokoh seperti karang. Perkataannya cukup membuat aku berfikir ulang tentang Tuhan. Sampai terbawa tidur.
Air laut yang meninggi seakan menyuruh kami untuk segera beristirahat. Udara malam terasa mendekap erat.
Memang, waktu yang terlalu singkat untuk mengenal seorang yang bernama Waro Itaar, dengan perawakannya yang tinggi, berkulit agak gelap dengan rambut bergelombang. Ditambah parasnya yang lonjong, sama sekali tidak menunjukkan kesan seorang yang tertekan, apalagi matanya yang sangat pandai menyimpan goresan misteri kehidupan.
***
Dari kejauhan telah tampak Pasar Yotefa yang ramai dengan beragam aktivitas untuk mencari rezeki sehari-hari. Semua kebutuhan sandang dan pangan terdapat di tempat ini. Pasar ini selalu ramai karena harga yang ditawarkan penjual lebih murah dibandingkan dengan harga yang dijual di toko-toko.
Namun pada saat siang hari sangat jarang ada pembeli yang mau singgah karena cuaca pada siang hari di tempat ini seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan batu neraka. Hembusan angin disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Deruan suara klakson motor menambah ramainya kemacetan di pasar Yotefa. Debu-debu yang bertebaran bersama terpaan sinar mentari cukup membuat anak-anak penjual sayur merengek meminta pulang tapi mama-mama itu hanya bisa berkata, “Sabar, sebentar lagi sore.”
Hanya kata itu yang membuat mereka sedikit tenang.
Seketika terbayang wajah bapak dan ibu ketika mengajakku ke ladang jika tidak ada jam mengajar di sekolah. Memang sangat menyenangkan ketika diajak bersama mereka, namun jika mentari sudah setinggi tombak aku langsung meminta pulang. Ketika ibu telah mendengar keluhanku, ia langsung mengajak Bapak segera pulang karena tanda waktu shalat dhuha harus dijalankan. Aku terhanyut dalam lamunan. Waro hanya tersenyum melihatku seperti kesambet jin pasar.
“Kamu kenapa?” tanyanya cekikikan menertawaiku.
“Tidak apa, Ro. Saya hanya teringat bapak dan ibu di kampung.”
“Hahaha, kamu seperti orang linglung, Fan. Dipanggil tidak dengar.”
“Orang manggil? Siapa?” tanyaku heran mencari sumber suara yang memanggilku.
“Itu di sana. Sepertinya bapakmu. Wajahnya mirip denganmu.”
Kupicingkan mataku mencari asal suara. Kepalaku celingukan memandangi sekitar terminal. Namun tak kudapati wajah bapak yang khas bersemak kumis tebal. Di samping  sebuah bus berwarna putih, tepat di sebelah warung kopi, mataku menyorot pada mulut lelaki yang bergerak-gerak mengunyah sirih. Bibirnya merah oleh warna sari getah sirih dan pinang yang bercampur kapur.
Dengan suaranya yang kurang jelas dan keras terdengar dia tampak memanggil namaku, dan memanggil-manggil beberapa penumpang yang akan menaiki busnya. Langkah kakiku perlahan mendekat untuk memastikannya.
Wajah Kang Taryo terlihat jelas dengan kebiasaannya yang selalu mengunyah-ngunyah pinang. Meskipun Kang Taryo berasal dari suku asli Jawa, namun sejak kecil dia sudah terbiasa dengan lingkungan sekitarnya, memakan pinang dan sirih sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Menurutnya, mengunyah pinang sirih dapat menghilangkan rasa bosan dan kantuk ketika menyetir, di samping itu pula dapat menguatkan gigi.
Aku senang bisa bertemu dengannya. Jarang-jarang ada supir bus dari pedalaman Bonggo yang bisa ke kota karena memang jaraknya sangat jauh. Selain itu juga jembatan yang masih sering putus dan selalu ada saja kendala lainnya yang menghambat. Dia memberikan sepucuk surat setelah kami bercakap cukup lama.
Memang sulit untuk berkomunikasi di Bonggo, karena belum ada sinyal hp di kampungku itu. Sehingga kami hanya bisa saling berkirim surat untuk berkomunikasi. Segera kusimpan surat itu ke dalam tas.
Meskipun sudah terlihat tua tapi masih dapat kuajak kemana-mana. Ini adalah tas bersejarah yang setia menemaniku menuntut ilmu sejak di Madrasah Tsanawiyah, hingga saat ini menempuh S1 di Universitas Cenderawasih di Jayapura. Aku berharap ada kabar baik dari keluarga ketika membaca isi suratnya.
Surat iki wes suwe bapakmu titipne neng aku, Fan. Koyok e penting. Nyuwun pangapunten, lagi ketemu saiki karo awakmu,”[1] ucap Kang Taryo merasa bersalah.
“Tidak apa Kang. Memang seperti itu kondisinya. Yang penting suratnya sudah nyampe sekarang. Makasih banyak ya, Kang.”
***
Kuletakkan tas ransel dan berbagai macam barang bawaan di sudut ruangan kamarku. Ruangan yang mungkin hanya cukup untuk menaruh beberapa barang dan tempat tidur untuk beristirahat. Aku bukanlah satu-satunya mahasiswa yang mau menyewa tempat seperti ini dengan tarif yang cukup mahal setiap bulannya.
Banyak mahasiswa yang menyewa kos-kosan untuk tempat mereka tinggal selama masa perkuliahan. Kebanyakan mereka berasal dari jauh dan tidak memiliki sanak saudara di Jayapura seperti Nabire, Merauke, bahkan mahasiswa dari Jawa dan Makassar. Selain itu, banyak juga mahasiswa dari kampung yang jaraknya sangat jauh seperti aku yang berasal dari Kampung Bonggo, dan teman-teman kosku yang dari Arso, Pir, Nembokrang, dan Taja.
“Baru pulang, Fan?” sapa teman kosku yang melihatku baru nongol di kamar.
“Iya. Kemarin liburan ke Metu Debi. Diajak Waro, anak kos depan.”
“Cie...,  sudah mulai pedekate sama anak kos depan. Kenalin dong, Fan?”
Aku hanya mengangguk mananggapinya. Waro dan teman-temannya tinggal tepat di depan kosku. Tempat Waro tinggal khusus untuk perempuan saja. Begitu pula tempat yang aku tinggali ini, khusus untuk laki-laki saja. 
“Eh, di kulkas ada ikan. Kalau mau masak ambil saja,” kataku mengalihkan pembicaraan.
Aku tidak mau meneruskan candaannya karena jika dilanjutkan tidak akan habis perkaranya. Kami sudah terbiasa dengan berbagi jika memiliki kelebihan. Mereka lebih sering membawa sayuran dari Arso jika pulang akhir pekan, karena dengan seperti itu lebih menghemat biaya kehidupan sehari-hari.
Di rumah ini kami hidup berlima. Kebetulan kami menempuh pendidikan pada semester yang sama di Universitas Cendrawasih, tapi dengan fakultas yang berbeda-beda. 
Kusandarkan kepalaku di atas bantal berukuran sedang. Mataku terhanyut bersama rasa lelah ke dalam selimut mimpi yang indah. Tampak sebuah tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kakiku berpijak pada lapangan rumput hijau yang luas terbentang. Kicauan burung menambah ramai, bersama bunga-bunga matahari yang bermekaran.
Seorang wanita didampingi dua pria yang tak kukenal mendekatiku. Sosok wanita itu mendekapku, samakin lama dekapannya semakin erat, namun seketika dekapan itu hilang. Kupandangi parasnya seperti pinang dibelah dua, tampak persis dengan wajah ibu. Dari wajahnya memancarkan seberkas cahaya. Wajahnya semakin jauh tersamarkan oleh kabut yang kian lama tak jelas terlihat, kemudian hilang.


[1]                      “Surat ini sudah lama dititipkan bapakmu ke aku, Fan. Sepertinya penting. Maaf ya, baru ketemu kamu sekarang.” (Jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar