Kamis, 01 September 2016

Esai Andy Tagihuma: Sastra Papua dan Perkembangannya



Sastra Papua dan Perkembangannya
Andy Tagihuma[1]


Mendengar kata sastra, bagi masyarakat di Papua terasa asing. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sastra sangat berkaitan erat dengan kehidupan orang Papua. Dalam konteks ini, sastra yang dikenal adalah tradisi lisan atau sastra lisan[2]. Hingga saat ini tradisi lisan yang masih dituturkan di sebagian masyarakat Papua misalnya; cerita rakyat (dongeng, mitos, legenda, pantun, fabel), cerita lucu (mop), teka-teki, nyanyian rakyat, juga syair yang di lantunkan saat perkabungan dalam satu keret atau klan.
Papua, dengan lebih dari 250 suku dan bahasa, sangat kaya akan sastra lisan. Setiap suku, klan dan keret memiliki cerita. Biasanya mengenai kisah asal-usul dan kehidupan sosial yang penuh dengan nilai moral, juga kearifan dalam kosmologi kehidupannya. Sastra lisan ini dikelompokkan dalam folklor atau folktale, yang mencakup kategori dan jenis yang sangat beragam, masing-masing sulit dibedakan dari yang lain. Termasuk di dalamnya cerita-cerita duniawi dan babad-babad tradisional, di mana tidak dapat ditemukan sisa suasana keajaiban yang menjadi ciri khas mitos dan dongeng. Akan tetapi dalam sebutan folktale tercakup juga dongeng, tradisi, dan legenda, yang sedikit banyak berciri suasana keajaiban. (J. van Baal 1987) dan (Danandjadja, 2002).
Mitos di Papua secara umum konsepnya tidak berbeda dengan mitos di Yunani. Misalnya, mitos Nabula Kabula, Nabelan Kabelan dari Lembah Baliem dan Lani. Selain itu juga mitos Beorpict, Fumiripict dari Asmat, Manarmakeri dari Biak, dan Waoi Iram dari Nimboran. Mitos-mitos merupakan alegori yang disusun oleh para penyair, tentang perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai bakat dan watak manusia. Misalnya, rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori semacam itu ada topangannya dalam kenyataan. Tidak dapat diingkari bahwa beberapa Dewa Yunani Kuno dikaitkan dengan segi-segi tertentu dari alam atau sifat-sifat dan kegiatan manusia. Poseidon dan Neptunus dikaitkan dengan laut, Helios dengan matahari, Diana dengan perburuan, dan Athena dengan kebijaksanaan.[3]
Di Selatan Papua, tepatnya di Merauke, Suku Marind-Anim menunjukkan rasa hormat yang ajaib ketika menceritakan mitos-mitos mereka. Ada juga sastra lisan yang dituturkan sebagai cerita-cerita lelucon, yang menimbulkan gelak tawa. Kebudayaan menuturkan cerita lucu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan di kawasan Melanesia. Di Papua, cerita lucu ini kemudian dikenal dengan istilah mop. Pada masing-masing suku, mop mempunyai tempat tersendiri dengan istilah yang berbeda. F.J.F. van Hasselt mengatakan, “Mereka membuat lelucon, dan tidak seorang asing pun yang melihat atau mendengar mereka, akan menyebut mereka tidak bahagia; terdengar banyak orang tertawa.”




Dari Sastra Lisan ke Sastra Tulis

Perkembangan kemajuan dari sastra lisan menuju sastra tulis di Papua dimulai pada abad ke-19. Saat itu, dua orang pemuda usia dua puluhan, Carl Williem Ottow (1826-1862), danJohan Gottlod Geissler (1830-1870) menginjakkan kaki di Tanah Papua pada 5 Februari 1855. Mereka adalah dua misionaris pertama di Tanah Papua. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1857, sekolah pertama dibuka di Mansinam, Manokwari. Nyonya Ottow menyediakan sebuah bilik di rumah Ottow untuk dijadikan ruang kelas tempat anak-anak belajar.
Setelah murid bertambah banyak dan terbiasa belajar di ruang kelas, barulah sekolah permanen dibangun. Di sekolah itu Pdt. Geissler memberikan pelajaran bahasa Melayu kepada para murid asli Mansinam.[4] Tampaknya pelajaran membaca menjadi prioritas di sekolah itu, agar murid-murid segera mampu membaca Alkitab. Namun, pelajaran lain juga diberikan, seperti menulis, berhitung, dan pendidikan budi pekerti.[5] Murid-murid menerima pelajaran dari jam 08.00 sampai jam 12.00. Sesudah itu, bebaslah mereka untuk makan, bermain, atau tidur. Tetapi jam 16.00 sampai jam 18.00 mereka harus belajar bekerja.
Pengerjaan awal sastra tulis dilakukan Ottow bersama istrinya pada tahun 1857. Mereka berhasil menyusun suatu daftar kata dalam bahasa Numfor yang berisi ratusan kata-kata. Pada tahun berikutnya mereka menyerahkan suatu daftar berisi seribu kata kepada dua peneliti yang datang ke Doreh (Dore), di Teluk Wondama, Papua Barat, menggunakan kapal Etna. Ottow menjelaskan bahwa ia "terpaksa” menggunakan banyak kata-kata Melayu, karena dalam bahasa Numfor tak ada kata-kata untuk hal-hal rohani. Ottow mengeluh juga, ketika mendengar sepatah kata yang tak dikenalnya dan menanyakan artinya, ia selalu mendapat jawaban: "Ya fau i ba," (Saya tak tahu).[6]
Selain menulis daftar kata, pada bulan Januari 1857 Ottow bersama istrinya mulai menulis Tinjauan Singkat tentang Negeri dan Penghuni Pantai Nieuw Guinea Timur Laut. Artikel ini merupakan inventarisasi yang hampir lengkap. Data-data yang dikemukakannya juga cukup dapat dipercaya. Namun sayangnya masih kurang dalam hal yang terpenting, yaitu mengenai organisasi sosial. Ottow dan Geissler secara sadar telah mengamati dan mencatat apa-apa yang mereka temukan di Mansinam. Terutama Ottow, perihal mencatat dilakukannya dengan tekun. Metode yang mereka gunakan bukanlah suatu metode penelitian sistematis, menggunakan daftar pertanyaan dan model-model, seperti yang dipraktikkan oleh para ahli zaman sekarang. Tetapi mereka menggunakan metode yang di dalam antropologi budaya disebut: observasi dengan partisipasi.[7]
Walaupun kesulitan dalam menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Numfor, namun Ottow mulai berkhotbah dalam bahasa Numfor di tahun 1858. Dengan kemampuan yang masih terbatas itu, Ottow juga berani menerjemahkan empat buah lagu,[8] kemudian mengarang enam lagu. Kumpulan lagu tersebut diterbitkan tahun 1861. Dalam kurun tujuh puluh delapan tahun (1857-1935), telah diterbitkan puluhan buku tentang Numfor, terutama atas prakarsa Ottow dan Geissler. Di antara buku-buku tersebut dapat saya kemukakan sebagai berikut.

  1. Spel-en leerboekje voor de scholen op Nieuw-Guinea.
Buku ini tidak diketahui pengarangnya. Diterbitkan sebanyak empat volume oleh penerbit Kemink & Zoon di Utrecht, Belanda, pada tahun 1867. Isi buku ini adalah panduan permainan-permainan, digunakan di sekolah dasar di Nieuw Guinea.

        2.      Fajasi Rjo Refo Mansren Allah Bjeda: Tjeritera Alkitab.
      Buku ini ditulis oleh Geissler pada tahun 1868, berisi  kisah-kisah Alkitab dalam bahasa Numfor.

  1. Is orne refo rijo Markus kiawer kwaar ro woois woranda be woois Noefoor: het evangelie van Markus overgezet uit de Nederduitsche in de Papoesch-Noefoorsche taal. (Masmur ma Dou Numfor).
Buku ini ditulis oleh Geissler pada tahun 1871 dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon di Utrecht, Belanda. Isinya adalah Injil Markus dan nyanyian Mazmur dalam bahasa Numfor.

4.      Allereerschte beginselen de Papoesch-Mefoorsche taal.
Buku ini ditulis oleh J.L. van Hasselt pada tahun 1868 dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht. Isinya adalah petunjuk dasar bahasa Numfor.

5.      Hollandsch-Noefoorsch en Noefoorsch-Hollandsch woordenboek.
Buku ini merupakan Kamus bahasa Belanda-Numfor dan Numfor-Belanda. Disusun oleh J.L. van Hasselt pada tahun 1876, dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht.

6.      Beknopte Spraakkunst der Noefoorsche taal.
Buku ini ditulis J.L. van Hasselt tahun 1876. Diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht, Belanda. Di dalamnya berisi tata bahasa ringkas bahasa Numfor.
7.      Noefoorsch-Hollandsch woordenboek tweede verbeterde en vermeerderde uitgaaf.
Buku ini adalah Kamus bahasa Numfor-Belanda yang direvisi dengan penambahan kosakata. Disusun oleh J.L. van Hasselt pada tahun 1893, dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht, Belanda.

8.      Spraakkunst der Nufoorsche taal.
Buku ini berisi tata bahasa Numfor. F.J.F. van Hasselt, putra dari J.L. van Hasselt, menulisnya pada tahun 1905 dan diterbitkan oleh penerbit Nijhoff di 's-Gravenhage (Den Haag), Belanda.

9.      'Nufoorsche fabelen en vertellingen: tekst vertaling en aantekeningen'. Bijdragen tot de taal, land en volkenkunde van Nederlands IndiĆ« 61, pp. 477-588.
Buku ini ditulis oleh F.J.F. van Hasselt pada tahun 1908. Isinya adalah cerita dongeng dalam bahasa Numfor yang disertai dengan terjemahan dan penjelasannya. Buku ini merupakan salah satu dokumentasi sastra etnografi di Hindia Belanda.
 
10.  Fafaja ro refo bekwar ia.
Buku ini ditulis oleh F.J.F. van Hasselt pada tahun 1932, diterbitkan oleh penerbit Nederlandsch Bijbelgenootschap di Amsterdam, Belanda. Buku ini merupakan Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Numfor.

Ottow dan Geissler merasa bahwa buku merupakan salah satu alat vital dalam pekerjaan mereka di Papua. Oleh sebab itu, mereka melakukan penerjemahan bahasa Melayu ke dalam bahasa Numfor sebagai bahan-bahan ajar di sekolah, juga di jemaat. Selain itu, mereka juga menyediakan buku-buku untuk pelajaran membaca dan pengetahuan umum. Pengerjaan menerbitkan buku dalam konteks Papua ini kemudian di lanjutkan oleh F.J.F. van Hasselt, Bink, Tiemersma dan I.S. Kijne.
Bagi murid sekolah dasar, pelajaran membaca dimulai dengan belajar membaca, atau bernyanyi dalam bahasa daerah. Pada waktu itu buku yang digunakan adalah 10 Nyanyian Numfor karangan Ottow. Hal ini diharapkan bisa mempermudah anak-anak belajar membaca. Murid-murid yang sudah pintar membaca disediakan buku-buku bacaan pengetahuan umum dan kitab Injil, yang dikarang dalam bahasa Melayu. Pada perkembangan pendidikan selanjutnya, diterbitkan buku bacaan dalam bahasa daerah, yaitu surat Wasja Ra I dan Ra II yang digunakan di kelas I dan II Sekolah Dasar. Sementara di kelas III digunakan buku bacaan Kakofen ma Kakaik (Cerita Perumpamaan) dalam bahasa Numfor. Sungguh suatu kerja keras yang luar biasa pada zaman itu.
Di awal era 1900-an, pemerintah membuat aturan untuk memajukan pendidikan dengan menetapkan 75% dari ongkos sekolah di seluruh Papua ditanggung oleh Pemerintah. Hingga di tahun 1925 diberlakukan peraturan subsidi umum, bahwa pemerintah akan menanggung semua biaya sekolah. Namun untuk peralatan pelajaran ditanggung oleh kas masing-masing onderafdeling.[9] Pada masa perang dunia II, banyak buku-buku yang hilang. Selain itu, sebagian besar para pekerja zending ditangkap dan dibuang ke luar Papua. Beberapa orang di antaranya meninggal di tanah buangan tersebut.
Setelah perang dunia II, para pekerja zending pulang ke Papua dan mulai membangun kembali pekerjaannya. Toko buku zending di Jayapura, Biak, Manokwari, dan Sorong kembali dibuka. Buku Nyanyian Rohani karangan Pdt. I.S. Kijne yang telah dicetak kembali dijual bersama buku-buku rohani lainnya. Terdapat pula buku Tata Gereja, buku Petrus Kafiar, dan lain-lain.

Sastra di Media

Di era 1950-an, media cetak di Papua mulai berkembang dengan hadirnya beberapa media, antara lain, Nieuw Guinea Kurier, TRITON, De Tifa, PENGANTARA, dan Teropong. Menurut Jonas Ansaka, yang pernah bekerja di Nieuw Guinea Kurier, media ini memiliki oplah sampai 1000 eksemplar. Distribusi media ini meliputi berbagai daerah di Papua, bahkan sampai ke Negeri Belanda.
Secara khusus, sastra (cerpen dan puisi) mendapat tempat di Majalah TRITON. Di dalamnya menyediakan rubrik untuk puisi dan cerita pendek. Salah satu puisi yang pernah dimuat adalah karya A Mampioper.

Sauh adat penambat adat kekunoan?
Sauh adat penambat adat kebaharuan!

Tagal itu marilah kawan sekalian
Sebagai keluarga majalah Triton
Tjamkanlah adat-adat kekunoan
Sebagai tjontoh suling bia Triton

Demikian tampak pada foto
Di Semimi-Senabaai satu tjontoh
Pertemuan peta kuno dan moderen
Dipakai bersama menjamin keamanan

Itulah parang-pisau-panah-busur
Pistol automatis-jungle-kerbijns-mouser
Pakaian putih-hijdau-tjawat-topi pet
Pendatang takut lari rasa hutan adalah sempit

Lain dari senjata kuno tersebut
Menjanji adat dengan tifa tidak ribut
Itulah talenta dari yang Abawi
Perbaikilah untuk hormat Bapak Samaawi

A Mampioper, Majalah TRITON, tahun ke-4 Juli 1958 no. 7

Selain puisi, ada juga cerpen di Majalah TRITON. Nama rubriknya “Rayori, Zaman Kita”. Berikut adalah petikan salah satu cerpennya.

"GADIS KAMPUNG"

“SEBATANG MAWAR JANG DITANAM.
DJIKA DIRAWAT SIANG DAN MALAM,
TENTU SEKALI KEMBANGNJA ELOK,
TAMBAHAN PULA BAUNJA SEMERBAK.”

Ramai benar di rumah kepala kampong, karena anaknja laki-laki tadi petang telah naik “tachta radja sehari", beristerikan Nona Hermalina, anak tukang besi di kampung itu. Lebih ramai lagi dari festa kawin lain, karena kedua pengantin anak orang berada, pula sama-sama sekolah. Ditahil sama berat, diukur sama tinggi, sama-sama bersajap bagaikan elang dan tjenderawasih. Djika duduk besanding laksana matahari dan bulan.
Orang panggilan, bukan sadja keluarga dalam kampung itu, melainkan kaum kerabat djauh-djauhan nampak. Sudahlah mendjadi adat dalam kampong, pihak laki-laki datang untuk menolong. Tetapi pihak perempuan bukan sadja menolong, pun menuntut bahagian maskawin dari pihak laki-laki. Benarlah sebagai bidal: “Selama tanah dipidjak, selama itu langit didjundjung". Karena kebetulan perkawinan itu terdjadi dalam waktu liburan, maka nampak djuga kawan sebaja kedua pengantin baru itu, baik jang berdekatan pun satu dua dari daerah lain. Sebagai tamu agung, nampak djuga Tuan Kepala distrik dan Njonjanja duduk semedja dengan pengantin. …. (TRITON - Rayori, Zaman Kita)

Saat Indonesia masuk ke Papua tahun 1961, Nieuw Guinea Kurier dan media-media lainnya ditutup. Maka, berakhirlah “sastra media” di Papua pada masa itu. Aset De Tifa diambil alih keuskupan Jayapura. Kemudian melalui Yayasan Pers Katolik berganti nama menjadi Tifa Irian. Di kemudian hari, setelah masa reformasi, namanya diganti lagi menjadi TifaPapua.
Kepala Perwakilan RI di Papua, Sudjarwo Tjondronegoro, merintis terbitnya Tjendrawasih pada tahun 1962. Nasib harian pertama di Papua ini kembang kempis, bahkan sempat berubah menjadi mingguan. Di tahun 1993, mingguan Tjendrawasih dibeli oleh kelompok usaha Jawa Pos dan diubah namanya menjadi Cendrawasih Pos.
Cenderawasih Pos dan Tifa Irian kembali mengembangkan “sastra media”, namun tidak bertahan lama. Di pertengahan 1990-an, kedua media tersebut tidak lagi memuat cerpen ataupun puisi dalam terbitannya. Sastra Papua kembali kehilangan medianya. Hal ini tentu menyebabkan perkembangan sastra di Papua terhenti.
Saat ini sastra di Papua lebih berkembang di media online, blog, facebook, dan situs tak berbayar lainnya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang menentukan kualitas sastra cyber Papua? Bagi perkembangan sastra ke depan, tentu hal ini cukup meragukan. Jika sastra di Papua tidak memiliki ruang, dan perkembangannya hanya melalui media online, dikhawatirkan hal ini dapat memengaruhi penilaian terhadap kualitas sastra tersebut.  
Perkembangan sastra, termasuk diterbitkannya buku berbahasa daerah (muatan lokal) dalam dunia pendidikan di Papua bukanlah hal baru. Dalam rekaman jejak panjang perjalanan sastra sejak tahun 1880-an hingga 1980-an, kita bisa mendapati banyak buku diterbitkan. Para penulisnya adalah mereka yang sangat paham dengan kondisi sosio kultural dan etnografi Papua. Buku-buku tersebut diterbitkan dan digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah di Papua, sekaligus menjadi pilar pembangunan bangsa, khususnya di Papua. Sayangnya, sejak tahun 1990-an perkembangan yang bagus itu mengalami kemunduran.
Menjadi ironi jika buku-buku dengan logo pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat, tatapi pengerjaan dan penerbitannya dilakukan di luar Papua. Kemungkinan besar isinya mengandung bias pemahaman tentang kehidupan, kultur sosial, dan etnografi. Di era Otonomi Khusus, sudah selayaknya dan tak berlebihan jika buku menuntut diberi tempat yang khusus pula. Buku-buku itu harus dikerjakan dan diterbitkan oleh instansi dan institusi pendidikan yang ada di Papua. []

Referensi

Geurtjens, H. De Katholieke Missie op Nieuw-Guinea in Nieuw-Guinea, Vol. I, edited by W.C. Hasselt, 1935.
F.J.F. van, De Zending op Nederlandsch Nieuw-Guinea in Nieuw-Guinea, Vol. I, edited by W.C. Klein, Chapter 9. Amsterdam: De Bussy, Molukken Instituut, 1935.
Rauws, John, Pdt., Onze Zendings Valden Nieuw Giunea, Zending Studie Raad, 1919.
Miedema, J. Texts from the Oral Tradition in the South-Western Bird’s Head, 1995.
Scrool, Pim., Bestureen in Nederlands Nieuw guinea, KILTV, 1996.
Boelaar, J., Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia, 1986.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Renwarin, Herman, Sejarah sosial daeah Irian Jaya dari Hollandia ke Kotabaru (1910 - 1963).
Rumainum, F.J.S., Guru Petrus Kafiar: Putera Irian Barat yang Pertama Menjadi Pembawa Suluh Kristus, Sukarnapura: Kantor Pusat Gereja Kristen Injili di Irian Barat, 1966.
Hasselt, F.J.V van, Di Tanah Orang Papua. Jayapura: Yayasan Timotius Papua dan Yayasan HAPIN Belanda, 2002.
Mansoben, Johszua Robert. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI RUL, 1995.
Visser, E. Leontine dan Jom Amapom, Bakti Pamong Praja di Era Transisi Kekuasaan Belanda Ke Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2008.
Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1981.
Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita II: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1982.
Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita III: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1994.
Onim, J.F., 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua, Jayapura: Sekolah Tinggi Teologi GKI I.S. Kijne, 2004.
Rainer, Scheunemann, Fajar Merekah di Tanah Papua, Hidup dan karya Rasul Papa Johan Gottop Geislsler (1830-1870), Panitia Yubilium Emas 150 tahun Hari pekabara Injil di Tanah Papua, 2009.
Ramandei, J.H., Gereja dan Pendidikan Kristen Di Nieuw Guinea (Papua) 1856-2001, Jayapura, 2007.
Rumere Z, Onim, Dengarlah Ottow Berbicara, Jayapura: Deiyai Yaklama, 2005.
Sefa, E.D., Ensikopedia Suku Bangsa Di Papua Catatan Ketiga, Jayapura: Yayasan Percetakan GKI Papua, 2005.
Rumsawir, Pdt. W.F. 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua,
Jayapura: Pusat Pengabdian dan Penelitian (Ablit), Sekolah Tinggi Teologi GKI I.S. Kijne, 2004.


[1]              Penggiat sastra Papua, pernah menjadi wartawan di beberapa media di Papua dan luar Papua.
[2]              Konteks Sastra Lisan dalam tulisan ini merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002); 1. Hasil kebudayaan lisan di masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis di masyarakat modern, 2. Sastra yang diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat; Selain itu, yang juga berkaitan adalah Susastra; Sastra yang isi dan bentuknya sangat serius berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan, kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai sarana sehingga mencapai  syarat estetika yang tinggi.
[3]              Baal, Ilmu Antropologi I, 1987.
[4]              Bahasa Melayu yang dipakai pada saat itu adalah standar Bahasa Melayu Malaysia, sehingga beberapa buku terbitan Papua masuk dalam katalog buku Bahasa Melayu di Malaysia. Saat ini bahasa Melayu tersebut telah berkembang menjadi Bahasa Melayu Papua.
[5]              Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Tahun Zending di Papua.
[6]              Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1981.
[7]              Metode pendekatan pastisipasi saat ini digunakan pula dalam penulisan antropologi etnografi.
[8]              Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1981.
[9]              Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 5 Februari 1899 nomor 19, menetapkan delapan Afdeling (kabupaten) di wilayah Hindia Belanda bagian Timur. Dua di antaranya adalah Afdeling Noord Nieuw Guinea dan Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea yang dimuat dalam Staatsblad nomor 63/102. Dalam Afdeling terdapat beberapa Onder Afdeling (Distrik).

1 komentar:

  1. Tak kenal maka tak sayang. Menjadi diri sendiri, itu yang terbaik.

    BalasHapus