Sastra Papua dan Perkembangannya
Andy Tagihuma[1]
Mendengar kata sastra, bagi masyarakat di Papua terasa
asing. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sastra sangat berkaitan erat dengan
kehidupan orang Papua. Dalam konteks ini, sastra yang dikenal adalah tradisi
lisan atau sastra lisan[2].
Hingga saat ini tradisi lisan yang masih dituturkan di sebagian masyarakat
Papua misalnya; cerita rakyat (dongeng, mitos, legenda, pantun, fabel), cerita
lucu (mop), teka-teki, nyanyian rakyat, juga syair yang di lantunkan saat
perkabungan dalam satu keret atau klan.
Papua, dengan lebih dari 250 suku dan bahasa, sangat kaya
akan sastra lisan. Setiap suku, klan dan keret memiliki cerita. Biasanya
mengenai kisah asal-usul dan kehidupan sosial yang penuh dengan nilai moral,
juga kearifan dalam kosmologi kehidupannya. Sastra lisan ini dikelompokkan
dalam folklor atau folktale, yang mencakup kategori
dan jenis yang sangat beragam, masing-masing sulit dibedakan dari yang lain.
Termasuk di dalamnya cerita-cerita duniawi dan babad-babad tradisional, di mana
tidak dapat ditemukan sisa suasana keajaiban yang menjadi ciri khas mitos dan
dongeng. Akan tetapi dalam sebutan folktale tercakup juga dongeng, tradisi, dan
legenda, yang sedikit banyak berciri suasana keajaiban. (J. van Baal 1987) dan
(Danandjadja, 2002).
Mitos di Papua secara umum konsepnya tidak berbeda dengan
mitos di Yunani. Misalnya, mitos Nabula Kabula, Nabelan Kabelan dari Lembah Baliem dan Lani. Selain itu juga
mitos Beorpict, Fumiripict dari Asmat, Manarmakeri dari Biak, dan Waoi Iram
dari Nimboran. Mitos-mitos
merupakan alegori yang disusun oleh para penyair, tentang perjuangan antara
unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai bakat dan watak manusia. Misalnya,
rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori semacam itu ada
topangannya dalam kenyataan. Tidak dapat diingkari bahwa beberapa Dewa Yunani
Kuno dikaitkan dengan segi-segi tertentu dari alam atau sifat-sifat dan
kegiatan manusia. Poseidon dan Neptunus dikaitkan dengan laut, Helios dengan
matahari, Diana dengan perburuan, dan Athena dengan kebijaksanaan.[3]
Di Selatan Papua, tepatnya di Merauke, Suku Marind-Anim
menunjukkan rasa hormat yang ajaib ketika menceritakan mitos-mitos mereka. Ada
juga sastra lisan yang dituturkan sebagai cerita-cerita lelucon, yang
menimbulkan gelak tawa. Kebudayaan menuturkan cerita lucu merupakan salah satu
bagian dari kebudayaan di kawasan Melanesia. Di Papua, cerita lucu ini kemudian
dikenal dengan istilah mop. Pada
masing-masing suku, mop mempunyai
tempat tersendiri dengan istilah yang berbeda. F.J.F. van Hasselt mengatakan,
“Mereka membuat lelucon, dan tidak seorang asing pun yang melihat atau
mendengar mereka, akan menyebut mereka tidak bahagia; terdengar banyak orang
tertawa.”
Dari Sastra Lisan ke Sastra Tulis
Perkembangan kemajuan dari sastra lisan menuju sastra tulis
di Papua dimulai pada abad ke-19. Saat itu, dua orang pemuda usia dua puluhan,
Carl Williem Ottow (1826-1862), danJohan Gottlod Geissler (1830-1870)
menginjakkan kaki di Tanah Papua pada 5 Februari 1855.
Mereka adalah dua misionaris pertama di Tanah Papua. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1857, sekolah pertama dibuka di
Mansinam, Manokwari. Nyonya Ottow menyediakan sebuah bilik di rumah Ottow untuk
dijadikan ruang kelas tempat anak-anak belajar.
Setelah murid bertambah banyak dan terbiasa belajar di ruang
kelas, barulah sekolah permanen dibangun. Di sekolah itu Pdt. Geissler
memberikan pelajaran bahasa Melayu kepada para murid asli Mansinam.[4] Tampaknya pelajaran
membaca menjadi prioritas di sekolah itu, agar murid-murid segera mampu membaca
Alkitab. Namun, pelajaran lain juga diberikan, seperti menulis, berhitung, dan
pendidikan budi pekerti.[5]
Murid-murid menerima pelajaran dari jam 08.00 sampai jam 12.00. Sesudah itu,
bebaslah mereka untuk makan, bermain, atau tidur. Tetapi jam 16.00 sampai jam
18.00 mereka harus belajar bekerja.
Pengerjaan awal sastra tulis dilakukan Ottow bersama
istrinya pada tahun 1857. Mereka berhasil menyusun suatu daftar kata dalam
bahasa Numfor yang berisi ratusan kata-kata. Pada tahun berikutnya mereka
menyerahkan suatu daftar berisi seribu kata kepada dua peneliti yang datang ke
Doreh (Dore), di Teluk Wondama, Papua Barat, menggunakan kapal Etna. Ottow
menjelaskan bahwa ia "terpaksa” menggunakan banyak kata-kata Melayu,
karena dalam bahasa Numfor tak ada kata-kata untuk hal-hal rohani. Ottow
mengeluh juga, ketika mendengar sepatah kata yang tak dikenalnya dan menanyakan
artinya, ia selalu mendapat jawaban: "Ya fau i ba," (Saya tak tahu).[6]
Selain menulis daftar kata, pada bulan Januari 1857 Ottow
bersama istrinya mulai menulis Tinjauan
Singkat tentang Negeri dan Penghuni Pantai Nieuw Guinea Timur Laut. Artikel
ini merupakan inventarisasi yang hampir lengkap. Data-data yang dikemukakannya
juga cukup dapat dipercaya. Namun sayangnya masih kurang dalam hal yang
terpenting, yaitu mengenai organisasi sosial. Ottow dan Geissler secara sadar
telah mengamati dan mencatat apa-apa yang mereka temukan di Mansinam. Terutama
Ottow, perihal mencatat dilakukannya dengan tekun. Metode yang mereka gunakan
bukanlah suatu metode penelitian sistematis, menggunakan daftar pertanyaan dan
model-model, seperti yang dipraktikkan oleh para ahli zaman sekarang. Tetapi mereka menggunakan
metode yang di dalam antropologi budaya disebut: observasi dengan partisipasi.[7]
Walaupun kesulitan dalam menerjemahkan bahasa Melayu ke
dalam bahasa Numfor, namun Ottow mulai berkhotbah dalam bahasa Numfor di tahun
1858. Dengan kemampuan yang masih terbatas itu, Ottow juga berani menerjemahkan
empat buah lagu,[8] kemudian mengarang enam
lagu. Kumpulan lagu tersebut diterbitkan tahun 1861. Dalam kurun tujuh puluh
delapan tahun (1857-1935), telah diterbitkan puluhan buku tentang Numfor,
terutama atas prakarsa Ottow dan Geissler. Di antara buku-buku tersebut dapat
saya kemukakan sebagai berikut.
- Spel-en leerboekje voor de scholen op Nieuw-Guinea.
Buku ini tidak diketahui pengarangnya.
Diterbitkan sebanyak empat volume oleh penerbit Kemink & Zoon di Utrecht,
Belanda, pada tahun 1867. Isi buku ini adalah panduan permainan-permainan,
digunakan di sekolah dasar di Nieuw Guinea.
2.
Fajasi Rjo Refo Mansren Allah Bjeda:
Tjeritera Alkitab.
Buku ini ditulis oleh Geissler pada tahun 1868, berisi
kisah-kisah Alkitab dalam bahasa Numfor.
- Is orne refo rijo Markus kiawer kwaar ro woois woranda be woois Noefoor: het evangelie van Markus overgezet uit de Nederduitsche in de Papoesch-Noefoorsche taal. (Masmur ma Dou Numfor).
Buku ini ditulis oleh Geissler pada
tahun 1871 dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon di Utrecht, Belanda. Isinya
adalah Injil Markus dan nyanyian Mazmur dalam bahasa Numfor.
4. Allereerschte beginselen de
Papoesch-Mefoorsche taal.
Buku ini
ditulis oleh J.L.
van Hasselt pada tahun 1868 dan diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht. Isinya adalah petunjuk dasar bahasa Numfor.
5. Hollandsch-Noefoorsch en
Noefoorsch-Hollandsch woordenboek.
Buku ini
merupakan Kamus bahasa Belanda-Numfor dan Numfor-Belanda. Disusun oleh J.L. van Hasselt pada tahun 1876, dan
diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht.
6. Beknopte Spraakkunst der Noefoorsche
taal.
Buku ini
ditulis J.L.
van Hasselt tahun 1876. Diterbitkan oleh Kemink & Zoon, Utrecht, Belanda.
Di dalamnya berisi tata bahasa ringkas
bahasa Numfor.
7. Noefoorsch-Hollandsch woordenboek tweede
verbeterde en vermeerderde uitgaaf.
Buku ini adalah Kamus bahasa Numfor-Belanda yang direvisi dengan penambahan kosakata.
Disusun oleh J.L. van Hasselt pada tahun 1893, dan diterbitkan oleh
Kemink & Zoon, Utrecht, Belanda.
8. Spraakkunst der Nufoorsche taal.
Buku ini berisi tata bahasa Numfor.
F.J.F. van Hasselt, putra dari J.L. van Hasselt, menulisnya pada tahun 1905 dan
diterbitkan oleh penerbit Nijhoff di 's-Gravenhage (Den Haag), Belanda.
9. 'Nufoorsche fabelen en vertellingen:
tekst vertaling en aantekeningen'. Bijdragen tot de taal, land en
volkenkunde van Nederlands Indiƫ 61, pp. 477-588.
Buku ini ditulis oleh F.J.F. van
Hasselt pada tahun 1908. Isinya adalah cerita dongeng dalam bahasa Numfor yang
disertai dengan terjemahan dan penjelasannya. Buku ini merupakan salah satu
dokumentasi sastra etnografi di Hindia Belanda.
10. Fafaja ro refo bekwar ia.
Buku ini ditulis oleh F.J.F. van
Hasselt pada tahun 1932, diterbitkan oleh penerbit Nederlandsch
Bijbelgenootschap di Amsterdam, Belanda. Buku ini merupakan Alkitab Perjanjian
Lama dalam bahasa Numfor.
Ottow dan Geissler merasa bahwa buku merupakan salah satu
alat vital dalam pekerjaan mereka di Papua. Oleh sebab itu, mereka melakukan
penerjemahan bahasa Melayu ke dalam bahasa Numfor sebagai bahan-bahan ajar di
sekolah, juga di jemaat. Selain itu, mereka juga menyediakan buku-buku untuk
pelajaran membaca dan pengetahuan umum. Pengerjaan menerbitkan buku dalam
konteks Papua ini kemudian di lanjutkan oleh F.J.F. van Hasselt, Bink,
Tiemersma dan I.S. Kijne.
Bagi murid sekolah dasar, pelajaran membaca dimulai dengan
belajar membaca, atau bernyanyi dalam bahasa daerah. Pada waktu itu buku yang
digunakan adalah 10 Nyanyian Numfor
karangan Ottow. Hal ini diharapkan bisa mempermudah anak-anak belajar membaca.
Murid-murid yang sudah pintar membaca disediakan buku-buku bacaan pengetahuan
umum dan kitab Injil, yang dikarang dalam bahasa Melayu. Pada perkembangan
pendidikan selanjutnya, diterbitkan buku bacaan dalam bahasa daerah, yaitu
surat Wasja Ra I dan Ra II yang digunakan di kelas I dan II
Sekolah Dasar. Sementara di kelas III digunakan buku bacaan Kakofen ma Kakaik (Cerita Perumpamaan)
dalam bahasa Numfor. Sungguh suatu kerja keras yang luar biasa pada zaman itu.
Di awal era 1900-an, pemerintah membuat aturan untuk
memajukan pendidikan dengan menetapkan 75% dari ongkos sekolah di seluruh Papua
ditanggung oleh Pemerintah. Hingga di tahun 1925 diberlakukan peraturan subsidi
umum, bahwa pemerintah akan menanggung semua biaya sekolah. Namun untuk
peralatan pelajaran ditanggung oleh kas masing-masing onderafdeling.[9] Pada masa perang
dunia II, banyak buku-buku yang hilang. Selain itu, sebagian besar para pekerja
zending ditangkap dan dibuang ke luar Papua. Beberapa orang di antaranya
meninggal di tanah buangan tersebut.
Setelah perang dunia II, para pekerja zending pulang ke
Papua dan mulai membangun kembali pekerjaannya. Toko buku zending di Jayapura,
Biak, Manokwari, dan Sorong kembali dibuka. Buku Nyanyian Rohani karangan Pdt. I.S. Kijne yang telah dicetak kembali
dijual bersama buku-buku rohani lainnya. Terdapat pula buku Tata Gereja, buku Petrus Kafiar, dan lain-lain.
Sastra di Media
Di era 1950-an, media cetak di Papua
mulai berkembang dengan hadirnya beberapa media, antara lain, Nieuw Guinea
Kurier, TRITON, De Tifa, PENGANTARA, dan Teropong. Menurut Jonas Ansaka, yang
pernah bekerja di Nieuw Guinea Kurier, media ini memiliki oplah sampai 1000
eksemplar. Distribusi media ini meliputi berbagai daerah di Papua, bahkan
sampai ke Negeri Belanda.
Secara khusus, sastra (cerpen dan
puisi) mendapat tempat di Majalah TRITON. Di dalamnya menyediakan rubrik untuk
puisi dan cerita pendek. Salah satu puisi yang pernah dimuat adalah karya A
Mampioper.
Sauh adat penambat adat kekunoan?
Sauh adat penambat adat kebaharuan!
Tagal itu marilah kawan sekalian
Sebagai keluarga majalah Triton
Tjamkanlah adat-adat kekunoan
Sebagai tjontoh suling bia Triton
Demikian tampak pada foto
Di Semimi-Senabaai satu tjontoh
Pertemuan peta kuno dan moderen
Dipakai bersama menjamin keamanan
Itulah parang-pisau-panah-busur
Pistol automatis-jungle-kerbijns-mouser
Pakaian putih-hijdau-tjawat-topi pet
Pendatang takut lari rasa hutan adalah
sempit
Lain dari senjata kuno tersebut
Menjanji adat dengan tifa tidak ribut
Itulah talenta dari yang Abawi
Perbaikilah untuk hormat Bapak Samaawi
A
Mampioper, Majalah TRITON, tahun ke-4
Juli 1958 no. 7
Selain puisi, ada juga cerpen di Majalah TRITON. Nama
rubriknya “Rayori, Zaman Kita”. Berikut adalah petikan salah satu cerpennya.
"GADIS KAMPUNG"
“SEBATANG MAWAR JANG DITANAM.
DJIKA DIRAWAT SIANG DAN MALAM,
TENTU SEKALI KEMBANGNJA ELOK,
TAMBAHAN PULA BAUNJA SEMERBAK.”
Ramai benar di rumah kepala kampong,
karena anaknja laki-laki tadi petang telah naik “tachta radja sehari",
beristerikan Nona Hermalina, anak tukang besi di kampung itu. Lebih ramai lagi
dari festa kawin lain, karena kedua pengantin anak orang berada, pula sama-sama
sekolah. Ditahil sama berat, diukur sama tinggi, sama-sama bersajap bagaikan
elang dan tjenderawasih. Djika duduk besanding laksana matahari dan bulan.
Orang panggilan, bukan sadja keluarga
dalam kampung itu, melainkan kaum kerabat djauh-djauhan nampak. Sudahlah
mendjadi adat dalam kampong, pihak laki-laki datang untuk menolong. Tetapi
pihak perempuan bukan sadja menolong, pun menuntut bahagian maskawin dari pihak
laki-laki. Benarlah sebagai bidal: “Selama tanah dipidjak, selama itu langit
didjundjung". Karena kebetulan perkawinan itu terdjadi dalam waktu
liburan, maka nampak djuga kawan sebaja kedua pengantin baru itu, baik jang berdekatan
pun satu dua dari daerah lain. Sebagai tamu agung, nampak djuga Tuan Kepala
distrik dan Njonjanja duduk semedja dengan pengantin. …. (TRITON - Rayori,
Zaman Kita)
Saat Indonesia masuk ke Papua tahun 1961, Nieuw Guinea
Kurier dan media-media lainnya ditutup. Maka, berakhirlah “sastra media” di
Papua pada masa itu. Aset De Tifa diambil alih keuskupan Jayapura. Kemudian
melalui Yayasan Pers Katolik berganti nama menjadi Tifa Irian. Di kemudian
hari, setelah masa reformasi, namanya diganti lagi menjadi TifaPapua.
Kepala Perwakilan RI di Papua, Sudjarwo Tjondronegoro,
merintis terbitnya Tjendrawasih pada tahun 1962. Nasib harian pertama di Papua
ini kembang kempis, bahkan sempat berubah menjadi mingguan. Di tahun 1993,
mingguan Tjendrawasih dibeli oleh kelompok usaha Jawa Pos dan diubah namanya
menjadi Cendrawasih Pos.
Cenderawasih Pos dan Tifa Irian kembali mengembangkan
“sastra media”, namun tidak bertahan lama. Di pertengahan 1990-an, kedua media
tersebut tidak lagi memuat cerpen ataupun puisi dalam terbitannya. Sastra Papua
kembali kehilangan medianya. Hal ini tentu menyebabkan perkembangan sastra di
Papua terhenti.
Saat ini sastra di Papua lebih berkembang di media online,
blog, facebook, dan situs tak berbayar lainnya. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah, siapakah yang menentukan kualitas sastra cyber Papua? Bagi perkembangan
sastra ke depan, tentu hal ini cukup meragukan. Jika sastra di Papua tidak
memiliki ruang, dan perkembangannya hanya melalui media online, dikhawatirkan
hal ini dapat memengaruhi penilaian terhadap kualitas sastra tersebut.
Perkembangan sastra, termasuk diterbitkannya buku berbahasa
daerah (muatan lokal) dalam dunia pendidikan di Papua bukanlah hal baru. Dalam
rekaman jejak panjang perjalanan sastra sejak tahun 1880-an hingga 1980-an,
kita bisa mendapati banyak buku diterbitkan. Para penulisnya adalah mereka yang
sangat paham dengan kondisi sosio kultural dan etnografi Papua. Buku-buku
tersebut diterbitkan dan digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah di
Papua, sekaligus menjadi pilar pembangunan bangsa, khususnya di Papua.
Sayangnya, sejak tahun 1990-an perkembangan yang bagus itu mengalami
kemunduran.
Menjadi ironi jika buku-buku dengan logo pemerintah provinsi
Papua dan Papua Barat, tatapi pengerjaan dan penerbitannya dilakukan di luar
Papua. Kemungkinan besar isinya mengandung bias pemahaman tentang kehidupan,
kultur sosial, dan etnografi. Di era Otonomi Khusus, sudah selayaknya dan tak
berlebihan jika buku menuntut diberi tempat yang khusus pula. Buku-buku itu
harus dikerjakan dan diterbitkan oleh instansi dan institusi pendidikan yang
ada di Papua. []
Referensi
Geurtjens,
H. De Katholieke Missie op Nieuw-Guinea
in Nieuw-Guinea, Vol. I, edited
by W.C. Hasselt, 1935.
F.J.F.
van, De Zending op Nederlandsch
Nieuw-Guinea in Nieuw-Guinea, Vol.
I, edited by W.C. Klein, Chapter 9. Amsterdam: De Bussy, Molukken Instituut,
1935.
Rauws,
John, Pdt., Onze Zendings Valden Nieuw
Giunea, Zending Studie Raad, 1919.
Miedema,
J. Texts from the Oral Tradition in the South-Western Bird’s Head, 1995.
Scrool,
Pim., Bestureen in Nederlands Nieuw
guinea, KILTV, 1996.
Boelaar,
J., Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, dan
Masa Depan, Jakarta: Gramedia, 1986.
Renwarin,
Herman, Sejarah sosial daeah Irian Jaya
dari Hollandia ke Kotabaru (1910 - 1963).
Rumainum,
F.J.S., Guru Petrus Kafiar: Putera Irian Barat yang Pertama Menjadi Pembawa
Suluh Kristus, Sukarnapura: Kantor Pusat Gereja Kristen Injili di Irian
Barat, 1966.
Hasselt,
F.J.V van, Di Tanah Orang Papua.
Jayapura: Yayasan Timotius Papua dan Yayasan HAPIN Belanda, 2002.
Mansoben,
Johszua Robert. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI
RUL, 1995.
Visser,
E. Leontine dan Jom Amapom, Bakti Pamong Praja di Era Transisi Kekuasaan
Belanda Ke Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2008.
Kamma,
F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat
Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya,
Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1981.
Kamma,
F.C., Ajaib di Mata Kita II: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat
Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya,
Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1982.
Kamma,
F.C., Ajaib di Mata Kita III: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat
Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya,
Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia, 1994.
Onim,
J.F., 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi
di Tanah Papua, Jayapura: Sekolah Tinggi Teologi GKI I.S. Kijne, 2004.
Rainer,
Scheunemann, Fajar Merekah di Tanah
Papua, Hidup dan karya Rasul Papa Johan Gottop Geislsler (1830-1870),
Panitia Yubilium Emas 150 tahun Hari pekabara Injil di Tanah Papua, 2009.
Ramandei,
J.H., Gereja dan Pendidikan Kristen Di Nieuw Guinea (Papua) 1856-2001, Jayapura,
2007.
Rumere
Z, Onim, Dengarlah Ottow Berbicara,
Jayapura: Deiyai Yaklama, 2005.
Sefa,
E.D., Ensikopedia Suku Bangsa Di Papua
Catatan Ketiga, Jayapura: Yayasan Percetakan GKI Papua, 2005.
Rumsawir, Pdt. W.F. 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di
Tanah Papua,
Jayapura: Pusat Pengabdian dan Penelitian (Ablit), Sekolah Tinggi Teologi GKI I.S. Kijne, 2004.
Jayapura: Pusat Pengabdian dan Penelitian (Ablit), Sekolah Tinggi Teologi GKI I.S. Kijne, 2004.
[1] Penggiat sastra Papua, pernah
menjadi wartawan di beberapa media di Papua dan luar Papua.
[2] Konteks Sastra Lisan dalam tulisan ini merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2002); 1. Hasil kebudayaan lisan di masyarakat tradisional yang
isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis di masyarakat modern, 2. Sastra
yang diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian rakyat, dan cerita
rakyat; Selain itu, yang juga berkaitan adalah Susastra; Sastra yang isi dan
bentuknya sangat serius berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba
dari kehidupan, kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai
sarana sehingga mencapai syarat estetika
yang tinggi.
[3] Baal, Ilmu Antropologi I, 1987.
[4] Bahasa Melayu yang dipakai pada
saat itu adalah standar Bahasa Melayu Malaysia, sehingga beberapa buku terbitan
Papua masuk dalam katalog buku Bahasa Melayu di Malaysia. Saat ini bahasa
Melayu tersebut telah berkembang menjadi Bahasa Melayu Papua.
[5] Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Tahun Zending di Papua.
[6] Kamma, F.C., Ajaib di Mata
Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman
Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K.
Gunung Mulia, 1981.
[7] Metode pendekatan pastisipasi
saat ini digunakan pula dalam penulisan antropologi etnografi.
[8] Kamma, F.C., Ajaib di Mata
Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman
Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K.
Gunung Mulia, 1981.
[9] Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tanggal 5 Februari 1899 nomor 19, menetapkan delapan Afdeling (kabupaten) di wilayah Hindia Belanda
bagian Timur. Dua di antaranya adalah Afdeling Noord Nieuw Guinea dan Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea yang
dimuat dalam Staatsblad nomor 63/102. Dalam Afdeling
terdapat beberapa Onder Afdeling (Distrik).
Tak kenal maka tak sayang. Menjadi diri sendiri, itu yang terbaik.
BalasHapus