Filosofi Kehidupan Masyarakat
Oleh
Ponto Yelipele[1]
“Orang Wamena lagi, dan orang Wamena lagi.” Ungkapan
semacam ini telah melekat dan menjadi buah bibir kebanyakan orang yang
berdomisili di Tanah Papua pada umumnya, dan lebih khusus di Jayapura, sebagai
pusat konsentrasi roda pemerintahan Provinsi Papua. Dewasa ini, orang Wamena
yang merupakan bagian dari masyarakat Pegunungan Tengah Papua lebih populer
dengan sebutan “Orang Gunung”.
Justifikasi tentang masyarakat
Pegunungan Tengah Papua terus dilekatkan dengan sederet aksi kriminal
maupun sejumlah kasus yang juga sering dikaitkan dengan isu gerakan Papua
merdeka, yang menurut pengamatan saya diawali pasca reformasi tahun 1998/1999
hingga sekarang. Dampak langsungnya, secara faktual dapat kita jumpai kenyataan
dalam interaksi sehari-hari di Jayapura. Semisal, para pemilik rumah kontrakan
atau kost akan berpikir panjang sebelum memutuskan menerima atau menolak jika
yang datang adalah Orang Gunung. Mereka yang lebih ekstrim akan berkata, “Tidak
ada yang kosong, sudah ada yang bayar di muka tapi orangnya belum masuk,” dan
seterusnya.
Terbelakang, primitif, bodoh, dan berbagai kata lain yang
sinonim, diidentikkan dengan Orang Gunung dalam dinamika ini. Walaupun sekarang
banyak dari komunitas orang Wamena yang tampil sebagai pemimpin eksekutif
maupun legislatif di Provinsi Papua. Jumlah mereka secara kuantitatif cukup
signifikan. Namun hal itu tidak serta merta menghilangkan cap atau label yang
sudah terlanjur dilekatkan kepada Orang Gunung. Mayoritas masyarakat tetap
sinis. Mereka menganggap bahwa tampilnya orang-orang Gunung di dalam kancah
kepemimpinan adalah kesempatan, euforia otsus, dan bukan berdasarkan kualitas
atau kompetensi. Kenyataan yang demikian diperkuat lagi dengan kinerja dan
akuntabilitas dalam pelayanan pemerintahan yang rata-rata di bawah standar
minimal. Saya sering ditanya oleh orang-orang yang berasal dari luar Papua,
“Kenapa setiap ada peristiwa kriminal selalu melibatkan orang Wamena/Orang
Gunung? Setiap ada demo apa pun, orang Wamena juga yang paling banyak.”
Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut.
Sebab, hal yang demikian adalah akumulasi dari sekian banyak fakta aktual yang
dikonsepsikan oleh setiap orang. Saya tergelitik dengan pandangan dan
pertanyaan semacam itu. Saya berasumsi bahwa kebanyakan orang melihat
fakta-fakta dimaksud secara hitam-putih dan dari sisi negatifnya saja. Sejauh
ini belum ada upaya serius dan konstruktif dalam mengatasi gejolak sosial yang
berlangsung. Dalam konteks ini, saya ingin mengetengahkan sepintas tentang
karakteristik dasar budaya Orang Gunung, dengan asumsi bahwa masyarakat adat
Papua umumnya dan lebih khusus masyarakat Pegunungan Tengah sedang dalam masa
transisi, pencarian identitas diri dalam arus globalisasi yang keras. Dalam
situasi ini kita mesti merekonstruksi cara pandang dan pola pendekatan yang
tepat dalam menghadapi dinamika sosial.
Secara simbolik, filosofi kehidupan Orang Gunung atau
mereka yang berdiam di wilayah Pegunungan Tengah Papua dapat dilihat dan
dikenali dari hal-hal berikut.
Pertama, honai, rumah laki-laki yang berbentuk
bulat. Di dalamnya, semua orang saling berbagi tempat untuk tidur. Bahkan
kepala suku dan tetua adat yang dihormati di dalam klan dan suku tidak memiliki
tempat khusus atau istimewa untuk sekadar tidur. Koteka, pakaian, atau apa pun
yang melekat di badan harus ditanggalkan sebelum naik ke loteng untuk tidur
berjejer melingkar, mengikuti bentuk honai dengan mengarahkan semua kaki pada
tiang pancang di tengah honai. Seseorang yang dalam perjalanan jauh, entah
keluarga, kerabat dekat atau jauh, orang yang belum dikenal, bahkan kadang
musuh perang suku sekalipun, bila mengetuk pintu untuk bermalam dan menumpang
tidur selalu diterima dengan suka cita. Hal itu merupakan kehormatan bagi tuan
rumah, sehingga makanan yang disimpan akan disediakan untuk memuliakan tamu
tersebut sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Kedua, wulikin, perapian sekaligus tempat untuk
membakar ubi di dalam honai dan uma, dapur umum sekaligus tempat tinggal
perempuan, yang berbentuk bulat. Semua orang di dalam honai dan uma duduk
melingkar menghadap wulikin sambil
menghangatkan tubuh. Apa pun dan berapa pun ubi yang dibakar, akan dinikmati
bersama oleh semua yang ada pada saat itu. Bila ada lebihnya, ubi akan disimpan
untuk anak dan sebagai bekal siang hari di kebun. Namun bila jumlahnya
terbatas, anak-anak, wanita, dan tamu yang diutamakan. Tidak ada makanan atau
ubi yang disimpan khusus untuk seorang bapak atau kepala keluarga. Kalaupun ada
yang disimpan untuk kepala keluarga atau anggota keluarga dalam suatu rumah,
lalu ada tamu yang datang, ubi tersebut langsung dihidangkan. Kepala keluarga
akan marah besar kalau tamu yang datang tidak dimuliakan, walaupun ia harus
menahan lapar. Dalam tradisi Orang Gunung, sangat sulit menemukan orang yang
kikir atau mementingkan diri. Seandainya ada individu yang punya sifat seperti
itu, tentu akan menjadi buah bibir dalam pergaulan masyarakat adat setempat.
Karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai umum yang dijunjung tinggi dalam
kehidupan masyarakat adat setempat.
Ketiga, hase, kolam tempat masak, yang lebih
dikenal dengan sebutan bakar batu, juga berbentuk bulat. Setiap perempuan akan
menggali ubi di kebunnya masing-masing, mencucinya di kali, kemudian memasak
secara bersama dalam satu kolam. Perempuan yang ubinya besar dan lebih banyak
akan berbagi dengan perempuan yang ubinya kecil dan sedikit. Setiap perempuan
mengenali ubinya masing-masing, walaupun dimasak bercampur dengan ubi milik
perempuan lain. Sehingga, pada saat selesai prosesi bakar batu, mereka akan
mengambil ubinya masing-masing. Semua yang dimasak untuk makan bersama, tidak
boleh disembunyikan, dan memang tidak ada peluang untuk itu. Kecuali jika ada
lebihnya, ubi akan diperuntukan bagi anggota keluarga yang tidak di tempat pada
saat makan bersama. Hal ini lazim dilakukan sebagaimana lazimnya menyimpan ubi
untuk bekal anak-anak. Seseorang yang membawa makanan lalu berpapasan dengan
orang dalam perjalanan, entah dikenal ataupun tidak, makanan yang dibawa akan
diberikan. Orang Wamena atau Orang Gunung meyakini, jika memanfaatkan
kesempatan mengasihi orang yang membutuhkan, maka kemurahan dan limpahan rezeki
akan menyertai dalam setiap usaha. Sebaliknya, bila bersikap kikir, kemalangan
atau musibah akan menyertai pula.
Keempat, isuak, wadah atau tempat air minum yang
terbuat dari sejenis buah labu yang dikeringkan. Mereka menggunakan isuak yang sama sebagai tempat minum
untuk semua orang. Tidak ada wadah minum yang khusus bagi seorang kepala suku,
kepala keluarga, juga tamu sekalipun. Tak peduli yang bermulut sumbing, bau,
berliur, dan apapun. Ketika seseorang merasa jijik dengan bekas orang, ia
dianggap mengingkari pertalian darah atau persaudaraan. Terkadang, untuk
menanggung sakit anggota keluarga atau saudara, saudaranya yang lain akan
memakan dan meminum bekas orang yang sakit. Hal itu dilakukan dengan harapan,
si sakit akan segera sembuh.
Kelima,
masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah Papua memiliki kehidupan spritual
yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap suci dan memiliki cerita tersendiri yang
berhubungan dengan asal-usul klan atau suku. Kehidupan spiritual tersebut
berpusat pada satu zat/wujud abstrak, adil/pengadil yang khusus. Ritual untuk
menghormati semua aktifitas dan tempat-tempat yang dianggap suci dilakukan
dengan menyakralkan sebuah simbol yang diletakkan di honai adat. Simbol itu dinamakan hareken (Batu Hitam).
Keenam, ciri
utama masyarakat adat Wamena atau Orang Gunung adalah dengan membentuk kelompok
otonomi berdasarkan pertalian darah dan keluarga. Orang Gunung disatukan oleh
keturunan nenek moyang yang nyata maupun bersifat mitos. Kelompok-kelompok ini
kemudian menggabungkan diri dalam perkumpulan yang lebih besar, yaitu
konfederasi perang dan pesta babi. Sebagaimana istilah umum yang digunakan
dewasa ini, saya menyebut “klan” untuk kelompok kecil, dan “suku” untuk
kelompok besar. Menanamkan kesetiaan kepada kaum dan semua sekutunya adalah
penting, bahwa hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Tetapi hal
itu berarti tak ada ruang bagi individualisme seperti yang kita kenal sekarang,
dan tak ada hak-hak serta tanggung jawab yang dihubungkan dengan individu. Semuanya
merupakan subordinasi dari kelompok kepentingan. Untuk menanamkan semangat
komunal ini, Orang Gunung mengembangkan ideologi yang disebut Ap Kany, dengan huruf “ny” dibaca “nya”
tanpa huruf a. maknanya adalah pria sejati/pemberani.
Ap Kany
berarti keberanian dalam berperang, kesabaran, sikap santun, dan ketahanan
dalam penderitaan dan pengabdian kepada tugas. Sikap-sikap itu ditunjukkan
untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan kepada suku, melindungi para
anggota yang lemah, dan menghadapi yang kuat. Setiap suku memiliki kebanggaan
akan Ap Kany mereka masing-masing,
yang diyakini diwariskan secara turun-temurun. Untuk melestarikan Ap Kany, setiap anggota kelompok harus
siap membela rekan sesukunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat. Di luar suku,
kepatuhan itu berakhir atau tidak berlaku. Tak ada tanda adanya hukum alam yang
universal pada perkembangan masyarakat adat Pegunungan Tengah Papua di tingkat
ini.
Masyarakat adat Pegunungan Tengah tidak memiliki gambaran
tentang kehidupan sesudah mati. Orang tidak memiliki nasib sendiri, atau nasib
abadi. Satu-satunya yang abadi yang dapat dicapai lelaki dan perempuan adalah
nilai-nilai dan berlangsungnya spirit mereka di dalam suku. Masing-masing
memiliki tanggung jawab untuk menanamkan Ap
Kany dan menjamin kelangsungan hidup suku mereka. Dengan demikian, suku
memiliki tata cara yang memungkinkannya mampu mempertahankan dirinya sendiri.
Termasuk di dalam tanggung jawab kepemimpinan kepala suku adalah merawat
anggota suku yang lemah, dan memberikan apapun yang dimilikinya demi memenuhi
kebutuhan anggotanya tersebut.
Kemurahan hati merupakan nilai yang penting bagi
masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Seorang kepala suku dapat mendemonstrasikan
kekuatan dan keyakinannya melalui sifat royal dan dermawan kepada anggota suku,
juga para sekutu dari kelompok suku lain. Kekuatan suku dapat dinilai dari
seberapa dermawan kepala suku terhadap anggotanya. Keramahan dan kemurahan hati
masih menjadi nilai luhur masyarakat adat di wilayah Pegunungan Tengah. Tentu saja
ini memiliki nilai pragmatis. Seseorang atau suatu keluarga, klan, dan suku
yang kaya hari ini, dapat dengan mudah menjadi jatuh miskin besoknya. Kekayaan
masyarakat Pegunungan Tengah terutama ditandai dengan banyaknya jumlah babi
yang mereka miliki. Prinsipnya, bila kita kikir atas keberuntungan yang kita
dapatkan, kecil kemungkinan akan ada yang membantu kita pada saat memerlukan.
Kedermawanan, dalam hal ini, membantu masyarakat adat Pegunungan Tengah bangkit
mengatasi perjuangan eksistensinya.
Komunitas masyarakat adat Pegunungan Tengah mengajarkan
arti pentingnya perbedaan, persaudaraan, dan kesetaraan. Tak ada ruang bagi
elit yang istimewa dalam sistem kesukuan, tak ada sistem aristokrasi maupun
pewarisan tahta. Kepala suku tidak memberikan posisinya pada anak lelakinya,
karena suku memerlukan orang terbaik, tak peduli seseorang itu dari keturunan
siapa. Egalitarianisme yang kuat dan mendalam menjadi ciri semangat masyarakat
adat wilayah Pegunungan Tengah yang merantau. Di manapun, mereka dengan mudah
mengidentifikasi diri menjadi bagian dari kelompok-kelompok perjuangan.
Puncak dari solidaritas yang sangat kental dalam suku
selalu digambarkan melalui syair-syair lagu yang memesona dan memompa semangat.
Syair-syair yang dilantunkan ketika meratapi suatu musibah akan membuat air
mata tak terbendung. Ada pula syair-syair yang menggambarkan peperangan dan
keberhasilan suku, yang digunakan para anggota keluarga dan suku untuk
menghargai kualitas istimewa Ap Kany.
Syair-syair dimaksud tidak tertulis dan tidak ada batasan mengenai siapa yang
boleh dan tidak boleh mengarang atau menyanyikannya.
Semua syair sejalan dengan peristiwa, konteks, dan waktu.
Pada setiap suku terdapat orang-orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Ada pula
orang yang bisa memberi petunjuk bagi orang yang kehilangan. Susunan organisasi
di dalam klan itu tidak tertulis. Tetapi berlaku dengan sangat rapi dan
dijunjung tinggi oleh setiap anggota. Dalam konteks ini, masyarakat adat
wilayah Pegunungan Tengah yang merasa paling bingung dan mengalami disorientasi
adalah mereka yang telah hidup mapan. Masyarakat adat yang berimigrasi ke
pusat-pusat kota dan menetap di sana berdampingan dengan suku-suku lainnya.
Mereka berhasil dalam pendidikan, namun sistem kesukuan tidak dapat berjalan
ketika harus hidup dengan orang lain secara berdekatan.
Masyarakat adat yang di kampung-kampung juga mengalami
kebingungan, karena mereka menemukan bahwa ideologi lama ternyata tidak
membekali mereka tentang tata cara hidup di kota.
Ketujuh,
dewasa ini, ketika uang mulai mendapatkan nilai yang nyaris agamis, kapitalisme
agresif tidak pernah sesuai dengan etika kesukuan komunal pada masyarakat adat
wilayah Pegunungan Tengah. Kapitalisme secara alamiah mendorong tumbuhnya
keserakahan dan individualisme. Berbagai klan terlibat dalam kompetisi yang
tajam. Masyarakat adat tidak lagi membagi kekayaan mereka secara merata
sebagaimana etika suku lama. Setiap orang berlomba-lomba ingin memiliki
kekayaan untuk dirinya sendiri. Mereka mengeksploitasi kemiskinan dan ketidakberdayaan
kaumnya sendiri, dan tidak merawat anggota-anggota yang lebih miskin dan lemah
sebagaimana etos lama yang mengharuskan mereka bersikap demikian. Peradaban
kekinian tidak berpihak pada masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah, mereka
merasa kurang beruntung dan tersesat.
Kenyataannya, sangat sedikit dari kaum imigran yang
berempati kepada masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Kalaupun ada, itu hanya
bersifat semu. Mereka datang dengan pengetahuan yang sangat sedikit tentang
masyarakat adat Pegunungan Tengah, atau bahkan tidak memiliki pengetahuan
tentang hal itu sama sekali. Terlihat bahwa kaum imigran mengedepankan ego
kultural dari daerah asal mereka, sehingga kata-kata dan tindakan mereka adalah
kesewenang-wenangan. Mereka memiliki perasaan superior, sementara masyarakat
adat, khususnya dari Pegunungan Tengah ditempatkan sebagai kelompok inferior.
Kedua kelompok tersebut belum pernah menciptakan ruang dialog untuk menjaga
keselarasan, agar tidak menghancurkan nilai-nilai masyarakat adat yang diyakini
sejak di masa lalu. Selain itu,
masyarakat imigran seolah tidak memiliki kebijaksanaan untuk membangun di atas
tradisi masyarakat adat Papua.
Kaum imigran tidak membiarkan
masyarakat adat melakukan sesuatu dengan cara atau daya yang ada pada mereka sendiri.
Sebaliknya, seperti yang tampak, kaum imigran meminta masyarakat adat Papua
memikirkan, juga mempraktikkan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka
bawa. Mereka menggunakan pendekatan anti realitas di dalam berinteraksi dengan
masyarakat adat Pegunungan Tengah. Jika terus ditekan demikian, mereka telah
dan akan kehilangan posisi nyatanya atau eksistensinya di dunia. Salah satu
indikasinya adalah sebagian besar masyarakat Pegunungan Tengah belum bebas dari
penyakit buta huruf hingga hari ini.
Tulisan ini saya akhiri dengan pendapat, Muhammad A.
Shomali, yang mengatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang tidak
merugikan, misalnya pergi ke kebun jam enam pagi. Sedangkan moral adalah
perlakuan terhadap orang lain, misalnya memberikan makanan kepada tamu terlebih
dahulu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar