Kamis, 01 September 2016

Esai Ponto Yelipele: Filosofi Kehidupan Masyarakat Pegunungan Tengah Papua



Filosofi Kehidupan Masyarakat
Pegunungan Tengah Papua

Oleh Ponto Yelipele[1]


            “Orang Wamena lagi, dan orang Wamena lagi.” Ungkapan semacam ini telah melekat dan menjadi buah bibir kebanyakan orang yang berdomisili di Tanah Papua pada umumnya, dan lebih khusus di Jayapura, sebagai pusat konsentrasi roda pemerintahan Provinsi Papua. Dewasa ini, orang Wamena yang merupakan bagian dari masyarakat Pegunungan Tengah Papua lebih populer dengan sebutan “Orang Gunung”.
            Justifikasi tentang masyarakat Pegunungan Tengah Papua terus dilekatkan dengan sederet aksi kriminal maupun sejumlah kasus yang juga sering dikaitkan dengan isu gerakan Papua merdeka, yang menurut pengamatan saya diawali pasca reformasi tahun 1998/1999 hingga sekarang. Dampak langsungnya, secara faktual dapat kita jumpai kenyataan dalam interaksi sehari-hari di Jayapura. Semisal, para pemilik rumah kontrakan atau kost akan berpikir panjang sebelum memutuskan menerima atau menolak jika yang datang adalah Orang Gunung. Mereka yang lebih ekstrim akan berkata, “Tidak ada yang kosong, sudah ada yang bayar di muka tapi orangnya belum masuk,” dan seterusnya.
            Terbelakang, primitif, bodoh, dan berbagai kata lain yang sinonim, diidentikkan dengan Orang Gunung dalam dinamika ini. Walaupun sekarang banyak dari komunitas orang Wamena yang tampil sebagai pemimpin eksekutif maupun legislatif di Provinsi Papua. Jumlah mereka secara kuantitatif cukup signifikan. Namun hal itu tidak serta merta menghilangkan cap atau label yang sudah terlanjur dilekatkan kepada Orang Gunung. Mayoritas masyarakat tetap sinis. Mereka menganggap bahwa tampilnya orang-orang Gunung di dalam kancah kepemimpinan adalah kesempatan, euforia otsus, dan bukan berdasarkan kualitas atau kompetensi. Kenyataan yang demikian diperkuat lagi dengan kinerja dan akuntabilitas dalam pelayanan pemerintahan yang rata-rata di bawah standar minimal. Saya sering ditanya oleh orang-orang yang berasal dari luar Papua, “Kenapa setiap ada peristiwa kriminal selalu melibatkan orang Wamena/Orang Gunung? Setiap ada demo apa pun, orang Wamena juga yang paling banyak.”
            Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, hal yang demikian adalah akumulasi dari sekian banyak fakta aktual yang dikonsepsikan oleh setiap orang. Saya tergelitik dengan pandangan dan pertanyaan semacam itu. Saya berasumsi bahwa kebanyakan orang melihat fakta-fakta dimaksud secara hitam-putih dan dari sisi negatifnya saja. Sejauh ini belum ada upaya serius dan konstruktif dalam mengatasi gejolak sosial yang berlangsung. Dalam konteks ini, saya ingin mengetengahkan sepintas tentang karakteristik dasar budaya Orang Gunung, dengan asumsi bahwa masyarakat adat Papua umumnya dan lebih khusus masyarakat Pegunungan Tengah sedang dalam masa transisi, pencarian identitas diri dalam arus globalisasi yang keras. Dalam situasi ini kita mesti merekonstruksi cara pandang dan pola pendekatan yang tepat dalam menghadapi dinamika sosial.
            Secara simbolik, filosofi kehidupan Orang Gunung atau mereka yang berdiam di wilayah Pegunungan Tengah Papua dapat dilihat dan dikenali dari hal-hal berikut.
            Pertama, honai, rumah laki-laki yang berbentuk bulat. Di dalamnya, semua orang saling berbagi tempat untuk tidur. Bahkan kepala suku dan tetua adat yang dihormati di dalam klan dan suku tidak memiliki tempat khusus atau istimewa untuk sekadar tidur. Koteka, pakaian, atau apa pun yang melekat di badan harus ditanggalkan sebelum naik ke loteng untuk tidur berjejer melingkar, mengikuti bentuk honai dengan mengarahkan semua kaki pada tiang pancang di tengah honai. Seseorang yang dalam perjalanan jauh, entah keluarga, kerabat dekat atau jauh, orang yang belum dikenal, bahkan kadang musuh perang suku sekalipun, bila mengetuk pintu untuk bermalam dan menumpang tidur selalu diterima dengan suka cita. Hal itu merupakan kehormatan bagi tuan rumah, sehingga makanan yang disimpan akan disediakan untuk memuliakan tamu tersebut sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
            Kedua, wulikin, perapian sekaligus tempat untuk membakar ubi di dalam honai dan uma, dapur umum sekaligus tempat tinggal perempuan, yang berbentuk bulat. Semua orang di dalam honai dan uma duduk melingkar menghadap wulikin sambil menghangatkan tubuh. Apa pun dan berapa pun ubi yang dibakar, akan dinikmati bersama oleh semua yang ada pada saat itu. Bila ada lebihnya, ubi akan disimpan untuk anak dan sebagai bekal siang hari di kebun. Namun bila jumlahnya terbatas, anak-anak, wanita, dan tamu yang diutamakan. Tidak ada makanan atau ubi yang disimpan khusus untuk seorang bapak atau kepala keluarga. Kalaupun ada yang disimpan untuk kepala keluarga atau anggota keluarga dalam suatu rumah, lalu ada tamu yang datang, ubi tersebut langsung dihidangkan. Kepala keluarga akan marah besar kalau tamu yang datang tidak dimuliakan, walaupun ia harus menahan lapar. Dalam tradisi Orang Gunung, sangat sulit menemukan orang yang kikir atau mementingkan diri. Seandainya ada individu yang punya sifat seperti itu, tentu akan menjadi buah bibir dalam pergaulan masyarakat adat setempat. Karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai umum yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat adat setempat.
            Ketiga, hase, kolam tempat masak, yang lebih dikenal dengan sebutan bakar batu, juga berbentuk bulat. Setiap perempuan akan menggali ubi di kebunnya masing-masing, mencucinya di kali, kemudian memasak secara bersama dalam satu kolam. Perempuan yang ubinya besar dan lebih banyak akan berbagi dengan perempuan yang ubinya kecil dan sedikit. Setiap perempuan mengenali ubinya masing-masing, walaupun dimasak bercampur dengan ubi milik perempuan lain. Sehingga, pada saat selesai prosesi bakar batu, mereka akan mengambil ubinya masing-masing. Semua yang dimasak untuk makan bersama, tidak boleh disembunyikan, dan memang tidak ada peluang untuk itu. Kecuali jika ada lebihnya, ubi akan diperuntukan bagi anggota keluarga yang tidak di tempat pada saat makan bersama. Hal ini lazim dilakukan sebagaimana lazimnya menyimpan ubi untuk bekal anak-anak. Seseorang yang membawa makanan lalu berpapasan dengan orang dalam perjalanan, entah dikenal ataupun tidak, makanan yang dibawa akan diberikan. Orang Wamena atau Orang Gunung meyakini, jika memanfaatkan kesempatan mengasihi orang yang membutuhkan, maka kemurahan dan limpahan rezeki akan menyertai dalam setiap usaha. Sebaliknya, bila bersikap kikir, kemalangan atau musibah akan menyertai pula.
            Keempat, isuak, wadah atau tempat air minum yang terbuat dari sejenis buah labu yang dikeringkan. Mereka menggunakan isuak yang sama sebagai tempat minum untuk semua orang. Tidak ada wadah minum yang khusus bagi seorang kepala suku, kepala keluarga, juga tamu sekalipun. Tak peduli yang bermulut sumbing, bau, berliur, dan apapun. Ketika seseorang merasa jijik dengan bekas orang, ia dianggap mengingkari pertalian darah atau persaudaraan. Terkadang, untuk menanggung sakit anggota keluarga atau saudara, saudaranya yang lain akan memakan dan meminum bekas orang yang sakit. Hal itu dilakukan dengan harapan, si sakit akan segera sembuh.
            Kelima, masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah Papua memiliki kehidupan spritual yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap  suci dan memiliki cerita tersendiri yang berhubungan dengan asal-usul klan atau suku. Kehidupan spiritual tersebut berpusat pada satu zat/wujud abstrak, adil/pengadil yang khusus. Ritual untuk menghormati semua aktifitas dan tempat-tempat yang dianggap suci dilakukan dengan menyakralkan sebuah simbol yang diletakkan di honai adat. Simbol itu dinamakan hareken (Batu Hitam).
            Keenam, ciri utama masyarakat adat Wamena atau Orang Gunung adalah dengan membentuk kelompok otonomi berdasarkan pertalian darah dan keluarga. Orang Gunung disatukan oleh keturunan nenek moyang yang nyata maupun bersifat mitos. Kelompok-kelompok ini kemudian menggabungkan diri dalam perkumpulan yang lebih besar, yaitu konfederasi perang dan pesta babi. Sebagaimana istilah umum yang digunakan dewasa ini, saya menyebut “klan” untuk kelompok kecil, dan “suku” untuk kelompok besar. Menanamkan kesetiaan kepada kaum dan semua sekutunya adalah penting, bahwa hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Tetapi hal itu berarti tak ada ruang bagi individualisme seperti yang kita kenal sekarang, dan tak ada hak-hak serta tanggung jawab yang dihubungkan dengan individu. Semuanya merupakan subordinasi dari kelompok kepentingan. Untuk menanamkan semangat komunal ini, Orang Gunung mengembangkan ideologi yang disebut Ap Kany, dengan huruf “ny” dibaca “nya” tanpa huruf a. maknanya adalah pria sejati/pemberani.
            Ap Kany berarti keberanian dalam berperang, kesabaran, sikap santun, dan ketahanan dalam penderitaan dan pengabdian kepada tugas. Sikap-sikap itu ditunjukkan untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan kepada suku, melindungi para anggota yang lemah, dan menghadapi yang kuat. Setiap suku memiliki kebanggaan akan Ap Kany mereka masing-masing, yang diyakini diwariskan secara turun-temurun. Untuk melestarikan Ap Kany, setiap anggota kelompok harus siap membela rekan sesukunya dan mematuhi pemimpinnya tanpa syarat. Di luar suku, kepatuhan itu berakhir atau tidak berlaku. Tak ada tanda adanya hukum alam yang universal pada perkembangan masyarakat adat Pegunungan Tengah Papua di tingkat ini.
            Masyarakat adat Pegunungan Tengah tidak memiliki gambaran tentang kehidupan sesudah mati. Orang tidak memiliki nasib sendiri, atau nasib abadi. Satu-satunya yang abadi yang dapat dicapai lelaki dan perempuan adalah nilai-nilai dan berlangsungnya spirit mereka di dalam suku. Masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menanamkan Ap Kany dan menjamin kelangsungan hidup suku mereka. Dengan demikian, suku memiliki tata cara yang memungkinkannya mampu mempertahankan dirinya sendiri. Termasuk di dalam tanggung jawab kepemimpinan kepala suku adalah merawat anggota suku yang lemah, dan memberikan apapun yang dimilikinya demi memenuhi kebutuhan anggotanya tersebut.
            Kemurahan hati merupakan nilai yang penting bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Seorang kepala suku dapat mendemonstrasikan kekuatan dan keyakinannya melalui sifat royal dan dermawan kepada anggota suku, juga para sekutu dari kelompok suku lain. Kekuatan suku dapat dinilai dari seberapa dermawan kepala suku terhadap anggotanya. Keramahan dan kemurahan hati masih menjadi nilai luhur masyarakat adat di wilayah Pegunungan Tengah. Tentu saja ini memiliki nilai pragmatis. Seseorang atau suatu keluarga, klan, dan suku yang kaya hari ini, dapat dengan mudah menjadi jatuh miskin besoknya. Kekayaan masyarakat Pegunungan Tengah terutama ditandai dengan banyaknya jumlah babi yang mereka miliki. Prinsipnya, bila kita kikir atas keberuntungan yang kita dapatkan, kecil kemungkinan akan ada yang membantu kita pada saat memerlukan. Kedermawanan, dalam hal ini, membantu masyarakat adat Pegunungan Tengah bangkit mengatasi perjuangan eksistensinya.
            Komunitas masyarakat adat Pegunungan Tengah mengajarkan arti pentingnya perbedaan, persaudaraan, dan kesetaraan. Tak ada ruang bagi elit yang istimewa dalam sistem kesukuan, tak ada sistem aristokrasi maupun pewarisan tahta. Kepala suku tidak memberikan posisinya pada anak lelakinya, karena suku memerlukan orang terbaik, tak peduli seseorang itu dari keturunan siapa. Egalitarianisme yang kuat dan mendalam menjadi ciri semangat masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah yang merantau. Di manapun, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri menjadi bagian dari kelompok-kelompok perjuangan.
            Puncak dari solidaritas yang sangat kental dalam suku selalu digambarkan melalui syair-syair lagu yang memesona dan memompa semangat. Syair-syair yang dilantunkan ketika meratapi suatu musibah akan membuat air mata tak terbendung. Ada pula syair-syair yang menggambarkan peperangan dan keberhasilan suku, yang digunakan para anggota keluarga dan suku untuk menghargai kualitas istimewa Ap Kany. Syair-syair dimaksud tidak tertulis dan tidak ada batasan mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh mengarang atau menyanyikannya.
            Semua syair sejalan dengan peristiwa, konteks, dan waktu. Pada setiap suku terdapat orang-orang yang bisa menyembuhkan penyakit. Ada pula orang yang bisa memberi petunjuk bagi orang yang kehilangan. Susunan organisasi di dalam klan itu tidak tertulis. Tetapi berlaku dengan sangat rapi dan dijunjung tinggi oleh setiap anggota. Dalam konteks ini, masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah yang merasa paling bingung dan mengalami disorientasi adalah mereka yang telah hidup mapan. Masyarakat adat yang berimigrasi ke pusat-pusat kota dan menetap di sana berdampingan dengan suku-suku lainnya. Mereka berhasil dalam pendidikan, namun sistem kesukuan tidak dapat berjalan ketika harus hidup dengan orang lain secara berdekatan.
            Masyarakat adat yang di kampung-kampung juga mengalami kebingungan, karena mereka menemukan bahwa ideologi lama ternyata tidak membekali mereka tentang tata cara hidup di kota.
            Ketujuh, dewasa ini, ketika uang mulai mendapatkan nilai yang nyaris agamis, kapitalisme agresif tidak pernah sesuai dengan etika kesukuan komunal pada masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah. Kapitalisme secara alamiah mendorong tumbuhnya keserakahan dan individualisme. Berbagai klan terlibat dalam kompetisi yang tajam. Masyarakat adat tidak lagi membagi kekayaan mereka secara merata sebagaimana etika suku lama. Setiap orang berlomba-lomba ingin memiliki kekayaan untuk dirinya sendiri. Mereka mengeksploitasi kemiskinan dan ketidakberdayaan kaumnya sendiri, dan tidak merawat anggota-anggota yang lebih miskin dan lemah sebagaimana etos lama yang mengharuskan mereka bersikap demikian. Peradaban kekinian tidak berpihak pada masyarakat adat wilayah Pegunungan Tengah, mereka merasa kurang beruntung dan tersesat.
            Kenyataannya, sangat sedikit dari kaum imigran yang berempati kepada masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Kalaupun ada, itu hanya bersifat semu. Mereka datang dengan pengetahuan yang sangat sedikit tentang masyarakat adat Pegunungan Tengah, atau bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu sama sekali. Terlihat bahwa kaum imigran mengedepankan ego kultural dari daerah asal mereka, sehingga kata-kata dan tindakan mereka adalah kesewenang-wenangan. Mereka memiliki perasaan superior, sementara masyarakat adat, khususnya dari Pegunungan Tengah ditempatkan sebagai kelompok inferior. Kedua kelompok tersebut belum pernah menciptakan ruang dialog untuk menjaga keselarasan, agar tidak menghancurkan nilai-nilai masyarakat adat yang diyakini sejak di masa lalu.  Selain itu, masyarakat imigran seolah tidak memiliki kebijaksanaan untuk membangun di atas tradisi masyarakat adat Papua.
            Kaum imigran tidak membiarkan masyarakat adat melakukan sesuatu dengan cara atau daya yang ada pada mereka sendiri. Sebaliknya, seperti yang tampak, kaum imigran meminta masyarakat adat Papua memikirkan, juga mempraktikkan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa. Mereka menggunakan pendekatan anti realitas di dalam berinteraksi dengan masyarakat adat Pegunungan Tengah. Jika terus ditekan demikian, mereka telah dan akan kehilangan posisi nyatanya atau eksistensinya di dunia. Salah satu indikasinya adalah sebagian besar masyarakat Pegunungan Tengah belum bebas dari penyakit buta huruf hingga hari ini.
            Tulisan ini saya akhiri dengan pendapat, Muhammad A. Shomali, yang mengatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang tidak merugikan, misalnya pergi ke kebun jam enam pagi. Sedangkan moral adalah perlakuan terhadap orang lain, misalnya memberikan makanan kepada tamu terlebih dahulu. []


[1]              Penulis adalah pemerhati masalah perubahan sosial dan mutu pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar