Mitos Peagabega Suku Migani
Oleh Kleopas Kelly Sondegau
Suku bangsa Migani adalah sebutan bagi penduduk
asli yang bertempat tinggal di seluruh wilayah Dugindoga-Kemandoga atau dari Mbulu-Mbulu
sampai Magataga,[1] di Kabupaten Intan Jaya,
Papua. Kabupaten ini berada di
wilayah Pegunungan Tengah, dengan ketinggian ± 2.500 meter di atas permukaan
laut. Lingkungan alam dan suhu udaranya cukup ekstrim, sewaktu-waktu akan
meningkat dengan curah hujan yang tidak tentu. Kontur tanah di daerah ini
berbukit-bukit batu diselingi gunung-gunung yang menjulang tinggi, dan sangat
jarang ditemukan permukaan tanah datar yang luas. Daerah Intan Jaya tidak
memiliki pantai atau lembah yang luas sebagaimana daerah lain di Papua.[2] Dengan kondisi geografis
yang demikian, sebagian besar orang Migani mendirikan rumahnya di lereng-lereng
bukit yang curam.
Di sebelah selatan wilayah ini terdapat Puncak Cartenz atau Gresberg, yang dalam bahasa Migani terkenal dengan nama Mbainggela Pigu.[3] Sementara Suku bangsa
Amungme di Timika menyebut gunung yang sama dengan istilah Nemangkawi[4]
Ninggok. Sementara masyarakat umum mengenal pegunungan ini dengan nama
Puncak Jaya. Tingginya mencapai 4.884 meter dan terhitung sebagai salah satu
gunung tertinggi di dunia.[5]
Selain gunung-gunung, daerah Intan Jaya juga memiliki beberapa sungai besar dan
kecil, antara lain, Sungai Kemabu, Mbiabu, Wabu, juga Sungai Dogabu.[6] Jika kita bayangkan, suku
Migani mendiami satu wilayah eksotis yang sulit ditemukan padanannya di tempat
lain. Dari sanalah mitos Peagabega
bermula.
Secara etimologis, “Peagabega” terdiri dari dua kata, yaitu Peaga dan Bega. Peaga artinya luput atau terhindar,
sementara Bega menunjuk pada arti
burung. Jadi, kata Peagabega secara
harfiah berarti burung yang luput atau terhindar dari serangan musuh. Dalam
konteks ini, menurut budaya orang Migani, Bega
selalu diidentikkan dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, nama Peagabega dapat diartikan sebagai seorang
laki-laki yang selalu terhindar dari serangan musuh yang hendak membunuhnya.[7] Nama itu sudah diberikan
oleh orang tua sejak ia lahir, yang tentu saja mengandung seluruh filosofi
keberadaan dirinya sebagai manusia Migani.[8] Hal ini terlihat dalam
proses perkembangan selanjutnya, yakni Peagabega
mulai terkenal sebagai pribadi yang sanggup mencegah berbagai kejahatan di
seluruh daerah orang Migani kala itu.
Dengan mengamati seluruh tindakan Peagabega, banyak orang kemudian memusuhinya. Mereka adalah kelompok
orang yang menghendaki kejahatan tetap ada dalam kehidupan orang Migani.
Orang-orang ini mulai menaruh dendam kepada Peagabega,
bahkan mulai merencanakan pembunuhan terhadapnya. Mereka menggunakan berbagai
strategi, namun tidak pernah berhasil. Peagabega
selalu luput dari serangan para musuh. Hal ini tentu karena Peagabega sebagai seorang peramal yang
ulung (Kubaimene), mampu mengetahui
niat jahat orang lain untuk membunuh dirinya.[9]
Melihat kehidupannya yang demikian, nama Peagabega semakin populer di kalangan orang Migani kala itu. Mereka
mulai menyadari nama Peagabega itu
sebagai karya nyata dari makna yang disandangnya. Artinya, dengan menyaksikan
tindakan Peagabega (mencegah
kejahatan dan selalu terhindar dari serangan musuh), orang Migani mulai menerima
dan mengakui kebesaran makna nama Peagabega.
Pengakuan tersebut menunjukkan kekaguman orang Migani terhadap nama Peagabega. Karena apa yang dilakukannya
sesuai dengan makna dari nama yang ia miliki. Sebab itulah kisah mengenai tokoh
Peagabega masih diwariskan secara
turun-temurun melalui cerita-cerita, yang selanjutnya disebut mitos tokoh Peagabega orang Migani.
Dalam tulisan ini saya hendak menegaskan bahwa tokoh Peagabega bukan merupakan sosok ideal
yang tampil pada awal mula penciptaan, yang sering dipandang sebagai pencipta
atau manusia pertama. Namun Peagabega
adalah seorang tokoh ideal yang tampil sesudah adanya manusia pertama. Gambaran
ideal itu muncul dalam kurun waktu leluhur mitis, mengingat sifatnya yang
manusiawi dan adi-manusiawi. Maka itu, Peagabega
dipandang oleh orang Migani sebagai penyebab segala kondisi manusia saat itu.[10] Dengan demikian, saya
menyimpulkan bahwa kisah hidup tokoh Peagabega
yang diceritakan dari generasi ke generasi telah menjadi mitos terkenal bagi
seluruh klan di wilayah kabupaten Intan
Jaya. Peagabega dapatdilihat sebagai
salah satu tokoh legendaris atau tokoh ideal dalam kebudayaan suku bangsa
Migani hingga saat ini, kini, dan di sini.
Mitos Tokoh Peagabega[11]
Suatu masa, hiduplah keluarga Ogakendo di Kampung Soagepa.[12] Ogakendo memiliki tiga
anak, yaitu Umabu, Kuikali, dan Peagabega. Sementara nama istri Ogakendo tidak
diketahui hingga sekarang. Peagabega adalah anak lelaki tunggal di keluarga
itu. Kedua kakaknya, yaitu Umabu dan Kiukali adalah perempuan. Keluarga
Ogakendo sudah lama hidup di Soagepa. Namun mereka kemudian pindah ke Kampung
Mbamogo dan menetap di sana. Ketika berada di tempat baru, Peagabega
menyaksikan berbagai kejahatan terus terjadi, seperti pencurian (Hanesengga), pemerkosaan (Tubaga), penculikan (Mina Mbimapia), dan seterusnya. Semua
ini menyebabkan terjadinya peperangan (Mbole),
penderitaan (Otoaunggagama Umbi Tuwidia),
dan kematian (Mene Hilasumadia).
Menyaksikan realitas hidup yang memprihatinkan itu, Peagabega
berusaha menciptakan situasi yang baik (Usuama
Toa Uma Duapa). Ia tidak menghendaki kejahatan terus terjadi di kalangan
orang Migani. Dalam situasi dan kondisi hidup yang demikian,Peagabega menjadi
pribadi yang unik dan mengagumkan bagi banyak orang. Ia tampil sebagai manusia
yang berkarisma, dapat berada di mana-mana seperti angin (Pupugunaga Mene). Wujudnya dapat diketahui sebagai manusia, namun
bukan manusia biasa (Tugumenedalo/Hajimene).
Ia kadang berubah rupa seperti burung yang bisa terbang ke mana-mana, tetapi
tetap dalam bentuk manusia (Menehipi
Begahipi Diginagadia). Sering juga ia menjelma seperti malaikat (AluwiMene) yang bisa berkeliling dari
kampung ke kampung.
Peagabega sebagai seorang peramal (Kubaimene) mampu mengetahui secara langsung orang-orang Migani yang
berniat jahat terhadap sesama. Misalnya, Kelly mempunyai niat untuk mencuri
babi. Ketika Kelly hendak mewujudkan niat tersebut, ternyata Peagabega muncul
secara tiba-tiba di depannya. Mau tidak mau, niat mencuri babi tidak membuahkan
hasil. Di waktu yang lain dengan orang yang berbeda, Peagabega juga menemukan
orang yang hendak memperkosa gadis atau pun istri orang. Namun niat untuk
melakukan aksi tersebut tidak membuahkan hasil karena Peagabega muncul di
hadapannya. Ada juga yang hendak menculik anak perempuan orang, namun mengalami
hal yang sama, yakni digagalkan oleh Peagabega.[13]
Berbagai niat jahat yang hendak dilakukan oleh orang-orang Migani
selalu dicegah oleh Peagabega. Secara khusus, Peagabega memiliki sapaan yang
selalu diungkapkan ketika berhadapan dengan orang yang hendak mewujudkan niat
jahat apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Bunyi sapaan itu adalah “Bii…Bii….” atau dengan kata lain “Iniagao, Iniagao” yang secara harafiah
berarti “saya telah melihat, saya telah melihat”. Dalam konteks ini, apa pun
usaha seseorang untuk mewujudkan niat jahat selalu diketahui atau dilihat oleh
Peagabega, sehingga niat jahat tersebut tidak dapat dilakukan.[14]
Lambat laun, tindakan Peagabega mendapatkan perhatian besar, baik
dari kelompok yang simpati maupun dari kelompok yang menaruh dendam padanya
karena selalu gagal berbuat jahat. Kelompok pertama tentu memberi pujian dan
sanjungan. Sedangkan kelompok kedua justru hendak membinasakan Peagabega.
Ramalan-ramalannya yang selalu benar menimbulkan dendam tersendiri bagi mereka.
Terutama ramalan tentang kematian. Peagabega mampu mengenali tanda-tanda setiap
orang yang mendekati kematian, sehingga ia tahu seseorang akan meninggal dalam
waktu dekat.[15] Kemampuan Peagabega yang
demikian menimbulkan kecurigaan besar di tengah masyarakat, sehingga ia dituduh
sebagai aktor yang turut memperpendek usia orang sakit.
Dendam lain juga muncul karena dalam setiap pesta adat (Wogone Wane Dia Mbutu) Peagabega selalu datang menyaksikannya.
Tujuan kehadirannya adalah hendak melihat apakah pesta itu berjalan dengan
damai atau tidak. Hal ini dilakukan karena Peagabega
tahu bahwa dalam situasi pesta seperti itu mempunyai peluang besar untuk
melampiaskan dendam terhadap sesama yang dianggap musuh. Peagabega hadir untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya konflik. Namun demikian, hal ini justru
mengundang amarah. Oleh karena itu, orang yang selalu mengalami kegagalan
berhasil memperalat para tuaadat agar membantu menyusun strategi untuk membunuh
Peagabega.[16] Akhirnya, strategi pun
dilakukan lewat pertemuan rahasia (Muna).
Setelah persiapannya matang, mereka pun mengadakan pesta untuk menjebak Peagabega; dan ternyata benarlah bahwa
ia hadir dalam pesta itu.
Tibalah saatnya untuk membagi daging babi kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Menurut budaya orang Migani, ada kebiasaan bahwa dalam
pesta-pesta besar ketika hendak memberi daging babi kepada orang, maka nama
orang itu akan disebut agar datang mengambil daging yang menjadi haknya. Proses
pembagian itu berlangsung hingga sampai pada penyebutan nama Peagabega. Ketika
namanya disebut (cara memanggilnya: Peeeaagaabegaoooo….)
ia langsung berlari menuju tempat namanya dipanggil. Ketika ia mengambil daging
babi (Wogo Dugumulu) yang menjadi
miliknya, ia langsung ditangkap. Pada kesempatan inilah orang Migani melampiaskan
amarah dan dendam yang tersimpan lama kepada diri Peagabega.
Sebagai pelampiasan amarah atas tindakan Peagabega selama ini,
mereka menggiring Peagabega dari Mbamogo
(tempat penangkapan) menuju puncak Pajebundoga
(tempat mayatnya dibaringkan). Perjalanan yang jauh itu ia lalui dengan penuh
penderitaan. TubuhPeagabega penuh dengan darah akibat panah (Mala) dan rotan berduri (Pandolage dan Kigualage) yang menembusi seluruh tubuhnya. Perjalanannya yang
cukup jauh dan sangat melelahkan itu ia lalui tanpa lari dari kenyataan yang
dihadapinya.
Dalam perjalanan tersebut ia melewati Mbamogo, Jinggama, Mando, Tituage hingga sampailah di Pajebundoga.
Rotan berduri yang dililitkan pada tubuh Peagabega masih terikat kuat bersamaan
dengan panah-panah yang tertancap di tubuhnya. Ketika sampai di Pajebundoga, Peagabega belum mati. Para
eksekutor pun berusaha mencari akal agar ia benar-benar mati. Akhirnya
didapatilah ide sehingga langsung memotong lidahPeagabega(Dabe Jambaia). Ketika lidah Peagabega dipotong, ia pun mati (Hilaia) sehingga lidah tersebut
dimasukkan kembali dalam mulutnya. Setelah berhasil membunuh Peagabega, mereka
membuat para-para di atas sebuah pohon (Nggigibo
Aganggaga Kegosolata) dan menempatkan mayat itu di atasnya. Setelah itu
mereka kembali ke kampung dengan iringan sorak-sorai (Weanepa Pogaia/Unggu-Unggupa Waitigiagodia).
Peristiwa pembunuhan Peagabega itu belum diketahui pihak keluarga.
Namun beberapa waktu kemudian, berita tentang peristiwa tersebut mulai
tersebar. Kedua kakaknya yang saat itu berada di kebun Puilogo Malogo pun sudah mengetahuinya. Setelah mendengar itu
mereka langsung meninggalkan kebun menuju tempat mayat Peagabega dibaringkan.
Dalam perjalanan itu mereka membawa jalu (bunga
merah yang biasa digunakan dalam acara adat) dan tambu (sarana penerang). Hati mereka diliputi oleh kesedihan yang
mendalam sehingga perjalanannya diiringi dengan tangisan (Amepama Pogaia).
Ketika kedua kakaknya tiba di Mbamogo ternyata situasinya amat
sepi. Hal ini tentu karena sebagian besar masyarakat partisipasi dalam
pembunuhan Peagabega,[17]
dan saat itu juga terdengarlah oleh mereka iringan sorak soraidari masyarakat
yang kembali setelah membunuh Peagabega. Mendengar itu, kedua kakak Peagabega
langsung mengikuti arah datangnya iringan sorak-sorai, hingga menemui rombongan
pembunuh dalam perjalanan. Rombongan itu memberitahu bahwa mayat sang adik ada
di atas pohon Nggigibo Aganggaga.
Setelah diberitahu demikian, mereka pun sambil menangis
melanjutkan perjalanannya hingga tiba di tempat mayat adiknya dibaringkan.
Mereka melihat ternyata tubuh adiknya sudah tidak bernyawa. Entah karena apa,
ketika melihat mayat adiknya, mereka tidak menangis. Akhirnya, mereka pun
mengambil Jalu, kemudian
mengibas-ngibasnya di seluruh tubuh Peagabega (Jalumbuga Wagamindia) sambil berkata: “Ndae Peagabega Manaota Unu Undiatiadale Paitindogogo” yang berarti
(Hei Peagabega, mengapa tidur terus, bangunlah). Sambil berkata demikian,
mereka terus mengibaskan jalu pada
tubuh Peagabega. Mereka pun kaget ketika panah-panah yang tertancap di tubuh
Peagabega itu mulai terlepas dengan sendirinya.Melalui kejadian ini Peagabega
sudah menggerakkan tubuhnya sehingga kedua kakaknya mulai menyapa, namun ia tak
bersuara. Karena merasa aneh, mereka menyelidiki ternyata lidah Peagabega sudah
terpotong dan potongan lidah itu tertinggal dalam mulutnya. Akhirnya dengan
kata-kata wasiat,[18]
kedua kakaknya berhasil menyambung kembali lidah Peagabega seperti semula.
Setelah itu, Peagabega pun “bangun kembali”.[19]
Setelah Peagabega bangun, mereka bertiga sepakat
untuk tidak kembali ke Mbamogo,
karena masyarakatnya sendiri tidak menghendaki hidup bersama. Untuk itu, Umabu,
Kiukali dan Peagabegapergi ke Punitigi. Dalam perjalanannya mereka beristirahat
di Bogekumbate guna membersihkan luka-luka Peagabega.Akibat dari pembersihan
darah, nanah, dan cairan Peagabega, maka tempat itu kini mengalir tiga kali
sesuai dengan warna darah (merah), nanah (putih) dan cairan (berminyak).
Setelah membersihkan lukaPeagabega di tempat itu, mereka pun melanjutkan
perjalanan ke Punitigi, dan dari situ mereka menghilang dalam sebuah telaga
besar (Tope Ulinggaga Mbugudapia)
milik ayah mereka; dan di dalam telaga tersebut mereka juga membuat telaga
masing-masing sebagai tempat tinggalnya, sehingga kini di sana terdapat empat Uli (telaga) sesuai dengan jumlah
mereka.
[1] Sebutan Dugindoga-Kemandoga
atau Mbulu-Mbulu sampai Magataga hendak menunjukkan nama tempat
yang menjadi batas wilayah orang Migani dengan suku tetangga lainnya. Dengan
demikian, orang Migani sebenarnya mau mengatakan kepada orang lain bahwa
seluruh wilayah Kabupaten Intan Jaya itu mulai dari Mbulu-Mbulu (nama sebuah
tempat yang ada di ufuk Timur) sampai Magataga (nama tempat di bagian Barat).
[2] Elias Japugau, Analisis Suku Moni dan Dinamika Hidupnya: Suatu Metode Menggali Praktik
Hidup Suku Moni (Timika: Migani Ju Hago, 1999), hal. 1.
[3] Ungkapan Mbainggela
Pigu secara etimologis diartikan seperti berikut. Kata Mbainggela terdiri dari dua kata yaitu Mbai dan nggela. Kata Mbai bermakna ganda yaitu pertama bisa
berarti dilarang, tidak biasa atau tidak dapat. Dan kedua bisa berarti berdoa
atau sembahyang. Sementara kata nggela
menunjuk pada batu. Jadi, Mbainggela
berarti batu terlarang/batu yang dilarang. Bisa juga berarti batu doa/batu
sembahyang. Sedangkan kata Pigu
menunjuk pada gunung. Maka itu, ungkapan Mbainggela
Pigu berarti gunung terlarang atau gunung yang dilarang. Atau bisa juga
disebut gunung doa atau suci (sakral).
[4] IstilahNemangkawi
berasal dari
bahasa orang Amungme yang berarti gunung yang putih, suci atau sakral; Lihat Amandus Rahadat Pr, Konsekrasi Gereja Katedral Tiga Raja Timika
(Timika: Gereja Katedral Tiga Raja Timika, 2010), hal. 55.
[5] Kal Muller, Mengenal Papua, hal. 13. Tanpa nama tempat, penerbit dan tahun
terbit.
[6] Louis Markus Zonggonao, Praktek Dan Latar Belakang Larangan
Perkawinan Antara Suku Ekagi Dan Suku Migani yang Diungkapkan Dengan Istilah
Wiyee atau Wize.Skripsi.
(Jayapura: STFT, 1976), hal. 4.
[7] Selpianus Bagubau, Wawancara: Makna
nama Peagabega. Rabu, 13 Februari 2013, pukul 10.00 WIT, di Asrama
Mahasiswa Intan Jaya, Buper Waena, Jayapura.
[8] Peaga Bega adalah nama adat yang diberikan oleh orang tua. Hal ini menunjukkan
bahwa semua orang tua dari suku bangsa Migani selalu memberikan nama adat
kepada setiap anak yang lahir. Nama tersebut mengandung makna yang cukup
mendalam bagi setiap pribadi yang menyandangnya.
[9] Berkaitan dengan peristiwa
penangkapan, bukan mustahil
bagi seorang Peagabega sebagai
peramal yang ulung telah mengetahui sebelumnya. Namun hal ini dilihat sebagai
sikap lepas bebas dari sang Peagabega
sendiri (rela mati daripada dikejar terus-menerus). Maka, melalui pesta besar (Wogone Wane Diambutu) yang digelar oleh
orang-orang yang selalu mengalami kegagalan bersama para tua adat, akhirnya ia
pun ditangkap dan dibunuh.
[10] Bagian ini mengikuti pemikiran Agus A. Alua, Gambaran Makhluk Ideal Dalam Mitos-Mitos
Irian Sebelum dan Setelah Bertemu Kristus. Karya Tulis Ilmiah
Mitologis-Kristologis, hlm. 4.
[11] Dikumpulkan dari berbagai sumber dengan sumber utama Bapak Selpianus
Bagubau dan Bapak Yustinus Nambagani, Wawancara:
tentang Mitos Peagabega. Rabu, 13 Februari 2013, pukul 10.00 WIT, di Asrama
Mahasiswa Intan Jaya, Buper Waena, Jayapura.
[12] Salah satu kampung yang berada di wilayah Kuasi Titigi, Paroki St.
Misael Bilogai.
[13] Upaya pencegahan yang
dilakukan oleh Peagabega itu
bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang baik di tengah-tengah kehidupan
orang Migani.
[14] Tindakan pencegahan ini
hendak menunjukkan bahwa Peagabega tidak menginginkan adanya kejahatan.
[15] Upaya ini Peagabega lakukan dengan maksud supaya keluarga si
penderita segera mencari jalan keluar demi kesembuhan orang yang sedang sakit.
Namun sayang sekali bahwa orang yang memusuhi dirinya itu tidak mengerti maksud
yang dilakukan oleh Peagabega. Dalam konteks ini Peagabega tidak memberitahu secara
langsung kepada pihak keluarga yang sakit agar segera mencari solusi demi
kesembuhan si penderita. Maksud Peagabega
ini belum diketahui oleh orang Migani hingga saat ini.
[16] Sejumlah orang yang
memusuhi Peagabega berhasil menghasut
tua-tua adat dengan tuduhan bahwa kehadiran Peagabega
amat mengganggu kenyamanan masyarakat. Salah satu contoh yang mereka kemukakan
kepada tua-tua adat adalah Peagabega
dianggap sebagai aktor utama dalam memperpendek usia orang Migani sehingga
banyak yang terus meninggal. Dengan berbagai hasutan tersebut, maka para tua
adat pun partisipasi dalam pembunuhan Peagabega.
[17] Sebagian besar masyarakat
yang dimaksud dalam konteks ini adalah kelompok masyarakat yang mempunyai
hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang selalu mengalami berbagai
kegagalan.
[18] Kata-kata wasiat yang
digunakan untuk menyambung lidah Peagabega
belum diketahui sampai saat ini. Barangkali
dirahasiakan oleh tua-tua adat bangsa Migani khususnya dari Nabelau, Pogau, Agimbau dan Bagubau demi
menjaga kesucian mitos ini. Atau bisa saja kata-kata wasiat yang dimaksud tidak
diketahui oleh para pemilik mitos itu sendiri. Dengan kata lain, kata-kata
wasiat yang dimaksud benar-benar ada namun penulis sendiri belum sempat melakukan
wawancara dengan para informan secara lebih mendalam.
[19] Berkaitan dengan Peagabega yang “bangun kembali” perlu
dilihat dalam konteks mati suri (kelihatan sudah mati padahal sebenarnya masih
hidup) atau bisa saja ia “pingsan” karena perjalanan yang ia lewati itu amat
jauh. Dengan demikian, ketika kedua kakaknya menyambung kembali lidahnya yang
terpotong, maka pada saat yang sama Peagabega
pun bangun kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar