Sastra Papua Akan Mendunia (Sebuah Catatan Kecil)
Ummu Fatimah Ria Lestari
Sastra. Ketika kita
mendengar atau membaca kata ini, mungkin muncul dua pengertian dalam benak
kita, yaitu sastra kreatif dan sastra ilmiah. Sastra kreatif adalah karya seni
kaum seniman atau sastrawan. Bentuknya dapat berupa prosa (cerita pendek dan
novel), puisi, drama (naskah drama). Sedangkan, sastra ilmiah adalah sastra
yang merupakan ilmu pengetahuan atau bidang ilmu yang mempelajari karya-karya
sastra (prosa, puisi, dan drama). Sastra ilmiah ini mencakup teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra. Dalam perkembangannya, muncul bidang baru
yang multidisipliner, seperti sosiologi sastra (sosiosastra), psikologi sastra
(psikosastra), dan lain-lain. Harus diakui pula bahwa tidak gampang
mendefinisikan sastra agar dapat diterima secara umum. Sehingga, menurut hemat
saya, kita tidak perlu berdebat untuk mendefinisikan pengertian sastra. Biarlah
sastra itu yang ’mengungkapkan’ hakikat dirinya sendiri.
Bahasan tentang
sastra merupakan suatu pembicaraan yang luas, kompleks, dan komprehensif. Dalam
tulisan ini, saya hanya akan membahas tentang sastra Papua. Batasan Sastra
Papua yang saya maksud adalah karya tulis yang sengaja ditulis, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa daerah Papua; bertemakan kondisi tanah Papua,
mencakupi kondisi manusia, kebudayaan, maupun alamnya; tulisan tersebut dapat
berupa fiksi maupun nonfiksi; dan dapat ditulis oleh siapa saja atau di mana
saja. Para
penulis sastra Papua tentunya terinspirasi oleh masalah-masalah yang ada di
tanah Papua. Mereka menganggap bahwa hal-hal tersebut patut untuk diangkat ke
permukaan. Sehingga, masalah kemasyarakatan banyak dipaparkan penulis lewat
tulisan mereka. Meskipun, mereka memiliki gagasan dan gaya penceritaan yang
berbeda-beda. Adapun klasifikasi karya sastra Papua adalah sebagai berikut.
1.
Karya sastra Papua berdasarkan proses
kreatifnya, terdiri atas dua jenis, yaitu: karya sastra yang murni dari imaji
pengarangnya dan karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan.
2.
Karya sastra Papua berdasarkan media
penyampaiannya, ada yang menggunakan media bahasa daerah di Papua dan media
bahasa Indonesia.
3.
Karya sastra Papua berdasarkan genre-nya, ada yang berbentuk biografi,
prosa, puisi, novel, dan drama.
4.
Karya sastra Papua berdasarkan
pengarang dan pembacanya cukup variatif. Mereka dapat berasal dari kaum
perempuan, para misionaris, kalangan akademisi, usia dewasa, kelompok remaja,
dan golongan anak-anak. Sehingga karya sastra tersebut dikenal dengan istilah
sastra anak Papua, sastra remaja Papua, dan sebagainya. Pengarangnya ada yang
berasal dari orang Papua asli maupun orang non-Papua (kalangan pendatang di
Papua).
5.
Karya sastra Papua berdasarkan kajian
ilmiah tentangnya, bisa dikatakan cukup banyak. Data hasil-hasil penelitian
kesastraan Balai Bahasa Provinsi Papua menyebutkan, selama sepuluh tahun
terakhir, hasil penelitian kesastraaandi Papua (termasuk Papua Barat) sudah lebih dari seratus judul.
Penelitian-penelitian tersebut mencakup penelitian terhadap sastra tradisi maupun sastra
modern. Sastra tradisi adalah karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan. Ada
juga yang menyebutnya dengan istilah sastra lisan. Penelitian sastra tradisi berupa antologi
cerita rakyat, studi struktur cerita, analisis nilai budaya, dan kajian resepsi
sastra.
Selain penelitian, karya sastra
tersebut juga telah diinventarisasi dan didokumentasi oleh berbagai pihak,
termasuk Balai Bahasa Provinsi Papua. Hal tersebut merupakan upaya proteksi
dan preservasi kandungan nilai budaya yang ada di dalamnya. Sehingga, kini
sastra lisan tersebut sudah bertransformasi dalam bentuk karya sastra prosa,
kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku.
Selanjutnya, saya
kemukakan realitas dan keunikan sastra Papua sebagai berikut.
Satu
hal yang menarik, kemunculan novel Indonesia-Papua sejak tahun 2000 sampai
dengan tahun 2014, ternyata semua penulisnya adalah perempuan. Sehingga, dalam
tulisan sederhana ini saya akan memaparkan apa saja yang mereka ungkapkan lewat
karya novel mereka. Penulis perempuan yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah penulis yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan, novel Indonesia-Papuaadalah
novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan bertemakan kondisi tanah Papua,
mencakupi kondisi manusia, kebudayaan, maupun alamnya. Novel Indonesia-Papua masih kurang
jumlahnya dibandingkan novel Indonesia lainnya. Dalam kurun waktu
satu dekade (sepuluh tahun) hanya tercipta beberapa judul novel Indonesia-Papua. Berikut ini adalah paparan tentang
novel Indonesia-Papuayang terbit tahun 2004—2014 dan para penulisnya, secara
berurutan sebagai berikut:
1. Kapak. Novel setebal 136 halaman ini ditulis oleh seorang perempuan Jawa, Dewi Linggasari,dan diterbitkan oleh Penerbit Kunci Ilmu di Yogyakarta tahun 2005. Dewi Linggasari
mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat adat setelah
persentuhannya dengan ekonomi pasar dan kekuasaan negara. Meski bukan titik
pijak utama penceritaan, namun pengaruh ekonomi begitu kentara dalam pola hidup
yang berubah tersebut.
2. Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani. Novel ini juga ditulis oleh Dewi Linggasari, diterbitkan tahun 2007 oleh Penerbit
Kunci Ilmu, Yogyakarta. Novel setebal 252 halaman ini mengisahkan perempuan Papua bernama Liwa atau Aburah, yang pada akhirnya melakukan bunuh
diri. Tokoh perempuan tersebut dianggap sebagai korban jagat patriarki. Kuatnya
adat suku Dani tidak membuka
peluang bagi perempuan untuk mencari perlindungan atau mengadukan nasibnya yang
malang, jangankan secara hukum, secara kekeluargaan pun tidak mungkin. Perang suku memang
menghilang, namun digantikan perang negara dengan kelompok masyarakat yang dulu
gemar berperang. Penulis berpandangan bahwa terkadang modernitas tak lebih baik
dibandingkan dengan tradisionalitas, malah bisa lebih buruk.
3. Mawar Hitam Tanpa Akar. Novel ini ditulis
oleh seorang perempuan asli Papua, Aprila R.A. Wayar.Pertama kali novel ini terbit
di Jakarta pada medio Juli 2009 oleh Papua Room bekerja sama dengan Spasi.
Dengan ketebalan 253 halaman, novel inibercerita tentang situasi dan kondisi
Tanah Papua. Tampaknya Aprila sengaja mengangkat tema tersebut,
karena ia adalah orang Papua. Secara umum, Aprila menulis tentang realitas
kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari perkisahan yang sengaja diambil, yaitu
tentang kehidupan sebuah keluarga kecil di tengah-tengah lingkungan masyarakat
di Papua. Ketika berbicara tentang kehidupan, hal itu tidak dapat dipisahkan
dari konflik dan masalah yang bergulir di dalamnya.
4. Tanah Tabu. Novel ini ditulis Anindita S. Thayf dan
dinyatakan sebagai pemenang I Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun
2008.Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya pada tahun 2009,denganketebalan 237 halaman. Anindita menyajikan kondisi
sosial politik di Tanah Papua, tentu saja dengan gaya dan caranya sendiri
sebagai seorang perempuan. Novel ini merupakan sebuah hasil kreativitas yang
dilandasi oleh kepekaan imajinasi dan ketajaman nalurinya.
5. Elang. Novel ini ditulis
oleh Kirana Kejora dan diterbitkan tahun 2009 oleh Almira Management. Penulis
mengharapkan agar tokoh (manusia) diperlakukan secara manusiawi—bukan sebuah
robot bernyawa. Saat membaca novel Elang, seolah
kita membaca sudut kecil peta Indonesia yang penuh tanda dan warna. Penulis
memiliki pandangan bahwa pola pikir dapat berubah menjadi kelakuan, juga
menciptakan kebiasaan. Selanjutnya akan berkembang menjadi adat ketika terasuki
sebuah nilai dan pranata cukup menggoda.
6. Istana Pasir. Novel karya Dewi
Linggasari ini terbitkan oleh Kunci Ilmu, Yogyakarta, pada tahun 2010. Di
dalamnya mengisahkan seorang gadis yang pernah bercita-cita menjadi dokter,
tetapi kelam kehidupan menyesatkannya pada kenyataan pahit. Dia harus menjadi
seorang pekerja seks komersil (PSK) dan meninggal dunia karena penyakit
HIV/AIDS. Istana Pasir adalah kiasan yang digunakan penulis. Secara tersirat,
penulis mengungkapkan bahwa betapa rapuhnya dinding kehidupan yang dibangun
seorang PSK, sehingga jilatan lidah ombak yang paling kecil sekali pun, sudah
cukup untuk merobohkannya.
7. Dua Perempuan. Novel kedua Aprila
R.A. Wayar ini terbitkan oleh Nala Cipta Litera di Makassar tahun 2013. Tema
novel dan gagasan penulisnya masih serupa dengan novel pertamanya, Mawar Hitam Tanpa Akar. Di dalamnya,
Aprila ingin mengungkapkan bahwa keadilan harus diperuntukkan bagi semua orang,
termasuk hak-hak dasar orang Asli Papua.
8.
Papua Berkisah. Novel karya
pertama Swastika Nohara ini terbitkan oleh Loveable, Jakarta, tahun 2014.
Swastika mengungkapan kegelisahannya akan isu identitas dan pertanyaan yang tak
pernah lekang dimakan zaman, ”Kamu orang mana?” Sehingga, gagasan untuk
mempertahankan identitas diri ditulisnya dalam novel ini.
9.
Cinta Putih di
Bumi Papua. Novel ini ditulis oleh Dzikry el Han dan diterbitkan oleh
Noura Books, Jakarta, tahun 2014. Dengan ketebalan 359 halaman, novel ini
memuat gagasan adanya kepaduan antara agama dan budaya. Penulis berpendapat
bahwa implementasi nilai-nilai adat sedapat mungkin sejalan dengan ajaran agama,
bukan untuk dipertentangkan, apalagi dibalut dengan adanya kepentingan tertentu
dan personal. Sehingga, tercipta keseimbangan dan toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat.
Karya sastra yang ditulis oleh remaja Papua masih sedikit
jumlahnya. Sehingga, penyelenggaraan lomba atau seyembara kepenulisan menjadi
jalan untuk menemukan karya-karya terbaik remaja di Papua. Karya-karya kreatif
tersebut kelak menjadi kebanggaan semua pihak. Dalam proses ini, pihak
penyelenggara lomba mengumpulkan karya sastra remaja yang menjadi pemenang,
salah satunya dalam bentuk cerita pendek. Selain penyelenggaraan lomba,
kegiatan Bengkel Sastra juga dianggap efektif untuk melatih remaja Papua dalam
hal menulis. Selanjutnya, hasil karya peserta kegiatan tersebut dibukukan.
Terdapat
empat sastra karya remaja Papua yang telah saya temukan berdasarkan penulisnya.
Pertama, pemenang lomba Sayembara Penulisan Cerita Pendek bagi Siswa
SLTP dan SLTA Se-Provinsi Papua dan Papua Barat, yang diselenggarakan oleh
Balai Bahasa Jayapura. Tulisan-tulisan mereka dibukukan dalam bentuk antologi,
dengan pertimbangan kualitas karya-karya tersebut tidak diragukan. Karena hasil
tulisan yang telah dibukukan merupakan pilihan dewan juri yang terdiri dari
unsur seniman, akademisi, dan pemerintahan. Penilaian mereka murni dilakukan
oleh dewan juri, tanpa ada campur tangan pihak penyelenggara. Sehingga, pihak
Balai Bahasa Jayapura yakin untuk menerbitkan karya-karya tersebut.
Kedua, peserta kegiatan Gemar Membaca Rajin Menulis (Gemarame) untuk Siswa SLTP dan SLTA
Se-Provinsi Papua dan Papua Barat yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Ketiga, karya dari peserta kegiatan Bengkel Sastra untuk Siswa SLTA Se-Provinsi
Papua dan Papua Barat yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
Keempat, remaja Papua di Sekolah Menulis
Papua.
Sementara
karya sastra remaja Papua yang saya temukan berdasarkan urutan waktunya juga
ada empat. Pertama, periode tahun
2003-2006. Karya sastra remaja periode ini telah dibukukan dan diteliti oleh
Siswanto, dkk. dari Balai Bahasa Jayapura tahun 2007. Dalam penelitian
tersebut, ditemukan bahwa pengarang sastra remaja di Papua terdiri atas siswa
SLTP dan SLTA; umumnya menggunakan pusat pengisahan orang pertama; memuat kisah
kehidupan remaja yang bertemakan percintaan, persahabatan, perjuangan, dan
masalah keluarga; latar ceritanya beragam; tokoh-tokohnya menggunakan nama
orang Indonesia; dan alurnya variatif (forward,
flashback, dan zig-zag).
Kedua, periode tahun 2005-2009. Karya sastra
remaja periode ini dimuat dalam buku berjudul Antologi Cerita Pendek Remaja 2005-2009. Buku ini diterbitkan oleh
Balai Bahasa Jayapura. Saya menemukan bahwa karya sastra di dalamnya adalah
karya siswa SLTA se-Provinsi Papua; menggunakan pusat pengisahan orang pertama
tunggal dan orang ketiga tunggal; bercerita tentang kehidupan dan dunia remaja
yang bertemakan adanya gangguan penyakit, kematian, percintaan, persahabatan,
dan masalah keluarga; latar ceritanya beragam; tokoh-tokohnya menggunakan nama
orang Indonesia; menggunakan alur forward
dan flashback. Melihat beragamnya
tema yang dimunculkan dalam cerita, mengindikasikan bahwa fenomena sosial yang
ditangkap oleh remaja Papua juga variatif. Mereka memiliki persepsi dan gaya
penceritaannya masing-masing.
Ketiga, periode tahun 2012-2013. Karya sastra
remaja periode ini terkumpul dan dibukukan dalam buku berjudul Cinta Kasih Malaikat: Kumpulan Cerpen Karya
Anak-Anak Bangsa dari Papua 2013. Buku ini diterbitkan oleh Balai Bahasa
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Saya menemukan bahwa karya sastra di
dalamnya adalah karya siswa SLTA se-Provinsi Papua; umumnya menggunakan pusat
pengisahan orang pertama tunggal; bercerita tentang kehidupan dan dunia remaja
yang bertemakan malaikat; latar ceritanya beragam; umumnya, tokoh-tokohnya
menggunakan nama orang Indonesia dan nama baptis; menggunakan alur forward dan flashback.
Keempat, periode tahun 2015. Karya sastra remaja
periode ini diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Cerita dari Timur. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua
(SMP). Di dalamnya, saya menemukan karya remaja Papua yang sudah berstatus
mahasiswa pada beberapa perguruan tinggi di Papua; menggunakan pusat pengisahan
orang pertama tunggal dan orang ketiga tunggal; bercerita tentang realitas
sosial budaya masyarakat Papua; latar ceritanya beragam; umumnya,
tokoh-tokohnya menggunakan nama orang Indonesia; dan kebanyakan menggunakan
alur forward. Karena tingkat usia dan
pendidikan para penulis yang lebih tinggi dibanding penulis tahun-tahun
sebelumnya, gaya dan teknik penceritaan mereka kelihatan lebih dewasa dan
matang.
Seiring
waktu, hasil-hasil karya sastra remaja di atas tampak memiliki persamaan dan
perbedaan dalam hal struktur maupun temanya. Meskipun dalam tulisan ini, saya
belum sempat mendeskripsikan perbedaan dan persamaannya secara mendetail.
Namun, pastinya hal itu mencerminkan adanya dinamika dalam proses bersastra
kalangan remaja Papua. Dalam proses perjalanannya, saya masih menganggap karya
sastra itu melewati lorong kecil yang terbatas ruangnya. Saya yakin, masih
banyak karya sastra remaja Papua yang berserakan, belum sempat dibukukan sampai
saat ini. Saya juga berharap sanggar sastra di sekolah maupun di masyarakat
digiatkan kembali. Sehingga, remaja di Papua memiliki wadah untuk berkarya
secara intensif dan terarah.
Karya
sastra anak di Papua mulai bermunculan. Hal itu tidak lepas dari strategi
marketing penerbit dan toko buku. Meskipun, buku-buku yang ditawarkan untuk
target pasar anak kebanyakan hanya buku komik atau cerita dongeng. Saya amati
bahwa sastra anak ber-genre cerita
fiksi (prosa) di Papua baru mulai berkembang saat ini. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh motivasi orang tua maupun guru kepada anak untuk mengapresiasi
sastra. Faktanya, ketika Balai Bahasa Provinsi Papua mengadakan Bengkel Sastra
Tahun 2015 dalam bentuk pelatihan mendongeng, minat para guru TK begitu besar.
Artinya, para guru sudah memahami bahwa kegiatan mendongeng merupakan cara
untuk memperkenalkan dan menumbuhkan apresiasi anak-anak terhadap sastra
anak.
Sastra
anak mungkin masih istilah baru bagi masyarakat di Papua. Kiranya saya perlu
menjelaskan sedikit tentang sastra anak, agar terjadi persamaan persepsi dan
pemahaman. Sastra anak adalah buku yang di dalamnya berisikan citraan dan atau
metafora kehidupan yang dikisahkan dalam jangkauan anak. Jangkauan ini meliputi
aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, ataupun pengalaman moral, juga
kebahasaan yang dapat dipahami oleh pembaca anak-anak. Intinya, isi buku
tersebut dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat
perkembangan jiwanya. Sedangkan, menurut Nurgiyantoro (2010:6-7), sastra anak
adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami
oleh anak. Pada umumnya hal itu berangkat dari fakta yang konkret dan mudah
diimajinasikan. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang
menurut orang dewasa tidak masuk akal. Pendek kata, cerita anak dapat berkisah
tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan ini, sehingga mampu
memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu
sendiri. Bahkan, cerita anak tidak harus selalu berakhir menyenangkan, tetapi
dapat juga sebaliknya. Sastra anak ini ditujukan kepada pembaca kategori
anak-anak berusia 1 hingga kurang lebih 12 tahun (Huck, et.al via Nurgiyantoro,
2010:11). Adapun kategori anak yang dimaksudkan oleh Piaget (via Nurgiyantoro,
2010:11) dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar
12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal. Di Papua
dan Indonesia pada umumnya, rentang usia tersebut adalah kelompok usia siswa
Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sastra anak dapat
memberikan kontribusi antara lain, 1) nilai personal yang memengaruhi
perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, serta
pertumbuhan rasa etis dan religius; 2) nilai pendidikan yang melahirkan adanya
eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, nilai keindahan, wawasan
multikultural, dan kebiasaan membaca.
Selanjutnya,
mari kita lihat secara konkret, apa saja karya sastra anak di Papua dalam kurun
lima tahun terakhir. Ternyata, karya sastra anak di Papua terbatas pada buku
cerita fiksi (cerpen). Isinya menceritakan tentang kehidupan anak-anak Papua,
ditulis dalam bahasa Indonesia dengan campuran dialek Melayu Papua, diterbitkan
di Papua, dan ditulis oleh anak-anak yang berdomisili di Papua. Hanya ada dua
judul buku yang saya temukan, yaitu: 1) Buku Sebatang Luka: Kumpulan Cerita Pendek Papua 2011, yang di dalamnya
terdapat delapan belas cerita pendek. Buku ini merupakan kumpulan tulisan hasil
kegiatan Gemar Membaca Rajin Menulis
(Gemarame) yang pesertanya adalah para siswa dan guru SLTP se-Kota dan
Kabupaten Jayapura. Tema yang digagas dalam cerita pendek tersebut adalah rasa
takut. Namun, ternyata karya yang tercipta tidak semuanya sesuai dengan tema.
Buku ini dipublikasikan oleh tim redaksi Balai Bahasa Jayapura, Kementerian
Pendidikan Nasional, pada tahun 2011; 2) Buku The Story of Marind yang ditulis oleh Damaika Saktiani pada tahun
2013. Buku tersebut merupakan antologi cerita. Di dalamnya terdapat lima cerita
pendek. Buku ini terinspirasi oleh anak-anak suku Marind di Kabupaten Merauke,
Papua. Tema yang diusung adalah realitas masyarakat Marind, namun yang lebih
dominan diceritakan adalah kondisi anak-anak Marind. Dari sudut pandang aku-an
dan dia-an, Damaika sengaja menulis tentang anak-anak Marind yang berkeinginan
untuk tetap bersekolah. Selain itu juga tentang persahabatan antara anak-anak
suku Marind dengan alamnya, dan kehidupan keluarga Marind yang bersahaja.
Masyarakat Papua dengan tradisi lisan yang sangat kuat, memungkinkan untuk
berkembangnya karya sastra anak, meskipun prosesnya berjalan lamban.
Karya
sastra yang bersumber dari tradisi lisan sudah mendapatkan perhatian serius
dari berbagai pihak. Hal ini tampak dari cakupan wilayah penelitian yang sudah
meluas hingga ke pelosok Papua. Objeknya pun telah berkembang dalam berbagai genre, dan teori analisis yang digunakan
sudah beragam. Karya sastra jenis ini disebut pula dengan istilah sastra lisan.
Penelitian sastra, khususnya sastra lisan, dalam genre apapun di tanah Papua ini idealnya
dilakukan secara lebih terarah, bertahap, serta berkelanjutan. Hal ini harus
dilakukan demi pembangunan mental masyarakat Papua sebagai pemilik kebudayaan,
dan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Berikut saya kemukakan profil hasil
penelitian sastra lisan Papua yang telah saya lakukan. Hasil-hasil penelitian
tersebut sudah saya publikasikan dalam jurnal ilmiah sastra dan
budaya, baik dalam cakupan lokal maupun nasional.Walaupun secara kuantitas
belum memenuhi target dan masih terdapat kekurangan, kiranya ini dapat menjadi
semacam portal untuk memasuki wilayah penelituan yang lebih jauh dan mendalam.
No
|
Judul Tulisan/
Publikasi Penelitian
|
Media
Publikasi
|
Bentuk
Publikasi
|
Edisi
|
1.
|
Unsur-unsur Intrinsik dalam Naskah Drama Rakyat Manokwari
Berjudul Yambin
|
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
|
Jurnal
|
Vol. 5, No. 1, April 2009
Hal. 99-106
|
2.
|
Interpretasi Makna Lagu Biak “Wampasi Wambarek” (Sebuah
Pendekatan Hermeneutika)
|
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
|
Jurnal
|
Vol. 7, No. 1, April 2011
Hal. 27-36
|
3.
|
Latar Arkeologis dalam Novel “Penguasa-Penguasa Bumi”
Karya Don Richardson.
|
Papua, Balai Arkeologi Jayapura
|
Jurnal
|
Th. III No. 1, Juni 2011
Hal. 105
|
4.
|
Nilai-Nilai Transendental dalam Cerita Rakyat Kabupaten
Keerom, Papua: Watuwe dan Yowyatuwa.
|
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
|
Jurnal
|
Vol. 7, No. 2, Oktober 2011
Hal. 179-188.
|
5.
|
Struktur Sastra Lisan Ormu
|
Walasuji, BPSNT Makassar
|
Jurnal
|
Vol. 2, No. 2, Thn 2011
Hal. 229-241.
|
6.
|
Mengungkap Cerita Rakyat Berdasarkan Temuan Benda
Purbakala di Pulau Ormu, Kabupaten Jayapura.
|
Papua, Balai Arkeologi Jayapura
|
Jurnal
|
Th. IV No. 1, Juni 2012
Hal. 19-28.
|
7.
|
Naskah Drama “Orang-Orang Merah dari Bumi yang Dilupakan”
Karya Philipus Ramandey Thamo (dalam Pencitraan Sejarah dan Semangat
Nasionalisme di Papua)
|
Undas, Balai Bahasa Provinsi Kalsel
|
Jurnal
|
Vol. 8, No. 1, Desember 2012 Hal. 67-76.
|
8.
|
Sejarah Moyang Suku Kemtuk Gresi di Kabupaten Jayapura,
Papua (Berdasarkan Penelusuran Cerita Rakyat)
|
Aksara, Balai Bahasa Provinsi Bali
|
Jurnal
|
Vol. 24, No. 2, Desember 2012 Hal. 230-237.
|
9.
|
Unsur Didaktis dalam Syair Lagu Rakyat Papua
|
Atavisme, Balai Bahasa Provinsi Jatim
|
Jurnal
|
Vol. 15, No. 2, Desember 2012 Hal.
247-259.
|
10.
|
Bahasa Ibu dan Transformasi Nilai Budaya Suku Sentani,
Papua (Sebuah Realitas atas Eksistensi Bahasa dan Sastra Lisan Sentani,
Papua)
|
Balai Bahasa Provinsi Jabar.
|
Prosiding
|
SIBI tahun 2012 Hal. 44.
|
11.
|
Kembali Mendongeng (Sebuah Alternatif dalam Pembelajaran
Sastra Anak).
|
UMI Makassar
|
Prosiding
|
SI Milad ke-25 Fak. Sastra UMI Hal. 253.
|
12.
|
Noken dalam Budaya Tabi, Papua (Berdasarkan Penelusuran
Folklor Tabi, Papua)
|
Penerbit Ombak Yogyakarta
|
Buku
|
Dalam “Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Manusia
Modern” Tahun 2013.
|
13.
|
Representasi Budaya Nimboran dalam Mitologi Nimboran,
Papua.
|
Balai Bahasa Provinsi Jabar.
|
Prosiding
|
SI Bahasa dan Sastra Daerah tahun 2013 Hal. 187.
|
14.
|
Tradisi Tutur Orang Papua
|
Balai Arkeologi Jayapura
|
Buku
|
Dalam “Kebudayaan Papua”
tahun 2013 Hal. 45.
|
15.
|
Mitos Wairam Etnik Kemtuk Gresi: Sebuah Analisis Struktur
Sastra Lisan.
|
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura
|
Jurnal
|
Juni 2013 Hal. 55-68.
|
16.
|
Morfologi Cerita Rakyat Ormu (Sebuah Telaah Teori Propp)
|
Multilingual, Balai Bahasa Provinsi Sulteng
|
Jurnal
|
Vol. XII, No. 1, Juni 2013, Hal. 128-139.
|
17.
|
Mitos “Kiki Blani” Etnik Tabu Elseng (Berdasarkan Teori
Struktur A.J. Greimas)
|
Kadera Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Sulut.
|
Jurnal
|
Vol. 5, No. 2, Agustus 2013 Hal. 199-208.
|
18.
|
Mitos “Warikreng” Suku Nimboran, Papua (dalam Kajian
Struktur Levi-Strauss)
|
Kandai, Balai Bahasa Sultra.
|
Jurnal
|
Edisi Khusus, Agustus 2013 Hal. 234-246.
|
19.
|
Perempuan Ormu dalam Folklor Suku Ormu Kab. Jayapura,
Papua.
|
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
|
Jurnal
|
Juli-Des. 2013 Hal. 41.
|
20.
|
Mitos Waropen “Serakokoy” (Berdasarkan Telaah Teori A.J.
Greimas)
|
Toto Buang, Kantor Bahasa Provinsi Maluku
|
Jurnal
|
Vol. 1, No. 2, Desember 2013 Hal. 193-200
|
21.
|
Mitologi Papua
|
LeutikaPrio
|
Buku
|
Tahun 2013
|
22.
|
Mob Papua
|
LeutikaPrio
|
Buku
|
Tahun 2013
|
23.
|
Mengenal 18 Lagu Rakyat Papua
|
Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat.
|
Buku
|
Tahun 2013
|
24.
|
Totem(isme) Papua
|
LeutikaPrio
|
Buku
|
Tahun 2014
|
25.
|
Mitos Ukullek di Lembah Baliem (Sebuah Telaah Struktur
A.J. Greimas)
|
Hiski Ambon, Unpatti, dan Kantor Bahasa Provinsi Maluku
|
Prosiding
|
Seminar Nasional Hiski Ambon tahun 2014 28—28 Agt. 2014.
|
26.
|
Mitos Asmat “Fumiripits”
|
Gramatika, Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara
|
Jurnal
|
Vol II, No. 1 Tahun 2014 Hal. 17—28.
|
27.
|
Morfologi Cerita Rakyat Sobey Kororsri (Penerapan Teori
Naratologi Vladimir Propp)
|
Gramatika, Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara
|
Jurnal
|
Vol II, No. 2 Tahun 2014.
|
28.
|
Tujuh Cerita Rakyat Danau Sentani
(Ditinjau Lewat Teori Parry-Lord)
|
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua
Barat.
|
Jurnal
|
Vol. 11, No. 1, April 2014.
|
29.
|
Sastra Lisan dan Objek Wisata di
Jayapura (Analisis
Latar dalam Teks)
|
Telaga Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo
|
Jurnal
|
Vol. 2, No. 1, Juni 2014.
|
30.
|
Morfologi Cerita Rakyat Ormu Faiyo (Sebuah Analisis Naratologi
Propp)
|
Kadera, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara
|
Jurnal
|
Vol. 6, No. 2 Tahun 2014
|
31.
|
Morfologi Cerita Rakyat Tabu Elseng Monabi (Sebagai Upaya Mengenal Suku Tabu Elseng di Papua)
|
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
|
Jurnal
|
Desember 2015.
|
32.
|
Mengenal Etnik Yokari di Kabupaten
Jayapura Melalui Nilai Transendental Mitos Maruway
|
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
|
Jurnal
|
Juni 2015.
|
33.
|
Morfologi Cerita Rakyat Asmat Jipi (Sebuah Analisis Naratologi
Propp)
|
Sirok Bastra, Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung
|
Jurnal
|
Vol. 3, Nomor 1, Juni 2015
|
35.
|
Realitas Masyarakat Tabi di Papua (dalam Kajian Morfologi
Cerita Rakyat)
|
Harian Jubi, Jayapura
|
Tabloid
|
Edisi Sabtu, 7 Maret 2015
|
Demikianlah pemaparan saya tentang
realitas, perjalanan, keunikan, dan perkembangan sastra Papua saat ini. Memang
masih jauh dari harapan saya sebagai penggiat sekaligus peneliti sastra, tetapi
saya tetap optimis bahwa suatu saat sastra Papua juga akan mendunia. Kata
‘mendunia’ yang saya maksudkan di sini adalah dikenal, dibaca, dan dibicarakan
orang sedunia. Dengan sebuah langkah kecil, kita dapat memulainya, yaitu dengan
memperlakukan karya sastra Papua sebagai tuan di rumahnya sendiri, di tanah
Papua. Publikasi karya sastra Papua melalui internet memang sudah digiatkan,
hanya saja belum dapat dinikmati secara maksimal. Karena karya sastra online hanya dapat diakses (dibaca) oleh
kalangan tertentu di Papua. Karya sastra Papua dalam bentuk cetakan buku masih
dianggap lebih baik. Kehadiran buku bacaan tersebut akan meningkatkan budaya
membaca dan menumbuhkan budaya menulis. Lebih jauh, ikatan antara pengarang,
karya, dan pembacanya akan semakin kuat. Hal ini berimplikasi pada pemertahanan
eksistensi sebuah karya sastra. Evaluasi dan apresiasi melalui kegiatan kritik
sastra yang cerdas juga harus lebih digalakkan, sehingga kualitas karya sastra
Papua akan lebih meningkat dan kompetitif. Namun, tentu saja hal tersebut
menjadi tanggung jawab dan memerlukan kerja sama antarpihak terkait. []
*Waena-Kotanika-Sentani, dalam Agustus 2015
How to play free casino games
BalasHapusHow to 윈 조이 포커 시세 play free 챗룰렛 casino games online · Play poker online · No deposit casino bonus 호벳 · Play poker online · Real bitcasino money casino · 바카라 사이트 주소 No Deposit Bonuses.