Kamis, 01 September 2016

Esai Ummu Fatimah R.L: Sastra Papua Akan Mendunia



Sastra Papua Akan Mendunia (Sebuah Catatan Kecil)
Ummu Fatimah Ria Lestari

Sastra. Ketika kita mendengar atau membaca kata ini, mungkin muncul dua pengertian dalam benak kita, yaitu sastra kreatif dan sastra ilmiah. Sastra kreatif adalah karya seni kaum seniman atau sastrawan. Bentuknya dapat berupa prosa (cerita pendek dan novel), puisi, drama (naskah drama). Sedangkan, sastra ilmiah adalah sastra yang merupakan ilmu pengetahuan atau bidang ilmu yang mempelajari karya-karya sastra (prosa, puisi, dan drama). Sastra ilmiah ini mencakup teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Dalam perkembangannya, muncul bidang baru yang multidisipliner, seperti sosiologi sastra (sosiosastra), psikologi sastra (psikosastra), dan lain-lain. Harus diakui pula bahwa tidak gampang mendefinisikan sastra agar dapat diterima secara umum. Sehingga, menurut hemat saya, kita tidak perlu berdebat untuk mendefinisikan pengertian sastra. Biarlah sastra itu yang ’mengungkapkan’ hakikat dirinya sendiri.
Bahasan tentang sastra merupakan suatu pembicaraan yang luas, kompleks, dan komprehensif. Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas tentang sastra Papua. Batasan Sastra Papua yang saya maksud adalah karya tulis yang sengaja ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah Papua; bertemakan kondisi tanah Papua, mencakupi kondisi manusia, kebudayaan, maupun alamnya; tulisan tersebut dapat berupa fiksi maupun nonfiksi; dan dapat ditulis oleh siapa saja atau di mana saja. Para penulis sastra Papua tentunya terinspirasi oleh masalah-masalah yang ada di tanah Papua. Mereka menganggap bahwa hal-hal tersebut patut untuk diangkat ke permukaan. Sehingga, masalah kemasyarakatan banyak dipaparkan penulis lewat tulisan mereka. Meskipun, mereka memiliki gagasan dan gaya penceritaan yang berbeda-beda. Adapun klasifikasi karya sastra Papua adalah sebagai berikut.
1.      Karya sastra Papua berdasarkan proses kreatifnya, terdiri atas dua jenis, yaitu: karya sastra yang murni dari imaji pengarangnya dan karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan.
2.      Karya sastra Papua berdasarkan media penyampaiannya, ada yang menggunakan media bahasa daerah di Papua dan media bahasa Indonesia.
3.      Karya sastra Papua berdasarkan genre-nya, ada yang berbentuk biografi, prosa, puisi, novel, dan drama.
4.      Karya sastra Papua berdasarkan pengarang dan pembacanya cukup variatif. Mereka dapat berasal dari kaum perempuan, para misionaris, kalangan akademisi, usia dewasa, kelompok remaja, dan golongan anak-anak. Sehingga karya sastra tersebut dikenal dengan istilah sastra anak Papua, sastra remaja Papua, dan sebagainya. Pengarangnya ada yang berasal dari orang Papua asli maupun orang non-Papua (kalangan pendatang di Papua).
5.       Karya sastra Papua berdasarkan kajian ilmiah tentangnya, bisa dikatakan cukup banyak. Data hasil-hasil penelitian kesastraan Balai Bahasa Provinsi Papua menyebutkan, selama sepuluh tahun terakhir, hasil penelitian kesastraaandi Papua (termasuk Papua Barat) sudah lebih dari seratus judul. Penelitian-penelitian tersebut mencakup penelitian terhadap sastra tradisi maupun sastra modern. Sastra tradisi adalah karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah sastra lisan. Penelitian sastra tradisi berupa antologi cerita rakyat, studi struktur cerita, analisis nilai budaya, dan kajian resepsi sastra.
Selain penelitian, karya sastra tersebut juga telah diinventarisasi dan didokumentasi oleh berbagai pihak, termasuk Balai Bahasa Provinsi Papua. Hal tersebut merupakan upaya proteksi dan preservasi kandungan nilai budaya yang ada di dalamnya. Sehingga, kini sastra lisan tersebut sudah bertransformasi dalam bentuk karya sastra prosa, kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku.
Selanjutnya, saya kemukakan realitas dan keunikan sastra Papua sebagai berikut.
            Satu hal yang menarik, kemunculan novel Indonesia-Papua sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, ternyata semua penulisnya adalah perempuan. Sehingga, dalam tulisan sederhana ini saya akan memaparkan apa saja yang mereka ungkapkan lewat karya novel mereka. Penulis perempuan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penulis yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan, novel Indonesia-Papuaadalah novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan bertemakan kondisi tanah Papua, mencakupi kondisi manusia, kebudayaan, maupun alamnya. Novel Indonesia-Papua masih kurang jumlahnya dibandingkan novel Indonesia lainnya. Dalam kurun waktu satu dekade (sepuluh tahun) hanya tercipta beberapa judul novel Indonesia-Papua. Berikut ini adalah paparan tentang novel Indonesia-Papuayang terbit tahun 2004—2014 dan para penulisnya, secara berurutan sebagai berikut:
1.      Kapak. Novel setebal 136 halaman ini ditulis oleh seorang perempuan Jawa, Dewi Linggasari,dan diterbitkan oleh Penerbit Kunci Ilmu di Yogyakarta tahun 2005. Dewi Linggasari mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat adat setelah persentuhannya dengan ekonomi pasar dan kekuasaan negara. Meski bukan titik pijak utama penceritaan, namun pengaruh ekonomi begitu kentara dalam pola hidup yang berubah tersebut.
2.      Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani. Novel ini juga ditulis oleh Dewi Linggasari, diterbitkan tahun 2007 oleh Penerbit Kunci Ilmu, Yogyakarta. Novel setebal 252 halaman ini mengisahkan perempuan Papua bernama Liwa atau Aburah, yang pada akhirnya melakukan bunuh diri. Tokoh perempuan tersebut dianggap sebagai korban jagat patriarki. Kuatnya adat suku Dani tidak membuka peluang bagi perempuan untuk mencari perlindungan atau mengadukan nasibnya yang malang, jangankan secara hukum, secara kekeluargaan pun tidak mungkin. Perang suku memang menghilang, namun digantikan perang negara dengan kelompok masyarakat yang dulu gemar berperang. Penulis berpandangan bahwa terkadang modernitas tak lebih baik dibandingkan dengan tradisionalitas, malah bisa lebih buruk.
3.      Mawar Hitam Tanpa Akar. Novel ini ditulis oleh seorang perempuan asli Papua, Aprila R.A. Wayar.Pertama kali novel ini terbit di Jakarta pada medio Juli 2009 oleh Papua Room bekerja sama dengan Spasi. Dengan ketebalan 253 halaman, novel inibercerita tentang situasi dan kondisi Tanah Papua. Tampaknya Aprila sengaja mengangkat tema tersebut, karena ia adalah orang Papua. Secara umum, Aprila menulis tentang realitas kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari perkisahan yang sengaja diambil, yaitu tentang kehidupan sebuah keluarga kecil di tengah-tengah lingkungan masyarakat di Papua. Ketika berbicara tentang kehidupan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari konflik dan masalah yang bergulir di dalamnya.
4.      Tanah Tabu. Novel ini ditulis Anindita S. Thayf dan dinyatakan sebagai pemenang I Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2008.Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya pada tahun 2009,denganketebalan 237 halaman. Anindita menyajikan kondisi sosial politik di Tanah Papua, tentu saja dengan gaya dan caranya sendiri sebagai seorang perempuan. Novel ini merupakan sebuah hasil kreativitas yang dilandasi oleh kepekaan imajinasi dan ketajaman nalurinya.
5.      Elang. Novel ini ditulis oleh Kirana Kejora dan diterbitkan tahun 2009 oleh Almira Management. Penulis mengharapkan agar tokoh (manusia) diperlakukan secara manusiawi—bukan sebuah robot bernyawa. Saat membaca novel Elang, seolah kita membaca sudut kecil peta Indonesia yang penuh tanda dan warna. Penulis memiliki pandangan bahwa pola pikir dapat berubah menjadi kelakuan, juga menciptakan kebiasaan. Selanjutnya akan berkembang menjadi adat ketika terasuki sebuah nilai dan pranata cukup menggoda.
6.      Istana Pasir. Novel karya Dewi Linggasari ini terbitkan oleh Kunci Ilmu, Yogyakarta, pada tahun 2010. Di dalamnya mengisahkan seorang gadis yang pernah bercita-cita menjadi dokter, tetapi kelam kehidupan menyesatkannya pada kenyataan pahit. Dia harus menjadi seorang pekerja seks komersil (PSK) dan meninggal dunia karena penyakit HIV/AIDS. Istana Pasir adalah kiasan yang digunakan penulis. Secara tersirat, penulis mengungkapkan bahwa betapa rapuhnya dinding kehidupan yang dibangun seorang PSK, sehingga jilatan lidah ombak yang paling kecil sekali pun, sudah cukup untuk merobohkannya.
7.      Dua Perempuan. Novel kedua Aprila R.A. Wayar ini terbitkan oleh Nala Cipta Litera di Makassar tahun 2013. Tema novel dan gagasan penulisnya masih serupa dengan novel pertamanya, Mawar Hitam Tanpa Akar. Di dalamnya, Aprila ingin mengungkapkan bahwa keadilan harus diperuntukkan bagi semua orang, termasuk hak-hak dasar orang Asli Papua.
8.      Papua Berkisah. Novel karya pertama Swastika Nohara ini terbitkan oleh Loveable, Jakarta, tahun 2014. Swastika mengungkapan kegelisahannya akan isu identitas dan pertanyaan yang tak pernah lekang dimakan zaman, ”Kamu orang mana?” Sehingga, gagasan untuk mempertahankan identitas diri ditulisnya dalam novel ini.
9.      Cinta Putih di Bumi Papua. Novel ini ditulis oleh Dzikry el Han dan diterbitkan oleh Noura Books, Jakarta, tahun 2014. Dengan ketebalan 359 halaman, novel ini memuat gagasan adanya kepaduan antara agama dan budaya. Penulis berpendapat bahwa implementasi nilai-nilai adat sedapat mungkin sejalan dengan ajaran agama, bukan untuk dipertentangkan, apalagi dibalut dengan adanya kepentingan tertentu dan personal. Sehingga, tercipta keseimbangan dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Karya sastra yang ditulis oleh remaja Papua masih sedikit jumlahnya. Sehingga, penyelenggaraan lomba atau seyembara kepenulisan menjadi jalan untuk menemukan karya-karya terbaik remaja di Papua. Karya-karya kreatif tersebut kelak menjadi kebanggaan semua pihak. Dalam proses ini, pihak penyelenggara lomba mengumpulkan karya sastra remaja yang menjadi pemenang, salah satunya dalam bentuk cerita pendek. Selain penyelenggaraan lomba, kegiatan Bengkel Sastra juga dianggap efektif untuk melatih remaja Papua dalam hal menulis. Selanjutnya, hasil karya peserta kegiatan tersebut dibukukan.
            Terdapat empat sastra karya remaja Papua yang telah saya temukan berdasarkan penulisnya. Pertama, pemenang lomba Sayembara Penulisan Cerita Pendek bagi Siswa SLTP dan SLTA Se-Provinsi Papua dan Papua Barat, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jayapura. Tulisan-tulisan mereka dibukukan dalam bentuk antologi, dengan pertimbangan kualitas karya-karya tersebut tidak diragukan. Karena hasil tulisan yang telah dibukukan merupakan pilihan dewan juri yang terdiri dari unsur seniman, akademisi, dan pemerintahan. Penilaian mereka murni dilakukan oleh dewan juri, tanpa ada campur tangan pihak penyelenggara. Sehingga, pihak Balai Bahasa Jayapura yakin untuk menerbitkan karya-karya tersebut.
            Kedua, peserta kegiatan Gemar Membaca Rajin Menulis (Gemarame) untuk Siswa SLTP dan SLTA Se-Provinsi Papua dan Papua Barat yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
            Ketiga, karya dari peserta kegiatan Bengkel Sastra untuk Siswa SLTA Se-Provinsi Papua dan Papua Barat yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
            Keempat, remaja Papua di Sekolah Menulis Papua.

            Sementara karya sastra remaja Papua yang saya temukan berdasarkan urutan waktunya juga ada empat. Pertama, periode tahun 2003-2006. Karya sastra remaja periode ini telah dibukukan dan diteliti oleh Siswanto, dkk. dari Balai Bahasa Jayapura tahun 2007. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa pengarang sastra remaja di Papua terdiri atas siswa SLTP dan SLTA; umumnya menggunakan pusat pengisahan orang pertama; memuat kisah kehidupan remaja yang bertemakan percintaan, persahabatan, perjuangan, dan masalah keluarga; latar ceritanya beragam; tokoh-tokohnya menggunakan nama orang Indonesia; dan alurnya variatif (forward, flashback, dan zig-zag).
            Kedua, periode tahun 2005-2009. Karya sastra remaja periode ini dimuat dalam buku berjudul Antologi Cerita Pendek Remaja 2005-2009. Buku ini diterbitkan oleh Balai Bahasa Jayapura. Saya menemukan bahwa karya sastra di dalamnya adalah karya siswa SLTA se-Provinsi Papua; menggunakan pusat pengisahan orang pertama tunggal dan orang ketiga tunggal; bercerita tentang kehidupan dan dunia remaja yang bertemakan adanya gangguan penyakit, kematian, percintaan, persahabatan, dan masalah keluarga; latar ceritanya beragam; tokoh-tokohnya menggunakan nama orang Indonesia; menggunakan alur forward dan flashback. Melihat beragamnya tema yang dimunculkan dalam cerita, mengindikasikan bahwa fenomena sosial yang ditangkap oleh remaja Papua juga variatif. Mereka memiliki persepsi dan gaya penceritaannya masing-masing.
            Ketiga, periode tahun 2012-2013. Karya sastra remaja periode ini terkumpul dan dibukukan dalam buku berjudul Cinta Kasih Malaikat: Kumpulan Cerpen Karya Anak-Anak Bangsa dari Papua 2013. Buku ini diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Saya menemukan bahwa karya sastra di dalamnya adalah karya siswa SLTA se-Provinsi Papua; umumnya menggunakan pusat pengisahan orang pertama tunggal; bercerita tentang kehidupan dan dunia remaja yang bertemakan malaikat; latar ceritanya beragam; umumnya, tokoh-tokohnya menggunakan nama orang Indonesia dan nama baptis; menggunakan alur forward dan flashback.
            Keempat, periode tahun 2015. Karya sastra remaja periode ini diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Cerita dari Timur. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Menulis Papua (SMP). Di dalamnya, saya menemukan karya remaja Papua yang sudah berstatus mahasiswa pada beberapa perguruan tinggi di Papua; menggunakan pusat pengisahan orang pertama tunggal dan orang ketiga tunggal; bercerita tentang realitas sosial budaya masyarakat Papua; latar ceritanya beragam; umumnya, tokoh-tokohnya menggunakan nama orang Indonesia; dan kebanyakan menggunakan alur forward. Karena tingkat usia dan pendidikan para penulis yang lebih tinggi dibanding penulis tahun-tahun sebelumnya, gaya dan teknik penceritaan mereka kelihatan lebih dewasa dan matang.
            Seiring waktu, hasil-hasil karya sastra remaja di atas tampak memiliki persamaan dan perbedaan dalam hal struktur maupun temanya. Meskipun dalam tulisan ini, saya belum sempat mendeskripsikan perbedaan dan persamaannya secara mendetail. Namun, pastinya hal itu mencerminkan adanya dinamika dalam proses bersastra kalangan remaja Papua. Dalam proses perjalanannya, saya masih menganggap karya sastra itu melewati lorong kecil yang terbatas ruangnya. Saya yakin, masih banyak karya sastra remaja Papua yang berserakan, belum sempat dibukukan sampai saat ini. Saya juga berharap sanggar sastra di sekolah maupun di masyarakat digiatkan kembali. Sehingga, remaja di Papua memiliki wadah untuk berkarya secara intensif dan terarah.
            Karya sastra anak di Papua mulai bermunculan. Hal itu tidak lepas dari strategi marketing penerbit dan toko buku. Meskipun, buku-buku yang ditawarkan untuk target pasar anak kebanyakan hanya buku komik atau cerita dongeng. Saya amati bahwa sastra anak ber-genre cerita fiksi (prosa) di Papua baru mulai berkembang saat ini. Hal tersebut dapat disebabkan oleh motivasi orang tua maupun guru kepada anak untuk mengapresiasi sastra. Faktanya, ketika Balai Bahasa Provinsi Papua mengadakan Bengkel Sastra Tahun 2015 dalam bentuk pelatihan mendongeng, minat para guru TK begitu besar. Artinya, para guru sudah memahami bahwa kegiatan mendongeng merupakan cara untuk memperkenalkan dan menumbuhkan apresiasi anak-anak terhadap sastra anak. 
            Sastra anak mungkin masih istilah baru bagi masyarakat di Papua. Kiranya saya perlu menjelaskan sedikit tentang sastra anak, agar terjadi persamaan persepsi dan pemahaman. Sastra anak adalah buku yang di dalamnya berisikan citraan dan atau metafora kehidupan yang dikisahkan dalam jangkauan anak. Jangkauan ini meliputi aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, ataupun pengalaman moral, juga kebahasaan yang dapat dipahami oleh pembaca anak-anak. Intinya, isi buku tersebut dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya. Sedangkan, menurut Nurgiyantoro (2010:6-7), sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak. Pada umumnya hal itu berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut orang dewasa tidak masuk akal. Pendek kata, cerita anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan ini, sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri. Bahkan, cerita anak tidak harus selalu berakhir menyenangkan, tetapi dapat juga sebaliknya. Sastra anak ini ditujukan kepada pembaca kategori anak-anak berusia 1 hingga kurang lebih 12 tahun (Huck, et.al via Nurgiyantoro, 2010:11). Adapun kategori anak yang dimaksudkan oleh Piaget (via Nurgiyantoro, 2010:11) dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal. Di Papua dan Indonesia pada umumnya, rentang usia tersebut adalah kelompok usia siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sastra anak dapat memberikan kontribusi antara lain, 1) nilai personal yang memengaruhi perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, serta pertumbuhan rasa etis dan religius; 2) nilai pendidikan yang melahirkan adanya eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, nilai keindahan, wawasan multikultural, dan kebiasaan membaca.
            Selanjutnya, mari kita lihat secara konkret, apa saja karya sastra anak di Papua dalam kurun lima tahun terakhir. Ternyata, karya sastra anak di Papua terbatas pada buku cerita fiksi (cerpen). Isinya menceritakan tentang kehidupan anak-anak Papua, ditulis dalam bahasa Indonesia dengan campuran dialek Melayu Papua, diterbitkan di Papua, dan ditulis oleh anak-anak yang berdomisili di Papua. Hanya ada dua judul buku yang saya temukan, yaitu: 1) Buku Sebatang Luka: Kumpulan Cerita Pendek Papua 2011, yang di dalamnya terdapat delapan belas cerita pendek. Buku ini merupakan kumpulan tulisan hasil kegiatan Gemar Membaca Rajin Menulis (Gemarame) yang pesertanya adalah para siswa dan guru SLTP se-Kota dan Kabupaten Jayapura. Tema yang digagas dalam cerita pendek tersebut adalah rasa takut. Namun, ternyata karya yang tercipta tidak semuanya sesuai dengan tema. Buku ini dipublikasikan oleh tim redaksi Balai Bahasa Jayapura, Kementerian Pendidikan Nasional, pada tahun 2011; 2) Buku The Story of Marind yang ditulis oleh Damaika Saktiani pada tahun 2013. Buku tersebut merupakan antologi cerita. Di dalamnya terdapat lima cerita pendek. Buku ini terinspirasi oleh anak-anak suku Marind di Kabupaten Merauke, Papua. Tema yang diusung adalah realitas masyarakat Marind, namun yang lebih dominan diceritakan adalah kondisi anak-anak Marind. Dari sudut pandang aku-an dan dia-an, Damaika sengaja menulis tentang anak-anak Marind yang berkeinginan untuk tetap bersekolah. Selain itu juga tentang persahabatan antara anak-anak suku Marind dengan alamnya, dan kehidupan keluarga Marind yang bersahaja. Masyarakat Papua dengan tradisi lisan yang sangat kuat, memungkinkan untuk berkembangnya karya sastra anak, meskipun prosesnya berjalan lamban.
            Karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan sudah mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini tampak dari cakupan wilayah penelitian yang sudah meluas hingga ke pelosok Papua. Objeknya pun telah berkembang dalam berbagai genre, dan teori analisis yang digunakan sudah beragam. Karya sastra jenis ini disebut pula dengan istilah sastra lisan. Penelitian sastra, khususnya sastra lisan, dalam genre apapun di tanah Papua ini idealnya dilakukan secara lebih terarah, bertahap, serta berkelanjutan. Hal ini harus dilakukan demi pembangunan mental masyarakat Papua sebagai pemilik kebudayaan, dan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Berikut saya kemukakan profil hasil penelitian sastra lisan Papua yang telah saya lakukan. Hasil-hasil penelitian tersebut sudah saya publikasikan dalam jurnal ilmiah sastra dan budaya, baik dalam cakupan lokal maupun nasional.Walaupun secara kuantitas belum memenuhi target dan masih terdapat kekurangan, kiranya ini dapat menjadi semacam portal untuk memasuki wilayah penelituan yang lebih jauh dan mendalam.  

No
Judul Tulisan/
Publikasi Penelitian
Media
Publikasi
Bentuk
Publikasi
Edisi
1.
Unsur-unsur Intrinsik dalam Naskah Drama Rakyat Manokwari Berjudul Yambin
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
Jurnal
Vol. 5, No. 1, April 2009
Hal. 99-106
2.
Interpretasi Makna Lagu Biak “Wampasi Wambarek” (Sebuah Pendekatan Hermeneutika)
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
Jurnal
Vol. 7, No. 1, April 2011
Hal. 27-36
3.
Latar Arkeologis dalam Novel “Penguasa-Penguasa Bumi” Karya Don Richardson.
Papua, Balai Arkeologi Jayapura
Jurnal
Th. III No. 1, Juni 2011
Hal. 105
4.
Nilai-Nilai Transendental dalam Cerita Rakyat Kabupaten Keerom, Papua: Watuwe dan Yowyatuwa.
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Jayapura.
Jurnal
Vol. 7, No. 2, Oktober 2011
Hal. 179-188.
5.
Struktur Sastra Lisan Ormu
Walasuji, BPSNT Makassar
Jurnal
Vol. 2, No. 2, Thn 2011
Hal. 229-241.
6.
Mengungkap Cerita Rakyat Berdasarkan Temuan Benda Purbakala di Pulau Ormu, Kabupaten Jayapura.
Papua, Balai Arkeologi Jayapura
Jurnal
Th. IV No. 1, Juni 2012
Hal. 19-28.
7.
Naskah Drama “Orang-Orang Merah dari Bumi yang Dilupakan” Karya Philipus Ramandey Thamo (dalam Pencitraan Sejarah dan Semangat Nasionalisme di Papua)
Undas, Balai Bahasa Provinsi Kalsel
Jurnal
Vol. 8, No. 1, Desember 2012 Hal. 67-76.
8.
Sejarah Moyang Suku Kemtuk Gresi di Kabupaten Jayapura, Papua (Berdasarkan Penelusuran Cerita Rakyat)
Aksara, Balai Bahasa Provinsi Bali
Jurnal
Vol. 24, No. 2, Desember 2012 Hal. 230-237.
9.
Unsur Didaktis dalam Syair Lagu Rakyat Papua
Atavisme, Balai Bahasa Provinsi Jatim
Jurnal
Vol. 15, No. 2, Desember 2012 Hal. 247-259.
10.
Bahasa Ibu dan Transformasi Nilai Budaya Suku Sentani, Papua (Sebuah Realitas atas Eksistensi Bahasa dan Sastra Lisan Sentani, Papua)
Balai Bahasa Provinsi Jabar.
Prosiding
SIBI tahun 2012 Hal. 44.
11.
Kembali Mendongeng (Sebuah Alternatif dalam Pembelajaran Sastra Anak).
UMI Makassar
Prosiding
SI Milad ke-25 Fak. Sastra UMI Hal. 253.
12.
Noken dalam Budaya Tabi, Papua (Berdasarkan Penelusuran Folklor Tabi, Papua)
Penerbit Ombak Yogyakarta
Buku
Dalam “Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Manusia Modern”  Tahun 2013.
13.
Representasi Budaya Nimboran dalam Mitologi Nimboran, Papua.
Balai Bahasa Provinsi Jabar.
Prosiding
SI Bahasa dan Sastra Daerah tahun 2013 Hal. 187.
14.
Tradisi Tutur Orang Papua
Balai Arkeologi Jayapura
Buku
Dalam “Kebudayaan Papua”  tahun 2013 Hal. 45.
15.
Mitos Wairam Etnik Kemtuk Gresi: Sebuah Analisis Struktur Sastra Lisan.
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura
Jurnal
Juni 2013 Hal. 55-68.
16.
Morfologi Cerita Rakyat Ormu (Sebuah Telaah Teori Propp)
Multilingual, Balai Bahasa Provinsi Sulteng
Jurnal
Vol. XII, No. 1, Juni 2013, Hal. 128-139.
17.
Mitos “Kiki Blani” Etnik Tabu Elseng (Berdasarkan Teori Struktur A.J. Greimas)
Kadera Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Sulut.
Jurnal
Vol. 5, No. 2, Agustus 2013 Hal. 199-208.
18.
Mitos “Warikreng” Suku Nimboran, Papua (dalam Kajian Struktur Levi-Strauss)
Kandai, Balai Bahasa Sultra.
Jurnal
Edisi Khusus, Agustus 2013 Hal. 234-246.
19.
Perempuan Ormu dalam Folklor Suku Ormu Kab. Jayapura, Papua.
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
Jurnal
Juli-Des. 2013 Hal. 41.
20.
Mitos Waropen “Serakokoy” (Berdasarkan Telaah Teori A.J. Greimas)
Toto Buang, Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Jurnal
Vol. 1, No. 2, Desember 2013 Hal. 193-200
21.
Mitologi Papua
LeutikaPrio
Buku
Tahun 2013
22.
Mob Papua
LeutikaPrio
Buku
Tahun 2013
23.
Mengenal 18 Lagu Rakyat Papua
Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat.
Buku
Tahun 2013
24.
Totem(isme) Papua
LeutikaPrio
Buku
Tahun 2014
25.
Mitos Ukullek di Lembah Baliem (Sebuah Telaah Struktur A.J. Greimas)
Hiski Ambon, Unpatti, dan Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Prosiding
Seminar Nasional Hiski Ambon tahun 2014 28—28 Agt. 2014.
26.
Mitos Asmat “Fumiripits”
Gramatika, Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara
Jurnal
Vol II, No. 1 Tahun 2014 Hal. 17—28.
27.
Morfologi Cerita Rakyat Sobey Kororsri (Penerapan Teori Naratologi  Vladimir Propp)

Gramatika, Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara
Jurnal
Vol II, No. 2 Tahun 2014.
  28.
Tujuh Cerita Rakyat Danau Sentani
(Ditinjau Lewat Teori Parry-Lord)
Kibas Cenderawasih, Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat.
Jurnal
Vol. 11, No. 1, April 2014.
29.
Sastra Lisan dan Objek Wisata di Jayapura (Analisis Latar dalam Teks)

Telaga Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo
Jurnal
Vol. 2, No. 1, Juni 2014.
30.
Morfologi Cerita Rakyat Ormu Faiyo (Sebuah Analisis Naratologi Propp)

Kadera, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara
Jurnal
Vol. 6, No. 2 Tahun 2014
31.
Morfologi Cerita Rakyat Tabu Elseng Monabi (Sebagai Upaya Mengenal Suku Tabu Elseng di Papua)
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
Jurnal
Desember 2015.
32.
Mengenal Etnik Yokari di Kabupaten Jayapura Melalui Nilai Transendental Mitos Maruway
Inovasi, Balitbangda Kab. Jayapura.
Jurnal
Juni 2015.
33.
Morfologi Cerita Rakyat Asmat Jipi (Sebuah Analisis Naratologi Propp)

Sirok Bastra, Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung
Jurnal
Vol. 3, Nomor 1, Juni 2015
35.
Realitas Masyarakat Tabi di Papua (dalam Kajian Morfologi Cerita Rakyat)
Harian Jubi, Jayapura
Tabloid
Edisi Sabtu, 7 Maret 2015
 



Demikianlah pemaparan saya tentang realitas, perjalanan, keunikan, dan perkembangan sastra Papua saat ini. Memang masih jauh dari harapan saya sebagai penggiat sekaligus peneliti sastra, tetapi saya tetap optimis bahwa suatu saat sastra Papua juga akan mendunia. Kata ‘mendunia’ yang saya maksudkan di sini adalah dikenal, dibaca, dan dibicarakan orang sedunia. Dengan sebuah langkah kecil, kita dapat memulainya, yaitu dengan memperlakukan karya sastra Papua sebagai tuan di rumahnya sendiri, di tanah Papua. Publikasi karya sastra Papua melalui internet memang sudah digiatkan, hanya saja belum dapat dinikmati secara maksimal. Karena karya sastra online hanya dapat diakses (dibaca) oleh kalangan tertentu di Papua. Karya sastra Papua dalam bentuk cetakan buku masih dianggap lebih baik. Kehadiran buku bacaan tersebut akan meningkatkan budaya membaca dan menumbuhkan budaya menulis. Lebih jauh, ikatan antara pengarang, karya, dan pembacanya akan semakin kuat. Hal ini berimplikasi pada pemertahanan eksistensi sebuah karya sastra. Evaluasi dan apresiasi melalui kegiatan kritik sastra yang cerdas juga harus lebih digalakkan, sehingga kualitas karya sastra Papua akan lebih meningkat dan kompetitif. Namun, tentu saja hal tersebut menjadi tanggung jawab dan memerlukan kerja sama antarpihak terkait. []
  
           *Waena-Kotanika-Sentani, dalam Agustus 2015 

1 komentar:

  1. How to play free casino games
    How to 윈 조이 포커 시세 play free 챗룰렛 casino games online · Play poker online · No deposit casino bonus 호벳 · Play poker online · Real bitcasino money casino · 바카라 사이트 주소 No Deposit Bonuses.

    BalasHapus